Laporan Jurnal Pragmatik: dari Morris sampai van Dijk dan Perkembangannya di Indonesia

Laporan Jurnal

Pragmatik: dari Morris sampai van Dijk dan Perkembangannya di Indonesia

oleh Dheka Dwi Agusti N.

Judul Jurnal : Pragmatik: dari Morris sampai van Dijk dan Perkembangannya di Indonesia

Penulis : Aceng Ruhendi Saifullah

Tahun terbitan :2002

Penerbit : Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS- UPI

Abstrak

Jurnal Pragmatik: dari Morris sampai van Dijk dan Perkembangannya di Indonesia (2002) karya Aceng Ruhendi Saifullah dimaksudkan sebagai pengantar dalam mengenal dan memahami pragmatik. Pragmatik dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu linguistik mengenai tujuan ujaran dalam situasi tertentu.

Bahasa merupakan suatu sistem yang sistematis dan sistemis. Dalam bahasa terdapat subsistem –fonologi, gramatika, dan leksikon- dunia bunyi dan dunia makna yang bertemu dan membentuk struktur. Di antara keduanya itu terdapatlah konteks yang mempengaruhi keserasian sistem suatu bahasa. Konteks yaitu unsur di luar bahasa yang kemudian dikaji dalam pragmatik ini.

Pengetahuan mengenai sejarah tumbuh dan berkembangnya pragmatik ini akan sangat membantu dalam proses memahami dan mempelajari studi ini. Siapa dan apa gagasan yang dibawa para ahli linguistik ini, memiliki andil yang sangat besar bagi perkembangan studi dalam peta linguistik yang merupakan tahap terakhir dalam gelombang ekspansi linguistik, dari sebuah disiplin sempit yang mengurusi data fisik bahasa, menjadi suatu disiplin yang luas yang meliputi bentuk, makna, dan konteks.

Kata Kunci: pragmatik, konteks, pragmalinguistik, sosiopragmatik, prinsip kerjasama, implikatur percakapan, bidal kuantitas, analisis wacana kritis, tamengan, mikropragmatik dan makropragmatik.

Pendahuluan

Kajian pragmatik dipilah menjadi dua bagian oleh Leech (1983) yakni pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Kajian pragmalinguistik dekat dengan tradisi Anglo-Amerika, dan sosiopragmatik beririsan dengan kajian pragmatik Kontinental. Tradisi kajian pragmatik Anglo-Amerika digolongkan sebagai kajian linguistik formal, sedangkan tradisi kajian pragmatik Kontinental digolongkan sebagai kajian linguistik fungsional. (Gunarwan, 1996)

Pragmatik tradisi kontinental menjadi latar kajian ini. Dengan pertimbangan bahwa analisis pragmatik ini memiliki jangkauan kajian yang lebih luas dan dalam, yakni mencakup tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi, sebagaimana ditunjukkan oleh Schiffrin (1994), Yule (1996), dan van Dijk (1998; 2000).

Perkembangan Pragmatik di Dunia

Pragmatik telah tumbuh di Eropa pada 1940-an dan berkembang di Amerika sejak tahun 1970-an. Morris (1938) dianggap sebagai peletak tonggaknya lewat pandangannya tentang semiotik. Ia membagi ilmu tanda itu menjadi tiga cabang: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kemudian Halliday (1960) yang berusaha mengembangkan teori sosial mengenai bahasa yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial.

Di Amerika, karya filsuf Austin (1962) dan muridnya Searle (1969, 1975), banyak mengilhami perkembangan pragmatik. Karya Austin yang dianggap sebagai perintis pragmatik berjudul How to Do Things with Words (1962). Dalam karya tersebut, Austin mengemukakan gagasannya mengenai tuturan performatif dan konstatif. Gagasan penting lainnya adalah tentang tindak lokusi, ilokusi, perlokusi, dan daya ilokusi tuturan.

Beberapa pemikir pragmatik lainnya, yaitu:

Searle (1969) mengembangkan pemikiran Austin. Ia mencetuskan teori tentang tindak tutur yang dianggap sangat penting dalam kajian pragmatik. Tindak tutur yang tidak terbatas jumlahnya itu dikategorisasikan berdasarkan makna dan fungsinya menjadi lima macam, yaitu: representatif, direktif, ekspresif, komisih, dan deklaratif.

Grice (1975) mencetuskan teori tentang prinsip kerja sama (cooperative principle) dan implikatur percakapan (conversational implicature). Menurut Grace, prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang membimbing pesertanya agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif dan dapat menggunakan bahasa secara efektif dan efisien. Prinsip ini terdiri atas empat bidal: kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Menurut Gunarwan (1994: 54), keunggulan teori prinsip kerja sama ini terletak pada potensinya sebagai teori inferensi apakah yang dapat ditarik dari tuturan yang bidal kerja sama itu.

Keenan (1976) menyimpulkan bahwa bidal kuantitas, yaitu “buatlah sumbangan Anda seinformatif-informatifnya sesuai dengan yang diperlukan”. Hal ini berdasarkan penelitian tentang penerapan prinsip kerja sama di masyarakat Malagasi.

Goody (1978) menemukan bahwa pertanyaan tidak hanya terbatas digunakan untuk meminta informasi, melainkan juga untuk menyuruh, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status.

Fraser (1978) telah melakukan deskripsi ulang tentang jenis tindak tutur.

Gadzar (1979) membicarakan bidang pragmatik dengan tekanan pada tiga topik, yaitu: implikatur, praanggapan, dan bentuk logis.

Gumperz (1982) mengembangkan teori implikatur Grizer dalam bukunya Discourse Strategies. Ia berpendapat bahwa pelanggaran atas prinsip kerja sama seperti pelanggaran bidal kuantitas dan cara menyiratkan sesuatu yang tidak dikatakan. Sesuatu yang tidak diekspresikan itulah yang dinamakan implikatur percakapan.

Levinson (1983) mengemukakan revisi sebagai uapaya penyempurnaan pendapat Grize tentang teori implikatur.

Leech (1983) mengemukakan gagasannya tentang prinsip kesantunan dengan kaidah yang dirumuskannya ke dalam enam bidal: ketimbangrasaan, kemurahhatian, keperkenanan, kerendahhatian, kesetujuan, dan kesimpatian.

Mey (1993) mengemukakan gagasan baru tentang pembagian pragmatik: mikropragmatik dan makropragmatik.

Schiffrin (1994) mambahas berbagai kemudian kajian wacana dengan menggunakan pendekatan pragmatik.

Yule (1996) mengembangkan teori tentang PKS dengan menghubungkannya dengan keberadaan tamengan (hedges) dan tuturan langsung-tuturan tak langsung.

van Dijk (1998-2000) mengembangkan model analisis wacana kritis (Critical Discourse Analyses/ CDA) di dalam teks berita. Ia mengidentifikasi adanya lima karakteristik yang harus dipertimbangkan di dalam CDA, yaitu: tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi.

Contoh Analisis: Pematuhan dan Pelanggaran Bidal Kuantitas dan Implikaturnya.

Bidal kuantitas adalah bidal yang berisi nasihat yang menyangkut jumlah kontribusi yang disumbangkan oleh peserta percakapan terhadap koherensi percakapan. Contohnya yaitu tuturan tak bertamengan yang mematuhi bidal kuantitas dalam konteks Amien Rais sebagai seorang ilmuwan dan praktisi politik, sedang diwawancarai oleh Wimar Witoelar selaku pemandu acara talkshow “Perspektif” di stasiun televisi SCTV, pada 20 Februari 1995. dengan topik wawancara seputar kinerja anggota DPR/MPR periode 1992-1997.

Contoh kedua adalah tuturan bertamengan yang melanggar bidal kuantitas dalam konteks Dodo Hartoko sebagi seorang pemusik muda yang dikenal sebagai pengasuh anak-anak jalanan di kawasan jalan Malioboro, Yogyakarta, sedang diwawancarai Wimar Witoelar selaku pemandu acara talkshow “Perspektif” di stasiun televisi SCTV, pada 14 Juni 1994, dengan topik wawancara seputar pengalamannya mengasuh anak-anak jalanan.

Dan kesimpulannya yaitu:

Bentuk Tuturan Bidal Kuantitas Fungsi Implikatur

takbertamengan mematuhi memberikan informasi menimbulkan citra positif

yang singkat dan akurat pada diri penutur

bertamengan melanggar penanda kehati-hatian menimbulkan citra positif

dan pelindung muka pada diri penutur

Perkembangan Pragmatik di Indonesia

Istilah pragmatik secara nyata di Indonesia muncul pada 1984 ketika diberlakukannya Kurikulum Sekulah Menengah Atas tahun 1984. Dalam kurikulum ini pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi bahasa Indonesia (Depdikbud, 1984).

