PROBLEMATIK BAHASA INDONESIA: Analisis Makro Penggunaan Bahasa dalam Media Massa

PROBLEMATIK BAHASA INDONESIA: Analisis Makro Penggunaan Bahasa dalam Media Massa

oleh DHEKA DWI AGUSTI N.

1. Klasifikasi

Kalimat Puisi Jeritan Hati Guru Bantu dan Petani Sukabumi ‘Menjerit’ yang keduanya digunakan sebagai judul pemberitaan dalam Koran Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007, menunjukkan adanya sebuah klasifikasi. Klasifikasi kedua judul tersebut ditunjukkan dengan adanya kata “menjerit” yang digunakan sebagai metafor untuk menggambarkan kondisi dan keadaan para guru bantu serta para petani di Sukabumi. Penggunaan kata “menjerit” yang telah membuat suatu klasifikasi antara nasib guru bantu dan petani di Sukabumi dengan sebuah jeritan, tentunya sebagai lambang rasa sakit dan penderitaan yang mereka rasakan, dengan harapan agar para pembaca tahu kondisi mereka saat ini yang tengah “menjerit-jerit” kesakitan itu. Sakitnya para guru bantu yang dibelit banyak kebutuhan hidup dan harapan untuk menjadi PNS yang tak kunjung terlaksana, serta sakitnya para petani yang harus menjual gabah yang telah ditanamnya dengan keringat yang mengalir harus dijual dengan harga murah.

2. Pembatasan Pandangan

Kalimat Jangan Dekati Sation Siliwangi yang digunakan sebagai judul pemberitaan dalam Koran Galamedia, Selasa 10 April 2007, telah membatasi pandangan pembaca mengenai apa yang akan terjadi di stadion Siliwangi. Sebuah pertandingan sepak bola partai hukuman akan diselenggarakan di sana, antara Persib dengan PSSB Bireun. Intinya, panitia pelaksana ingin tempat digelarnya pertandingan tersebut steril dari “bobotoh” dan orang-orang tidak berkepentingan, alias tanpa penonton. Untuk itu penulis menggunakan kalimat perintah dengan kata jangan dekati agar siapapun yang membacanya dapat mengerti untuk tidak datang ke stadion Siliwangi.

3. Pertarungan Wacana atau Isu

Pertarungan isu kerap dilakukan media dalam membentuk opini publik, seperti halnya pemberitaan mengenai kasus yang terjadi di IPDN. Pola Pembinaan di IPDN Tetap Dipertahankan sebagai judul dalam pemberitaan yang dimuat dalam Koran Pikiran Rakyat, Sabtu 7 April 2007, telah berani meng’amin’i pola pembinaan yang saat ini tengah marak-maraknya dikecam oleh public agar tetap ada. Bahkan dalam paragraph pertama dalam pemberitaannya, dikemukakan bahwa pola pengasuhan dalam pendidikan di lembaga pencetak para birokrat itu masih tetap dibutuhkan. Tidak tanggung-tanggung hal ini ditegaskan ulang dalam paragraph 7, 8, dan 10, dengan alasan bahwa calon birokrat harus memiliki tingkat displin yang tinggi dan berwawasan nusantara serta belum adanya teori baru yang tepat untuk menggantikan pengacuan pada pola pengasuhan dalam membentu nation and character building sebagai inti pola pengasuhan tersebut. Sebuah insert yang mencengangkan yang terdapat dalam pemberitaan ini adalah kalimat penjelas gambar, REKTOR IPDN I Nyoman Sumaryadi (kanan) memperagakan cara memukul untuk mengukur kekuatan otot perut menurut pola yang sudah baku, saat menjawab pertanyaan seputar kasus penganiayaan Cliff Muntu di Aula Rektorat IPDN Jatinangor Kab. Sumedang, Kamis (5/4).

Dalam pemberitaan serupa yang juga dimuat dalam Koran Pikiran Rakyat, Sabtu 7 April 2007 dengan judul Sistem Militer tak Cocok untuk Sipil mengusung pandangan lain yang seyogiyanya dapat mewakili aspirasi publik mengenai pola pengasuhan dan pembinaan yang berlaku di IPDN yang telah memakan banyak korban. Pada paragraph pertama pemberitaan diungkapkan bahwa sistem pengasuhan harus diubah. Hal ini menjadi paradoks bagi pemberitaan di atas yang justru menginginkan pola pengasuhan tetap ada. Pemberitaan ini memberikan solusi yang berbeda dari pemberitaan di atasnya, yaitu dengan penghapusan pola pembinaan dan pengasuhan, karena akan melanggengkan tradisi kekerasan senior terhadap junior, seperti yang diungkapkan dalam paragraf kedua. Insert yang berbeda dibubuhkan juga dalam pemberitaan ini. Meskipun sama-sama mengekspos tindakan pemukulan, tetapi pemukulan yang ini berbeda dengan pemukulan yang dimaksudkan untuk melatih kekuatan otot perut. Pukulan-pukulan ini justru menjadi bukti nyata bahwa kekerasan dan penganiayaan masih terjadi dan dilakukan para senior dalam singgasana kesenioritasannya kepada para parka junior. Kalimat penjelas gambar adalah sebagai berikut: FOTO dokumentasi memperlihatkan bentuk kekerasan di IPDN. Para praja junior dipukul dengan mata tertutup agar identitas senior yang memukul mereka, tak diketahui.