Beberapa karya mengenai pragmatik mulai bermunculan. Diawali oleh Tarigan (1986) yang membahas tentang pragmatik secra umum. Nababan (1987) dan Suyono (1990) juga masih terkesan „memperkenalkan pragmatik“, sebab belum membahas pragmatik secara rinci dan luas. Pada karya Tallei (1988), Lubis (1993), dan Ibrahim (1993) tampak deskripsi yang agak mendalam, tetapi orisinalitas gagasanya agak diragukan karena, terutama pada karya Tallei, hampir sepenuhnya mengacu pada buku Discourse Analyses karya Stubbs (1983). Buku pragmatik pertama yang tergolong kritis adalah karya Bambang Kaswanti Purwo (1990) dengan judul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Karya Wijana (1996) yang berjudul Dasar-dasar Pragmatik sudah menuju ke arah pragmatik yang lebih lengkap dan mendalam.

Beberapa penelitian pun telah dilakukan dalam rangka disertasi, di antaranya adalah Kaswanti Purwo (1984), Rofiudin (1994), Gunarwan (1992-1995), Rustono (1998), dan terakhir Saifullah (2001) dalam tesis magisternya.

Simpulan

Pragmatik adalah studi baru dalam ilmu bahasa di dunia termasuk Indonesia. Namun, perkembangannya sangat pesat. Hal ini dimungkinkan karena adanya sifat-sifat bahasa yang dapat dimengerti melalui linguistik, agar bahasa dapat digunakan dalam komunikasi. Linguistik adalah studi yang jangkauannya semakin meluas sehingga menyebabkan pandangan mengenai hakikat bahasa dan batasan linguistik juga berubah dan semakin meluas. Banyak pemikir pragmatik bermunculan bersama karyanya, membawa pengetahuan dan perkembangan baru bagi studi yang dapat dikatakan baru seumur jagung ini. Meskipun hingga saat ini, mereka yang mengembangkan paradigma pragmatik masih mendapat pengaruh besar terutama dari Austin dan Searle, perumus pandangan tentang makna dari segi daya ilokusi, dan dari Grice yang memandang makna dari segi amplikatur percakapan.

VARIASI BAHASA LAWAK “MONOKS” (Sebuah analisis terhadap variasi bahasa lawak yang diujarkan oleh Sumono)

ABSTRACT

A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social groups (Bloch and Trager (1942:5)).

Language is a system of communication by sound, through the organs of speech and hearing among human beings of a certain group or community, using vocal symbol possessing arbitrary conventional meanings.(Pei and Gaynor (1954 :19)).

Based on two theories from linguist. A language has two principal concept are arbitrary and conventional. For example is clown with their jokes. Because language (especially: oral tongue) is articulate general communication.

Since clown has been exist in Indonesia for more than 10 years, it’s important to review and research the language of joke existence as well as it’s content we know about vocable of clown cam make our laugh. Because they have characteristics performance. The arbitrary and conventional of it make they well-known on public that interpretation within the characteristics word spelling which is considered symbols from their jokes.

Looking at language naively, one perceives two fundamental aspects. Language is used for the expression of thoughts, and the choice of linguistics means used for the expression of a specific idea varies depending on a number of contextual parameters.

The occurrence of alternative linguistic expressions is related on all levels to contextual parameters: the relative priority of specific languages, specific sociolects or dialects, specific registers and specific utterans. As a consequence, the study of language as a whole must involve the analysis of both the iternal and the contextual phenomena.

I

JUDUL

VARIASI BAHASA LAWAK “MONOKS”

(Sebuah analisis terhadap variasi bahasa lawak yang diujarkan oleh Sumono )

II

PERMASALAHAN

II. I Latar Belakang Masalah

Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi primer memang tidak dapat disangkal lagi. Segala hal dan kegiatan tidak dapat lepas dari kegiatan berbahasa bersama fungsinya. Terlebih bagi bahasa lisan yang merupakan rekaman bagi bahasa tulis. Kefundamentalan fungsi bahasa tersebut mungkin dikarenakan oleh fungsi itu sendiri, yang merupakan hasil turunan dari komponen dasar interaksi yang meliputi : penutur (ekspresif), petutur (direktif), dan pesan (referensial).

Retorika dalam berbahasa pun kian menjadi komoditi yang tidak habis untuk dikonsumsi. Kegiatan berbahasa yang tidak mengenal apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana ini pun menjadi good object serta kajian yang menarik khususnya bagi para peneliti bahasa.

Dalam kesempatan ini, menarik rasanya untuk mengkaji gejala bahasa yang terjadi dalam dunia perlawakan nasional. Diselenggarakannya ajang kompetisi nasional dalam berbagai bidang termasuk lawak, oleh beberapa stasiun televisi swasta yang notabene telah memperkaya kuantitas dan kualitas khazanah berbahasa di tanah air.

Tak bisa dipungkiri juga, bahwa banyaknya gejala bahasa yang terjadi memungkinkan bagi bahasa Indonesia itu sendiri justru lebih cepat masuk ke liang lahat. Kita tahu bahwa setiap bahasa memiliki kemungkinan untuk berkembang dan mati. Itu semua tinggal menunggu waktu dan peranan masyarakat itu sendiri dalam proses penggunaannya.

Ada hal baru yang perlu disorot dari dunia perlawakan kita. Yaitu salah satu tim lawak yang tergabung dan menamakan dirinya “LIMAU” (salah satu kontestan 3 besar sekaligus juara ketiga dalam di Audisi Pelawak TPI –API-) dengan ciri khas melawaknya yang kerap mengimbuhkan bunyi “s” pada beberapa akhir kata yang diucapkannya.

Dialah Monoks, pelawak yang kerap kali mengocok perut penontonnya, dengan gesture dan tindak tuturnya ketika beraksi di panggung. Gaya lawakannya yang khas membuat ia tetap segar dalam ingatan penontonnya. Bahkan jika kita hanya mendengar lawakannya saja, mungkin kita dapat segera memastikan bahwa salah satu yang berada di atas panggung sana adalah Monoks. Karena Sumono –demikian nama aslinya- kerap kali mengimbuhkan bunyi [s] dalam beberapa akhir kata yang dituturkannya ketika melawak.

Hal tersebut menjadi nuansa baru bagi kita semua, apalagi dalam dunia perlawakan itu sendiri. Karena Monoks boleh dikatakan sebagai orang pertama yang mengekspresikan tindak tuturnya bersama bunyi [s].

Tujuan yang utama, mungkin saja hanya sekedar untuk menghibur dan membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal melihat aksinya. Namun secara tidak langsung kegiatan melawak yang erat kaitannya dengan kegiatan berbahasa ini, membuat orang-orag yang berkecimpung dalam dunia bahasa menjadi “gerah” sehingga tertarik untuk melakukan penelitian.

Tindakan ilokusi yang digunakan, dengan klasifikasi fungsi jenis konfliktif ini, termasuk dalam criteria ekspresif. Di mana terdapat fungsi untuk mengekspresikan atau mengungkapkan atau memberitahukan sikap psikologis sang pembicara menuju suatu pertanyaan keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi.

Sedangkan jika dilihat melalui sudut pandang mengenai tujuh fungsi bahasa yang digagas oleh Halliday dalam bukunya yang berjudul “Explorations ini the Function of Language” (1973), peristiwa bahasa ini terkategorikan dalam fungsi instrumental, interaksional dan imajinatif. Di mana fungsi-fungsi tersebut saling mengisi dan menunjang satu sama lain.

Peneliti tertarik salah satunya terhadap respon penonton Monoks yang tertawa dengan lawakannya. Juga terhadap masyarakat yang mungkin tidak akan mudah untuk melupakan dengan gaya tuturannya yang cukup fenomenal. Bahkan tidak mustahil juga tengah menjadi trendsetter dalam bahasa pergaulan atau komedian di masyarakat kita.

Kang Ibing, salah seorang dewan juri (Tim Pencela –istilah dewan juri dalam Audisi Pelawak TPI) ini pernah mengungkapkan bahwa Sumono dapat dikatakan sebagai pelawak yang kreatif dan inivatif. Karena dia berani dan berhasil menciptakan nuansa baru yang notabene menjadikannya sebagai ciri khas bagi dirinya sendiri dalam dunia perlawakan nasional.

Penelitian terhadap variasi bahasa baru ini, khususnya dalam cakupan pembahasan fonetis belum pernah dilakukan oleh siapapun. Karena itu peneliti melakukan penelitian berdasarkan tayangan di televisi, baik yang merupakan siaran langsung maupun siaran ulang. Ketika Audisi Pelawak TPI masih berada dalam tahap kompetisi. Tepatnya peneliti melaksanakan perekaman selama Mei 2005.

Demikian gejala tersebut, merealisasikan kearbiteran serta konvensionalitas bahasa. Arbiter yang dapat diartikan “sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka’ (Abdul Chaer,1994:4)” sedang Ferdinand de Saussure dalam dikotominya membedakan apa yang disebut signifiant (Inggris: signifier) sebagai lambang bunyi itu sendiri dan signifie (Inggris: signified) sebagai konsep yang dikandung oleh signifiant.

II. II Identifikasi Masalah

Proses penyampaian lawakan secara lisan dalam acara Audisi Pelawak TPI, yang diselenggarakan oleh stasiun televisi swasta, Televisi Pendidikan Indonesia. Baik yang merupakan siaran langsung maupun siaran ulang. Dalam penelitian ini, fonetis ujaran Monoks yang menjadi bahan penelitian.

II. III Pembatasan Masalah

Peneliti mengkaji ujaran-ujaran Sumono, khususnya mengenai aspek penyertaan bunyi [s] dalam ujaran beberapa akhir kata, pada saat melawak dalam ajang Audisi Pelawak TPI (API) selama Mei 2005.

II. IV Rumusan Masalah

Bagaimana penyertaan bunyi [s] yang dilakukan oleh Sumono dalam mengekspresikan ujaran-ujaran lawaknya? Serta aspek-aspek morfologis dan sintaksis yang terdapat di dalamnya.

III

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya variasi bahasa baru yang terjadi dalam proses berbahasa oleh seorang pelawak di mana bunyi [s] terjadi sebagai penyerta dalam ujarannya.

IV

MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini bermanfaat umumnya bagi semua kalangan masyarakat. Dan khususnya bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia bahasa. Di mana secara teoritis hasil penelitian ini dapat dijadika sebagai salah satu referensi khazanah perkembangan sekaligus problematika yang terjadi dalam ilmu bahasa Indonesia.

V

DEFINISI OPERASIONAL

Bahasa lawak Sumono adalah ujaran-ujaran yang dipakai secara lisan sebagai lawakan. Yang notabene membuat penontonnya tertawa dengan lawakan yang ia sajikan, tepatnya di stasiun TPI setiap minggu selama Mei 2005.

VI

KAJIAN TEORI

A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social groups (Bloch and Trager, 1942:5)

Bahasa adalah satu sistem menggunakan simbol-simbol bunyi yang arbitrer dari suatu kelompok social.

Language is a system of communication by sound, through the organs of speech and hearing among human beings of a certain group or community, using vocal symbol possessing arbitrary conventional meanings.(Pei and Gaynor, 1954 :19)

Bahasa adalah satu sistem komunikasi dengan bunyi, yaitu melalui alat ujaran dan pendengaran, antara orang-orang dari kelompok atau masyarakat tertentu dan dengan mempergunakan symbol-simbol vocal yang arbitrer dan konvensional.

Language is purely human and non-instinctive method of communicating ideas, emotions, and desire by means of voluntary produced symbols. (Sapir, 1921 : 8)

Bahasa adalah cara atau metode mengomunikasikan pendapat, emosi, dan keinginan dari manusia yang bukan instingtif dengan menggunakan symbol-simbol.

Language is a system of arbitrary vocal symbols used for human communications. (Wardhaugh, 1972 : 85)

Bahasa adalah satu symbol vocal yang arbitrer yang dipakai dalam komunikasi manusia.

Demikian kearbitreran yang dikemukakan oleh para ahli linguistik di atas, tengah terealisasi oleh adanya satu gejala bahasa dalam sebuah situasi komedi, khususnya dunia perlawakan nasional yang diusung oleh Sumono. Kearbitreran yang terjadi ini, akan peneliti melalui bahas dalam konteks fonetis.

Arbitrernya bahasa yang digunakan oleh Sumono adalah penyertaan bunyi [s] pada beberapa akhir ujaran dalam lawakannya. Bunyi [s] yang mengiringi beberapa ujaran Sumono ini, merupakan bunyi spiran. Di mana bunyi tersebut diproduksi melalui jalan arus udara yang dihalangi pada salah satu tempatnya. Sehingga hanya merupakan sebuah lubang kecil yang berbentuk sebagai lembah panjang atau celah yang dilalui udara tersebut. [s] juga termasuk bunyi ejektif, di mana bunyi dihasilkan melalui proses egresif glotalik –ialah bunyi yang terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme glotalik yaitu mekanisme yang terjadi dengan cara merapatkan pita-pita suara sehingga glottis dalam keadaan tertutup rapat sekali. Bersama-sama dengan itu seluruh rongga pangkal tenggorok (laring) disempitkan dan rongga dinaikkan sehingga udara dalam rongga mulut dan rongga kerongkongan (faring) terhambat serta tertekan. Saluran rongga mulut dan hidung ditutup kemudian udara yang terhambat dan tetekan itu dihembuskan keluar dengan cara membuka saluran rongga mulut. (Marsono, 1999 : 23-24)

Bunyi [s] juga merupakan konsonan frikatif, lamino-alveolar di mana bunyi ini terjadi bila artikulator aktifnya ialah daun lidah dan ujung lidah, sedangkan artikulator pasifnya adalah gusi. (Marsono, 1999 : 86)

VII

ANGGAPAN DASAR

Pelawak sebagai Intraverbal Operant dimana operan berbahasa terdahulu yang dlakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya jika sebuah kata yang diucapkan sebagai stimulus, maka kata yang lain yang mempunyai hubungan dengan kata tersebut akan diucapkan respons. (contohnya: jika kata “terima kasih” berkedudukan sebagai stimlus maka akan membangkitkan kata “kembali” sebagai respons). Demikian analisis Bloomfield & Shuner (1957) yang mengatakan bahwa intraverbal operant merupakan salah satu kategori respons berbahasa selain mands, tacts, echois, dan textuals.

Seorang pelawak juga harus memiliki tingkat imajinasi yang tinggi agar dapat mencapai kategori intraverbal operant seperti di atas. Terlebih bahasa atau kata yang menjadi stimulus dan respons harus diperoleh secara alamiah.

Demikian sulitnya menjadi seorang pelawak, maka tidak heran jika masing-masing pelawak, termasuk Sumono, mencari kekhasannya dalam berbahasa. Sumono pun melakukan “Laminalisasi Fortis” dalam ujaran lawaknya. Laminalisasi fortis, merupakan sebutan peneliti terhadap bunyi pengiring baru, yaitu bunyi [s] pada beberapa akhir kata yang diujarkan oleh Sumono dalam lawakannya.

Laminalisasi Fortis adalah sebutan bagi bunyi pengiring [s]

VIII

HIPOTESIS

Laminalisasi Fortis digunakan sebagai sebutan (bunyi pengiring [s] dalam ujaran-ujaran lawak Sumono) pada penelitian ini. Hal yang menjadikannya sebagai variasi bahasa yang cukup baru di Indonesia. Adapun pemilihan bunyi [s] sebagai bunyi yang mengiringi ujaran-ujaran penutur dalam lawakannya, menurut pertimbangan aspek kebahasaan khususnya dalam lingkup fonetis adalah karena bunyi [s] itu sendiri merupakan konsonan geseran, lamino-alveolar sebagai hasil artikulasi. Dengan artikulator aktifnya adalah daun lidah dan ujung lidah, sedangkan arktikulator pasifnya adalah gusi. (Marsono, 1999 : 86)

Bunyi bahasa yang termasuk ke dalam golongan frikatif lamino-alveolar adalah [s, z]. Maka untuk lebih menspesifikasikan bunyi [s], peneliti menmbahkan kata fortis. Bunyi [s] memang termasuk pada klasifikasi bunyi keras. Di mana pembedaan antara fortis (keras) dan lenis (lunak) ini didasarkan pada ada tidaknya ketegangan arus udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan (Malmberg, 1963 : 51-51). [s] merupakan bunyi yang termasuk dalam bunyi geseran, tak bersuara, sibilant atau desis, juga keras. Sedangkan [z], walaupun sama-sama terproduksi dengan articulator yang sama dengan bunyi [s] namun termasuk ke dalam bunyi geseran yang bersuara saja.