Pertarungan isu pun semakin sengit ketika Inu Kencana, seorang dosen IPDN berani membongkar kematian misteriun para mahasiswanya, seperti yang diberitakan dalam Koran Galamedia, Selasa 10 April 2007 dengan judul Inu Bongkar Kematian Misterius di IPDN. Kata “bongkar” bermakna bahwa kasus-kasus penyiksaan yang telah menelan banyak korban jiwa memang benar adanya, dan dapat dikemukakan fakta-faktanya. Itu artinya pemberitaan ini senada dengan pemberitaan Sistem Militer tak Cocok untuk Sipil di atas. Namun, dalam pemberitaan ini lebih lanjut dapat diketahui bahwa Inu Kencana, si Pembongkar Fakta justru diberi sanksi bersama rekannya Handi Asikin karena dianggap telah mengungkapkan kebenaran dengan cara-cara yang tidak benar, dan tidak mengikuti aturan main serta etika yang berlaku, sebuah eufimisme yang terdapat dalam paragraf 10 sebagai tuturan SBY. Hal ini yang kemudian membiaskan lagi, apakah sistem dan pola pembinaan itu harus dilenyapkan atau akan dipertahankan, ketidaktegasan sikap justru ada dalam pemberitaan ini.

4. Objektivasi dan Abstraksi

Sebuah judul pemberitaan yang objektif mengenai pemutusan hubungan listrik, dimuat dalam Koran Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007, yaitu Tiga Ribu Pelanggan Terancam Diputus. Objektivasi selanjutnya terdapat dalam isi berita yang memuat persentase pasti mengenai jumlah pelanggan sebesar 72 ribu dengan 17 ribu diantaranya rata-rata menunggak pembayaran listrik setiap bulannya. Objektivasi ini perlu dilakukan agar pemberitaan jelas, tidak kabur dan terkesan mengada-ada serta membesar-besarkan.

Kebalikan objektivasi adalah abstraksi, di mana hal yang diungkapkan bersifat abstrak dan tidak jelas jumlah nilainya serta belum objektif. Sebuah judul dalam Koran Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007, yaitu Produksi Ikan Masih Rendah. Judul tersebut mengabstraksi nilai atau tingkat produksi ikan. Meskipun disebutkan rendah, tetapi kerendahan tersebut masih bersifat nisbi tanpa ukuran yang tepat. Namun, dalam isi pemberitaan objektivasi tetap dilakukan denga menuliskan jumlah dan persentasenya.

5. Identifikasi

Identifikasi mutlak diperlukan dalam sebuah pemberitaan, agar berita yang disampaikan jelas dan akurat. Contoh identifikasi dalam sebuah pemberitaan misalnya dalam Lelaki Muda Terpotong-potong yang dimuat dalam Koran Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007. Kalimat Warga Kampung Cimengger, Desa Bojongmengger, Kecamatan Cijeungjing gempar menyusul ditemukannya sesosok mayat dalam kondisi terpotong-potong di pinggir rel KA Ciamis-Banjar, Jumat (6/4) pagi. Kalimat tersebut memuat identifikasi mengenai tempat kejadian. Kalimat kedua juga berisi identifikasi, tepatnya identifikasi subjek. Belakngan diketahui korban bernama Olih Solihin, berusia 29 tahun, warga Kecamatan Baregbeg. Dan, kalimat selanjutnya mengideintifikasi keadaan. “Dari kondisi potongan tubuh, diduga korban bunuh diri dengan cara tidur di r el kemudian tergilas oleh rangkaian KA yang lewat,” ujar petugas identifikasi kepolisian.

6. Asosiasi dan Disasosiasi

Bagai Petir di Siang Hari, kalimat yang dapat mengasosiasikan rasa kaget dan tak percaya menjadi sebuah judul dalam Koran Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007. Judul tersebut mengasosiasi keadaan Ny. Wawat yang dalam isi berita diungkapkan berkali-kali pingsan setelah mengetahui anaknya, Opi yang berusia 15 tahun tewas. Bagai petir di siang hari, Ny. Wawat belum bisa mempercayai kejadian ini.

Judul lain yang terdapat dalam Galamedia, Selasa 10 April 2007, justru berkebalikan dengan asosiasi. Sebuah judul langsung, tanpa berasosiasi, Lihat istri Gantung Diri Suami Benturkan Kepala, mengungkapkan rasa dan kondisi yang terjadi secara langsung. Yaitu ketika Dodi Sudrajat berusaha bunuh diri dengan cara membentur-benturkan kepalanya ke bebatuan di Curug Cihampelas setelah melihat istrinya sudah tergantung tak bernyawa.

7. Diferensiasi dan Indiferensiasi

Pasaran Cabai Turun Sayuran Melonjak, sebuah judul dalam Galamedia, Selasa 10 April 2007 yang menunjukkan diferensiasi. Yaitu perbedaan antara harga berbagai jenis cabai yang relatif sedang turun dengan harga beberapa jenis sayuran yang justru mengalami kenaikan.

Dalam Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007, pemberitaan yang berjudul Bupati Bernyanyi, Isteri Berjoget, mempelihatkan adanya sebuah indiferensiasi. Meskipun terdapat perbedaan kata kerja yaitu bernyani dan berjoget, tetapi keduanya sama-sama merujuk pada sebuah makna yaitu menghibur. Bupati Kabupaten Cianjur, Tjetjep Muchtar Soleh didampingi istrinya Hj. Y. Rosdiana, berdendang bersama dalam sebuah acara lokakarya.

Sumber Data:   Pikiran Rakyat, Sabtu 7 April 2007

Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007

Galamedia, Selasa 10 April 2007