IX

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelititian ini adalah “Metode Hubungan Sebab – Akibat” (Causal Comparatif). Yakni penelitian hubungan sebab akibat yang bersifat ex post facto, yaitu data dikumpulkan setelah semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung (lewat). Peneliti mengambil beberapa akibat sebagai dependent variable dan menelusuri data-datanya kembali ke masa yang telah lalu tersebut untuk mencari sebab-sebab, saling hubungan, dan maksud tujuannya.

Tentu saja dengan objek penelitian variasi bahasa lawak yang berlaminalisasi fortis. “Mengapa dapat terjadi variasi bahasa tersebut, bagaimana dan apa yang melatarbelakanginya ?

X

TEKNIK PENELITIAN

X. I Teknik Pengumpulan Data

Instrumen pengumpul data digunakan berupa :

  1. Identifikasi penutur dan petutur beserta latar belakangnya.

Penutur

Penutur adalah pelawak perwakilan kota Jakarta. Namun lahir dan berasal dari kota lamongan, Jawa Tengah. Beralmamaterkan Universitas Muhammadiyah Prof DR Hamka Jakarta (UHAMKA).

Latar Belakang Penutur

Nama asli : Sumono

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 26 tahun

Latar belakang kebahasaan : Indonesia

Latar belakang dialek : Jawa-Indoensia, dan Jakarta-Indonesia.

Latar belakang sosial ekonomi : Kelas menengah

Tingkat pendidikan : Perguruan Tinggi.

Petutur

Petutur adalah Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Semester III.

Latar Belakan Petutur

Nama asli : Dheka Dwi Agusti Ningsih

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 19 tahun

Latar belakang kebahasaan : Indonesia

Latar belakang dialek : Jawa- Indonesia

Latar belakang sosial ekonomi : Kelas menengah

Tingkat pendidikan : Perguruan tinggi

b. Observasi dengan menggunakan teknik perekaman secara audio menggunakan recorder micro cassette. Setiap minggu (tanggal 1, 8, 15, dan 22) selama Mei 2005.

c. Studi pustaka untuk memperoleh berbagai teori yang akan dijadikan acuan dalam melaksanakan suatu penelitian.

d. Mengkaji teknik sampling yang mana diperkirakan tepat serta valid untuk menggali dan menemukan scope dan sequen data yang harus diperoleh dari objek penelitian.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperolehlah suatu penelitian yang :

Judul : VARIASI BAHASA LAWAK “MONOKS”

(Sebuah analisis terhadap variasi bahasa lawak yang diujarkan oleh Sumono )

Metode : Hubungan Sebab – Akibat (Causal Comparatif)

Teknik : Identifikasi, Observasi, Studi pustaka.

X. II Teknik Pengolahan Data

Dalam tahap pengolahan data, ada beberapa langkah yang dilakukan peneliti, yaitu :

a. Memeriksa dan memilih data yang masuk.

b. Mengklasifikasikan data.

c. Menabulasikan data, yang terdiri dari :

– Membuat transkripsi ortografis dari data hasil perekaman.

Hasil Transkripsi Ortografis

<Mampus itu lalat. Masa tiap jalan, tiap gerak, selalu dikejar-kejar sama lalat. Memangnya guwe jenazah gosong apa? Sembarangan itu lalat. Eh, ngeledek lagi. Ternyata ketangkep. Biar tidak kemana-mana lagi.>

<Cukup bagus, Cuma sayang agak sedikit bau.>

<Saya Mono, petugas dinas perhubungan. Gini-gini adalah petugas yang disiplin, punya dedikasi, loyalitas, royalti dan punya tangung jawab yang tinggi.>

<Saya dibuatin jalur khusus, spesial tanpa telur.>

<Ok, aduan kamu saya set dulu yah.>

<Hey, dik-dik. Adikkan tahu kalau adik melanggar peraturan>

<KPK, kagak punya kendaraan>

  • Membuat transkripsi fonetis dari transkripsi ortografis, kemudian menelitinya.

Hasil Transkripsi Fonetis

[#mam+pUs / tu / la+lAts # mÂ+sa? / tiy+aps / ja+lAns // tiy+aps / gə+raks // sə+la+lU / di+kə+jAr / a+mA / la+lAts # E+mAŋ+ña / gU+we / jə+nA+jah / go+sOŋs / a+pAh # səm+ba+ra+ŋAn / tu / la+ lAts # Eh / ŋə+lɛ+dɛks / la+gIks # tər+ña+ta / kə+tAŋ+kaps  # biy+ar / ti+dAk / kə+ma_na / ma+na / la+gIks #]

[#cu+kUp / ba+gUs // cu+man / sa+yaŋ / a+gA? / sə+di+kIt / ba+uks #]

[#sa+yam / mo+nO ks // pə+tu+gas / di+nas / pər+hu+bu+ŋan s # gi+nI / gi+nIks / a+dA+lAh / pə+tu+gas / yaŋ / di+sIp+lIns // pu+ ña / də+di+ka+si / lo+ya+li+tAs/ ro+yal+ti / dan / pu+ ña // tan+gUŋ / ja+wab // yaŋ / tiŋ+gi #]

[#sa+ya / di+buw+atIn / ja+lUr / ku+sUs // sə+pə+si+al s / tAm+pa / tə+lOr#]

[#oks // a+duw+an / ka+mu/ sa+ya / sɛt / du+lu / yah #]

[#hEy / dIks / dIks / a+dIk+kAn / ta+u / ka+lo / a+dIk / mə+laŋ+gar / pə+ra+tu+rAn s #]

[#ka+pɛ+ka // ka+gAk s / pu+ ña / kən+dA+rA+ an s #]

– Menganalisis semua gejala fonetis yang terdapat dalam data yang tersedia.

Contohnya :

  1. Gejala pengurangan atau penghilangan fonem

  2. Gejala penambahan fonem

  3. Gejala hypercorrect

  4. Gejala Marginal

  5. Gejala Labialisasi

  6. Gejala Palatalisasi

  7. Gejala monoftongisasi

  8. Laminalisasi Fortes

– Menganalisis proses-proses morfologis dan sintaksis yang terdapat dalam data yang tersedia.

XI

HASIL ANALISIS

Aspek Fonologis

Terdapat beberapa gejala fonetis, baik yang sudah lazim, maupun gejala yang dianggap cukup baru dalam sebuah ujaran pada kegiatan berbahasa. Yaitu :

a. Gejala pengurangan atau penghilangan fonem

a.1 Gejala afaresis (pengurangan diawal)

/itu/ menjadi /tu/

/sama/ menjadi /ama/

memang/ menjadi /emang/

a.2 Gejala Sinkop (pengurangan di tengah)

/tahu/ menjadi /tau/

b. Gejala penambahan fonem

b.1 paragog

/cuma/ menjadi /cuman/

b.2 Gejala Epentesis

/spesial/ menjadi /sepesials/

  1. Gejala hypercorrect

/zenajah/ menjadi /jenajah/

/tanpa/ menjadi /tampa/

/khusus/ menjadi /kusus/

  1. Gejala Marginal

/telur/ menjadi /telor/

  1. Gejala Labialisasi

/buat/ menjadi /buwat/

/aduan/ menjadi /aduwan/

  1. Gejala Palatalisasi

/tiap/ menjadi /tiyap/

biar/ menjadi /biyar/

  1. Gejala monoftongisasi

/kalau/ menjadi /kalo/

  1. Laminalisasi Fortis 1)

/lalat/ menjadi /lalats/

/tiap/ menjadi /tiyaps/

/gerak/ menjadi /geraks/

/gosong/ menjadi /gosongs/

/ngeledek/ menjadi /ngeledeks/

/lagi/ menjadi /lagiks/

/ketangkap/ menjadi /ketangkaps/

/mono/ menjadi /monoks/

/perhubungan/ menjadi /perhubungans/

/gini/ menjadi /giniks/

/disiplin/ menjadi /disiplins/

/spesial/ menjadi /spesials/

/ok/ menjadi /oks/

/peraturan/ menjadi /peraturans/

/kagak/ menjadi /kagaks/

/kendaraan/ menjadi /kendaraans/

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan 10 gejala fonetis yang berbeda. Pada kesempatan kali ini, penelitian lebih difokuskan pada gejala laminalisasi fortes saja (lihat h).

a. Laminalisasi fortis terdapat kata yang berakhiran :

vokal : /i/, /u/, dan /o/ (bersifat dominan)

/a/ dan /e/ (bersifat resesif)

Konsonan : /t/, /p/, /n/, /k/, /ŋ/, /l/.

b. Analisis terhadap laminalisasi fortis hanya terjadi pada kata yang berkhiran vokal (dominan), terklasifikasi dengan tinggi lidah minimal madya atas.

i= tinggi atas

u= tinggi bawah

o= madya atas

Karena hanya pada ketinggian lidah seperti diataslah konsonan hambat letup dorso-velar (k) yang juga berstriktur tertutup lebih mudah dan alamiah ketika diucapkan. Baru kemudian diikuti kembali oleh laminalisasi fortis (s).i,u, dan o yang merupakan vokal dengan bunyi keras (fortes) juga memiliki striktur :

I= close vowels striktur berbanding lurus

U=close vowels dengan posisi

O= half-close vowels tinggi rendahnya lidah

Adapun vokal /a/ dan /e/ kurang memiliki hubungan posisional sehingga pelafalannya yang diikuti oleh konsonan hambat letup /k/ dan /s/s terasa jangggal dan kurang alamiah.

c. Analisis terhadap konsonan

Laminalisasi fortis hanya terjadi pada konsonan yang terklasifikasi sebagai berikut

Striktur

Cara Artikulasi

Tempat Artikulasi

Bilabial

Apiko Dental

Apiko Alveolar

Dorso Velar

Rapat tiba-tiba lepas Hambat letup p t

k

nasal

m

n

lateral

l

/m/ dan /p/ = bilabial

/p/, /t/, dan /k/ = hambat letup

/k/ dan // = dorsovelar

// dan /n/ = nasal

/n/ dan /l/ = apikoalveolar

Dapat dilihat dari tabel di atas, terdapat kesamaan antara konsonan satu dengan lainnya. Hal tersebut melahirkan kemungkinan-kemungkin penyebab terjadinya gejala laminalisasi fortes adalah sebagai berikut.

[s] merupakan konsonan frikatif (geseran) lamino alveolar yang terjadi bila artikulator aktifnya ialah daun lidah dan ujung lidah sedangkan artikulator pasifnya ialah gusi. Bunyi “s” terbentuk jika :

  1. Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa melalui rongga mulut.

  2. Daun lidah dan ujung lidah ditekankan pada gusi, sehingga ruangan jalannya udara antara daun lidah dengan gusi itu sempit sekali yang menyebabkan keluarnya udara dengan bergeser.

  3. Gigi atas dan gigi bawah dirapatkan.

Dari proses produksi bunyi “s” yang telah dikemukakan di atas. Ternyata memiliki hubungan yang posisional dengan bunyi konsonan, yaitu :

Konsonan /p/ /t/ dan /k/ dimana bunyi tersebut terbentuk jika langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan dan udara keluar melalui rongga mulut, sedangkan pada /n/dan//, walaupun bunyi tersebut terbentuk jika langit-langit lunak dan anak tekaknya diturunkan dan udara keluar dari hidung, tetapi disertai dengan bergetarnya pita suara. Dan pada /l/ terbentuknta bunyi jika langit-kangit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan dan udara keluar melalui rongga mulut serta pita suara ikut bergetar.

Proses dan posisi yang terjadi pada bunyi konsonan tersebutlah yang menyebabkan bunyi ‘s ’dapat mengimbuh dan menjadi bunyi pengiring baru dalam gejala fonologis.

Aspek Morfologis dan Sintaksis

Secara morfologis, dalam ujaran lawak penutur terjadi campur kode. Meskipun tidak menjadi suatu hambatan yang berarti dalam proses berkomunikasi. Terdapat beberapa kata bahasa Indonesia yang tak baku yang merupakan kosakata bahasa daerah betawi, seperti : guwe, sama, gini, dan kagak. Satu kosakata asing, yang merupakan bahasa Inggris, yaitu : set. Dan sisanya merupakan bahasa Indonesia baku, yaitu :

Bentuk Tunggal

mampus jenazah yang disiplin adik

itu gosong adalah punya tahu

lalat apa dinas dedikasi kamu

tiap lagi saya loyalitas tanpa

jalan tidak bau royalty spesial

gerak cukup sedikit dan khusus

selalu bagus agak tinggi jalur

Bentuk Kompleks Bentuk Kompleks Tak Baku

dikejar-kejar ngeledek = meledek

memangnya ketangkep = tertangkap

sembarangan dibuatin = dibuatkan

ternyata

kemana-mana

petugas

perhubungan

melanggar

peraturan

kendaraan

KPK (Kagak Punya Kendaraan)

Beberapa proses morfologis terjadi, diantaranya : afiksasi, klitilisasi, reduplikasi seluruh, dan abreviasi. Abreviasi jenis singkatan dengan pengekala huruf awal dari sebuah leksem atau huruf awal dari gabungan leksem terjadi pada /KPK/ yang merupakan singkatan dari Kagak Punya Kendaraan.

Adapun bentuk kompleks tak baku yang terdapat dalam ujaran lawak peutur terdapat penyetaraan dengan bentuk baku dalam bahasa Indonesia. Seperti afiks nge- yang setara dengan prefiks meN-

prefiks ke- yang setara dengan prefiks ter-

konfiks di-in yang setara dengan konfiks di-kan

Kalimat-kalimat yang digunakan pun cenderung pendek. Terdiri dari kalimat tunggal yang sederhana. Namun ada pula beberapa kalimat tunggal sempurna. Dan jika dilihat dari klausa sebagai unsure pembentuknya. Maka ujaran tersebut terdiri dari kalimat berklausa dan beberapa kalimat tak berklausa, seperti : “Oke” dan “Hey”.

Keterangan label kelas kata.

(a) adjektiva, yaitu kata yang menjelaskan nomina atau pronomina.

nomina adalah kelas kata yang dalam bahasa Indonesia ditandai oleh tidak dapat bergabungnya dengan kata tidak, misal : rumah. Biasanya dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa.

pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengganti orang atau benda; kata ganti seperti aku, engkau, dia.

(adv) adverbia, yaitu kata yang menjelaskan verba, adjektiva, adverbial lain, atau kalimat. Misal ; sangat, lebih, tidak.

(n) nomina , yaitu kata benda.

(num) numeralia, yaitu kata bilangan.

(p) partikel, kelas kata yang meliputi kata depan, kata sambung, kata seru, kata sandang, ucapan salam.

(pron) pronomina, kelas kata yang meliputi kata ganti, kata tunjuk, dan kata tanya.

(v) verba, yaitu kata kerja

XII

POPULASI DAN SAMPEL

Suatu penelitian memerlukan objek untuk diteliti, tanpa adanya objek maka penelitian tidak akan dapat dilaksanakan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suharsimi Arikunto, bahwa “Populasi yaitu keseluruhan subjek penelitian” (Suharsimi, 1998 : 115).

Berdasarkan pengertian tersebut maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Sumono, salah satu anggota grup lawak “LIMAU”, kontestan sekaligus juara ketiga dalam ajang Audisi Pelawak TPI.

XIII

SISTEMATIKA PELAPORAN

  1. Penulisan draft laporan yang berisi :

  1. Proses penelitian.dan prosedur penelitian

  2. Data yang dikumpulkan

  3. Hasil-hasil analisis data penelitian

  4. Kelengkapan lampiran-lampiran yang diperlukan

  1. Peninjauan ulang (sanctioning)

Draft yang telah disusun tersebut diperiksa kembali keabsahannya. Setelah diadakan perbaikan dan penyempurnaan secukupnya.

  1. Penerbitan

Naskah yang telah selesai, kemudian diperbanyak sesuai dengan keperluan.

XIV

KESIMPULAN

Pada dasarnya banyak sekali gejala dalam kegiatan berbahasa yang terjadi di sekitar kita dan menarik untuk dikaji. Karena bahasa merupakan sesuatu yang universal dan integral. Tidak ada satu hal pun yang dapat lepas dari bahasa. Seperti halnya lawakan. Banyak cara digunakan agar seseorang memiliki karakteristik yang kelak akan menjadi sebuah ciri khas atau bahkan trendsetter. Hal tersebut dimungkinkan oleh beberapa faktor (yang dapat dikaji dalam disiplin ilmu lain) seperti kesengajaan.

Keefektifan variasi bahasa yang diusung oleh Sumono sebagai sarana komunikasi khususnya dalam bidang lawak dirasa cukup efektif. Dengan menggunakan kalimat yang pendek-pendek dan relative mudah dimengerti. Terlebih dalam ujaran langsung (bahasa lisan), di mana unsure-unsur suprasegmental senantiasa tetap terjaga dan memperkuat karakter bahasa sekaligus juga untuk karakter yang tengah diperankan. Meskipun terdapat banyak gejala yang meliputi fonetis, morfologis maupun sintaksis, tetapii tidak mengurangi atau mengubah secara signifikan terhadap aspek pragmatic dan semantik yang ada.

Kemampuan berbicara penutur, dengan variasi bahasa lawak yang disertai pengimbuhan bunyi [s] terpola dan teratur cukup baik. Dalam arti kemampuannya mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan dapat diterima pendengar dengan cukup baik. Pendengar atau penonton atau penutur menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian (juncture). Ditambah lagi dengan gerak tangan, gesture dan mimic sang penutur.

Faktor-faktor kebahasaan seperti ketepatan ucapan, penempatan tekanan, nada, sendi dan durasi, diksi serta ketepatan sasaran pembicaraan dinilai cukup ideal dalam konteks dunia perlawakan. Sedangkan sikap ketidakwajaran, sebagai factor non-kebahasaan yang biasanya berpengaruh buruk terhadap keefektifan suatu ujaran, justru menjadi salah satu daya tarik tersendiri yang juga mendukung peristiwa bahasa tersebut berlangsung secara artistik. Juga didukung oleh kelancaran, kenyaringan suara, relevansi dan penalaran, serta penguasaan topic dilakukan oleh penutur, menambah efektifnya sebuah lawakan yang sebenarnya terhimpit durasi.

Namun hal tersebut ketika diteliti dan dikaji lebih lanjut secara fonetis ternyata kita akan menemukan suatu pola atau rumus baru yang akan memperluas dan mempertajam pola pemikiran kita.

XIV

DAFTAR PUSTAKA

Robin, R. H. 1979. General Linguistics an Introductory Survey. London : Logman Group

Verhaar, J. W. M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Beberapa Madzhab dan Dikotomi Toeri Linguistik. Bandung : Angkasa

Ibrahim, Abdul Syukur. 1985. Linguistik Komparatif. Surabaya : Usaha Nasional

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta

Badudu, J. S. 1985. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung : Pustaka Prima

Samsuri. 1987. Analisis Bahasa. Jakarta : Erlangga

Lyons, John. 1995. Pengantar Teori Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Taylor, Insup. 1990. Psycholinguistics Learning and Using Language. USA : Prentice-Hall

Marsono. 1999. Fonetik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Tarigan, H. G. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung : Angkasa

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta : Balai Pustaka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Dietrich, Rainer dan Graumann, Carl. F. 1989. Language Processing in Social Context. Belanda : Elsevier Science Publisher B. V.

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta

Arsjad, Maidar G. dan U.S, Mukti. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.

Ramlan, M. 2001. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta : C. V. Karyono

ABSTRACT penelitian “VARIASI BAHASA LAWAK “MONOKS” (Sebuah analisis terhadap variasi bahasa lawak yang diujarkan oleh Sumono)

ABSTRACT

A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social groups (Bloch and Trager (1942:5)).

Language is a system of communication by sound, through the organs of speech and hearing among human beings of a certain group or community, using vocal symbol possessing arbitrary conventional meanings.(Pei and Gaynor (1954 :19)).

Based on two theories from linguist. A language has two principal concept are arbitrary and conventional. For example is clown with their jokes. Because language (especially: oral tongue) is articulate general communication.

Since clown has been exist in Indonesia for more than 10 years, it’s important to review and research the language of joke existence as well as it’s content we know about vocable of clown cam make our laugh. Because they have characteristics performance. The arbitrary and conventional of it make they well-known on public that interpretation within the characteristics word spelling which is considered symbols from their jokes.

Looking at language naively, one perceives two fundamental aspects. Language is used for the expression of thoughts, and the choice of linguistics means used for the expression of a specific idea varies depending on a number of contextual parameters.

The occurrence of alternative linguistic expressions is related on all levels to contextual parameters: the relative priority of specific languages, specific sociolects or dialects, specific registers and specific utterans. As a consequence, the study of language as a whole must involve the analysis of both the iternal and the contextual phenomena.

KAWIH saat MEPENDE MURANGKALIH

KAWIH MURANGKALIH

oleh Dheka Dwi Agusti N


Apabila bayi akan tidur, biasanya sang Ibu mepende anaknya. Dengan penuh kasih, bayi tersebut dieyong sambil dihariringan (dilantunkan sebuah nyanyian) agar sang bayi cepat tidur. Biasanya lagu yang dihariringkeun adalah lagu néléngnéngkung, dengkleung dan ayun ambing.

Néléngnéngkung

Néléngnéngkung- néléngnéngkung

Geura gede geura jangkung

Geura sakola ka Bandung

Geura makayakeun indung

Néléngnéngkung- néléngnéngkung

Geura gede geura jangkung

Geura bisa talang tulung

Ka bapa reujeung ka indung

Néléngnéngkung- néléngnéngkung

Geura gede geura jangkung

Geura sakola sing jucung

Manggih kapusing tong bingung

Néléngnéngkung- néléngnéngkung

Geura gede geura jangkung

Nagara kudu dijungjung

Dihormat dipunjung-punjung

Nilingningnang-nilingningnang

Ulah waka senang-senang

Diajar ulah kapalang

Kabéh sualan sing beunang

Ku indung dipunjung-punjung

Ku bapa didama-dama

Reup deungdeung talaga tisuk

Reup sakeudeung nepi ka isuk

Terjemahan

Néléngnéngkung- néléngnéngkung

Cepat besar cepat tinggi

Agar dapat bersekolah di Bandung

Agar dapat berterimakasih kepada ibu

Néléngnéngkung- néléngnéngkung

Cepat besar cepat tinggi

Agar cepat dapat menolong

Kepada bapak dan ibu

Néléngnéngkung- néléngnéngkung

Cepat besar cepat tinggi

Cepat sekolah hingga selesai

Mendapat masalah jangan bingung

Néléngnéngkung- néléngnéngkung

Cepat besar cepat tinggi

Negara harus dijunjung

Dihormati dan dijunjung

Nilingningnang-nilingningnang

Jangan mendahulukan untuk bersenang-senang

Belajar jangan putus di tengah jalan

Agar semua ilmu dapat diraih

Ibu yang menjunjung

Bapak yang menjaga

Reupdeungdeung talaga tisuk

Tertidur hingga pagi hari

Ayun ambing

Ayun ambing- ayun ambing

Diayun-ayun ku samping

Jampéna jampé harupat

Geura géde geura lumpat

Kuruli jampé kuruli

Kuruli jampé pamali

Turunna di gunung puntang

Buru-buru kulem ujang

Terjemahan

Ayun ambing

Diayun dengan kain

Jampenya jampe harupat

Cepat besar agar bisa cepat berlari

Kuruli jampé kuruli

Kuruli jampe pamali

Turunnya di gunung Puntang

Cepat tidur anak lelakiku

Dengkleung

Dengkleung déngdék

Buah kopi raranggeuyan

Engkeun budak dewek

Ulah pati diheureuyan

Reup dengdeung talaga tisuk

Reup sakeudeng nepi ka isuk

Terjemahan

Dengkleung déngdék

Buah kopi raranggeuyan

Biarkan anakku

Jangan dipermainkan

Reup dengdeung talaga tisuk

Tidur sebentar sampai pagi.

“ini saatnya untuk menutup hidup ini” – Virginia Woolf dalam The Hours

ini saatnya untuk menutup hidup ini, demikian ungkap Virginia Woolf kepada dirinya. Sebuah film drama yang cukup kompleks. The Hours adalah sebuah drama hebat dan penonton disajikan gambaran 114 menit tentang kehidupan tiga wanita di tiga zaman dan tempat yang berbeda tetapi memiliki koneksifitas yang tinggi.

Film ini menceritakan kehidupan tiga perempuan yang hidup dalam tiga generasi yang berbeda juga dengan kehidupan yang berbeda pula. Ada Virginia Woolf yang diperankan oleh Nicole Kidman sebagai seorang penulis yang sedang merampungkan tulisannya novel yang berjudul Mrs.Dalloway. novel ini yang kemudian menjadi dan memiliki koneksifitas antara satu dan yang lainnya. Laura Brown diperankan oleh Julianne Moore, sebagai wanita dengan kehidupannya yang sempurna. Clarissa yang dimainkan oleh Meryl Streep. Dia wanita yang tinggal selalu selalu merawat seorang laki-laki yang mengidap aids. Ketiganya merupakan kisah yang sederhana tetapi sarat makna, dan menyentuh sekali. Lewat kehidupan ketiga tokoh wanita ini, kita juga dapat melihat bagaimana budaya mereka menjadikan dan membentuk karakter yang kuat ini. Tiga wanita dengan problem dan dilematikanya masing-masing.

Pada akhir film ini, dikisahkan bagaimana Virginia Woolf ingin mengakhiri hidupnya. Dia pergi menuju Sungai Ouse dengan sekumpulan batu di kantong jasnya dan niatnya untuk bersatu bersama arus air sungai yang memanggil-manggilnya. Di mana sebelumnya ia meninggalkan pesan untuk Leonard, suami yang sangat mencintainya. Dalam pesan terkhirnya ia berkata “Sayang, sepertinya aku kembali menjadi gila…. Aku melakukan ini karena tampaknya inilah yang terbaik…. Kamu telah memberikan kebahagiaan terindah untukku…. Aku tak bisa mengganggu hidupmu lebih lama lagi….”

salam. Dheka Dwi A

Arti Kata Sunda

Kata Sunda

Tidak jarang terjadi sebuah perbincangan yang sangat panjang dan berbelit-belit ketika beberapa orang dalam suatu pertemuan mencari arti atau pengertian dari suatu kata, terlebih apabila kata itu mempunyai ikatan emosional dengan pelaku pembicaraan atau masyarakat pendukungnya. Dalam hal kata Sunda, sampai saat ini masih menjadi satu topik yang menarik untuk diperbincangkan, terutama dalam pertemuan informal, dan merupakan satu contoh kasus yang senantiasa aktual. Hal ini karena kata Sunda di samping menyangkut nama satu kelompok etnis masyarakat yang mendiami sebagian wilayah di Pulau Jawa, juga dipercaya sebagai nama suatu agama (agama Sunda) yang mempunyai nilai sakral.

Menurut Edi S. Ekadjati dalam pidato pengukuhan jabatan guru besarnya yang berjudul Sunda, Nusantara, dan Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah (1995:3–4) memaparkan bahwa:

Secara historis, Ptolemaeus, ahli ilmu bumi bangsa Yunani, merupakan orang pertama yang menyebut Sunda sebagai nama tempat. Dalam buku karangannya yang ditulis sekitar tahun 150 Masehi ia menyebutkan bahwa ada tiga pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India (Atmamihardja, 1958: 8). Kiranya berdasarkan informasi dari Ptolemaeus inilah, ahli-ahli ilmu bumi Eropa kemudian menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau yang terletak di sebelah timur India. Ahli geologi Belanda R.W. van Bemmelen menjelaskan bahwa Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai suatu daratan bagian barat laut India Timur, sedangkan dataran bagian tenggaranya dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7000 km. Dataran Sunda itu terdiri dari dua bagian utama, yaitu (1) bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian barat dan (2) bagian selatan yang terbentang dari barat ke timur sejak Lembah Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Dataran Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Sahul di timur (Bemmelen, 1949: 2-3). Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula, yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Yang dimaksud dengan Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau yang berukuran besar yang terdiri atas pulau-pulau: Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Adapun Kepulauan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau-pulau: Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor (Bemmelen, 1949: 15-16). Namun kemudian istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil tidak dipakai lagi dalam percaturan ilmu bumi Indonesia.

Menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari pinjaman kata asing berkebudayaan Hindu, kemungkinan dari akar kata sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murbi, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).

Menurut Gonda (1973: 345-346), pada mulanya kata suddha dalam bahasa Sansekerta diterapkan pada sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih bercahaya karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. Gunung Sunda itu terletak di sebelah barat Gunung Tangkuban Parahu. Kemudian nama tersebut diterapkan pula pada wilayah tempat gunung itu berada dan penduduknya. Mungkin sekali pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian barat Pulau Jawa itu diinspirasi oleh nama sebuah kota dan atau kerajaan di India yang terletak di pesisir barat India antara kota pelabuhan Goa dan Karwar (ENI, IV, 1921: 14-15). Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang beribukota di Pakuan Pajajaran, sekitar Kota Bogor sekarang. Kerajaan Sunda ini telah diketahui berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi (Danasasmita dkk, 1984: 1-27; Danasasmita dkk, IV, 1984; Djajadininingrat, 1913: 75).

Adapun arti kata sunda secara leksikografis/etimologis, R. Mamun Atmamihardja dalam bukunya Sejarah Sunda I (1956) mencatat beberapa arti yang didasarkan pada berbagai kamus bahasa, yaitu:

A. Bahasa Sansekerta

  1. SUNDA, sopan, bersinar, terang

  2. SUNDA, nama Dewa Wisnu

  3. SUNDA, nama ksatria buta (daitya) dalam cerita Upa Sunda dan Ni Sunda

  4. SUNDA, ksatria kera (wanara) dalam Cerita Ramayana

  5. SUNDA, dari kata Çuddha (= putih)

  6. SUNDA, nama gunung di Bandung Utara

B. Bahasa Kawi

  1. SUNDA, air

  2. SUNDA, tumpukan

  3. SUNDA, pangkat

  4. SUNDA, waspada

C. Bahasa Jawa

  1. SUNDA, penyusun

  2. SUNDA, bersatu

  3. SUNDA, dua (dari arti Candrasangkala)

  4. SUNDA, dari kata Unda (= naik)

  5. SUNDA, daru kata Unda (= terbang)

D. Bahasa Sunda

  1. SUNDA, dari sa-unda dan sa-tunda (= lumbung padi)

  2. SUNDA, dari kata Sonda (= bagus)

  3. SUNDA, dari kata Sonda (= terkenal)

  4. SUNDA, dari kata Sonda (= senang)

  5. SUNDA, dari kata Sonda (= menyenangkan)

  6. SUNDA, dari kata Sonda (= setuju)

  7. SUNDA, dari kata Sundara (= laki-laki tampan)

  8. SUNDA, dari kata Sundara (= nama Dewa Kamajaya)

  9. SUNDA, dari kata Sundari (= perempuan cantik)

  10. SUNDA, indah

SUNDA, HARMONIKU

SUNDA, HARMONIKU

oleh Dheka Dwi Agusti N

Kira-kira kriya apa saja dari kebudayaan Sunda yang saat ini mengalami degradasi nilai, Pa?”

Maaf, untuk “Sunda” di sini, saya batasi pada kebudayaannya di era 1920 ke bawah, Pa.

Mengingat setelah tahun tersebut Sunda telah mengalami kelunturan. Terlebih pada tahun 1928, ketika sumpah pemuda tercetus, dan menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia.”

Demikian ungkapan seorang teman ketika kami sedang mencari informasi pada narasumber yang sama. Dia membuat sebuah definisi operasional terhadap istilah “Sunda”. Ya, jika berbicara mengenai Sunda tanpa dibatasi memang akan sangat panjang jadinya. Bisa-bisa sampai menyentuh kawasan “proto sundanic”, yang jika ditelusuri lebih jauh tentunya sangat menarik, tetapi sayang telah banyak “slot” yang hilang.

Sunda yang menurut R. Mamun Atmamihardja dalam bukunya Sejarah Sunda I (1956) mencatat ada sebanyak 25 arti kata Sunda yang didasarkan pada berbagai kamus bahasa, seperti bahasa Sansekerta, bahasa Jawa, dan bahasa Sunda. Dari kekayaan arti kata Sunda itu saja kita dapat menggali “Siapa Sunda itu?”. Salah satu arti kata Sunda yang dalam bahasa Sanksekerta SUNDA itu berasal dari kata Çuddha, yang berarti putih. Hal ini sejalan dengan pendapat Gonda (1973: 345-346), yang menyatakan bahwa pada mulanya kata suddha dalam bahasa Sansekerta diterapkan pada sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih bercahaya karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. Dan, Gunung Sunda itu terletak di sebelah barat Gunung Tangkuban Parahu. Ya, gunung itu terletak di Bandung Utara, seperti arti kata Sunda dalam bahasa Sanksekerta.

Juga sejalan dengan pendapat Rouffaer (1905: 16) yang menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari pinjaman kata asing berkebudayaan Hindu, kemungkinan dari akar kata sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murbi, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).

Dalam bahasa Jawa, Sunda dapat diartikan sebagai penyusun. Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti, naskah, dan sejenisnya yang menjadi media adanya budaya tulis yang cukup baik pada masyarakata Sunda. Prasasti Cibadak (1006-1016) yang berdasarkan sejarah Sunda dinilai sebagai prasasti tertua, peninggalan seorang raja Sunda Sri Jaya- bhupati. Di mana dalam prasasti tersebut tersuratlah konsep geografis-etnis dalam budaya Sunda, yaitu dengan ditetapkan Sungai Sang Hyang Tapak sebagai kabuyutan yaitu tempat yang disakralkan untuk ditaati oleh segenap rakyatnya. Salah satu terjemahan kutipan Prasasti Cibadak tersebut adalah :


Selamat, dalam tahun saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang hariyang-Kliwon-ahad wuku Tambir. Inilah saat raja sunda Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti samarawijaya Sakalabuana Mandaleswaranindita Harogowardana Wikramotungga-dewa membuat di sebelah timur Sanghyang Tapak dibuat oleh Sri Jayabhupati raja Sunda dan jangan ada yang melanggar ketentuan di sungai ini. Jangan ada yang menangkap ikan di bagian sungai ini mulai dari batas daerah kabuyutan Sanghyang Tapak di bagian hulu ...”

Naskah kuno ”Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian” (Tahun 1518 M), yang dikenal pada masa pemerintahan Sang Prabu Siliwangi (Jaya Dewata, Sri Baduga Maharaja, Keukeumbingan Raja Sunu, Sang Pamanah Rasa – 1482 – 1521 M) di kerajaan Pajajaran, terdapat satu kalimat yang mungkin agak asing bagi telinga kita yaitu ”Ngertakeun Bumi Lamba” yang dapat diterjemahkan dengan ”mensejahterakan kehidupan di dunia”. Jadi para leluhur sunda sebenarnya telah mengajarkan kepada kita bahwa salah satu tugas manusia hidup di dunia adalah untuk mensejahterakan seluruh makhluk hidup di dunia ini.

Dari catatan sejarah budaya tersebut, tatar sunda dinilai banyak memiliki warisan kabuyutan dari para leluhur baik berupa hutan lindung yang meliputi gunung dan bukit, situs purbakala dan peninggalan sejarah serta sungai-sungai strategis dan lingkungannya. Para leluhur Sunda telah mengingatkan agar seluruh kabuyutan di Tatar Sunda dilindungi, dijaga kelestariannya sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya.

Pesan-pesan para leluhur Sunda tersebut menunjukkan bahwa makna dari kabuyutan memiliki nilai yang tinggi dan strategis serta sangat dihormati oleh masyarakatnya. Pesan moral yang awalnya terbatas hanya untuk masyarakat kerajaan sunda ternyata memiliki nilai yang bersifat universal yang dapat juga dijadikan panutan oleh masyarakat di luar etnis sunda agar kita selalu bersikap arif memperlakukan alam. Karena secara nurani setiap komunitas makhluk hidup termasuk manusia, siapa dan seberapapun kecilnya selalu membutuhkan tatanan kehidupan yang seimbang, selaras dan harmonis.

Menyimak realitas kondisi keempat daya hidup (yang menurut pendapat budayawan WS Rendra, setidaknya harus terdapat tujuh daya hidup yang harus dimiliki oleh sebuah kebudayaan untuk dapat mempertahankan eksistensinya), kebudayaan Sunda menghadapi berbagai bentuk tantangan. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespon berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing.

Sebagai contoh yang paling jelas adalah bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan “keterbelakangan”, untuk tidak dikatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda tidak kalah memprihatinkan.

Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, itikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, tetapi seberapa jauh upaya yang dilakukan untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap “membumi” di masyarakat Sunda.

Seloka Sang Darma Pitutur dalam Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian

Sang Darma Pitutur menyampaikan selokanya sebagaimana dimuat dalam Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian:

“tadaga kang carita hangsa/ gajendra carita banem/ matsyanem carita sagarem/ puspanem carita bangbarem”

kalimat kunci dari pemberi seloka “Kalinganya, kita ja (u)rang dek ceta, ulah salah geusan nanya … Kalingana ulah salah geusan tanya.” demikianlah bila kita akan bertindak, jangan salah mencari tempat bertanya ….

Maksudnya janganlah salah memilih tempat bertanya.

Secara garis besar seloka tersebut di atas menghendaki agar manusia atau seseorang yang ingin tahu tentang telaga yang bening, hendaknya ia bertanya kepada angsa. Dan apabila ingin mengetahui tentang dalamnya laut, bertanyalah kepada ikan (matsya). Ingin tahu tentang keadaan hutan, bertanyalah kepada gajah; serta bilamana ingin mengetahui harumnya dan manisnya bunga bertanyalah kepada kumbang.

DICARI PENDAMPING SETIA UNTUK KARYA SASTRA!

DICARI PENDAMPING SETIA UNTUK KARYA SASTRA!

oleh Dheka Dwi Agusti N

Para ‘sejarawan’ sastra Indonesia kebanyakan mungkin akan setuju jika terbentuknya lembaga penerbitan kolonial Belanda –Balai Pustaka- pada awal abad 20 dikatakan pula sebagai awal terbentuknya sastra modern Indonesia secara formal. Secara umum istilah “Angkatan Balai Pustaka” diakui sebagai angkatan pertama dalam sejarah kesusastraan modern kita. Hingga awal abad 21 ini diperkirakan telah lahir sekitar 7 angkatan sastrawan modern Indonesia, termasuk di dalamnya “Angkatan Sastrawan 2000” sebagai angkatan sastrawan kontemporer Indonesia. Namun, sayangnya, kelahiran angkatan demi angkatan para sastrawan beserta karya sastranya tersebut tak dibarengi dengan kelahiran-kelahiran para kritikus sastra, apalagi tradisi kritik sastra. Karya sastra yang terus menerus meluap bak lumpur di Sidoarjo (termasuk di dalamnya karya-karya yang dianggap populer, kurang beresensi, dan tidak nyastra) tak diimbangi dengan kehadiran para ahli geologi. Atau sepertinya karya sastra berjalan masing-masing tanpa pendamping. Entah kemana tradisi kritik sastra Indonesia yang seharusnya menjadi pasangan hidup bagi karya sastra yang seyogianya terus menerus terperiodisasi ini.

Abrams, seorang kritkus sastra Amerika mengatakan bahwa ‘kritik’ adalah istilah yang digunakan dalam studi yang berkaitan dengan pendefinisian, pengelompokan, penganalisisan, penginterpretasian dan pengevaluasian karya sastra. Dalam bidang ini terdapat dua klasifikasi besar mengenai kritik sastra, yaitu kritik praktis dan kritik teoritis. Kritik teoritis berfungsi untuk menetapkan, dengan dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah, perbedaan dan kategori, untuk kemudian diimplementasikan pada proses identifikasi dan analisis sastra. Termasuk juga menetapkan kriteria untuk mengevaluasi karya sastra atau sastrawan. Sedangkan kritik praktis atau kritik terapan merupakan pembicaraan atas karya sastra atau sastrawan tertentu, di mana prinsip-prinsip teori yang mendasari analisis, interpretasi dan evaluasi karya tersebut biasanya tidak dinampakkan secara dominan.

Pentingnya mendasari ‘kritik sastra’ dengan menggunakan prinsip-prinsip teori memang benar adanya, mengingat untuk dapat melakukan dan menjadi pengkritik idealnya harus lebih pintar daripada yang dikritik, begitu Sapardi Djoko Damono katakan. Melakukan kritik tak bisa hanya mengandalkan bisikan hati belaka. Improvisasi juga bisa dilakukan menurut ilmu pengetahuan yang dipakai dalam proses penganalisisan karya sastra untuk melihat pengaruh atau sebab-sebab yang menentukkan ciri-ciri khas dari karya yang dimaksud. Oleh karena itu saat ini kita mengenal adanya “kritik sejarah”, “kritik sosiologi”, “kritik Marxis”, “kritik arketip”, dan sebagainya.

Apa yang terjadi dengan kritik sastra di negara kita? Padahal dari kritik-kritik itulah muncul teori-teori sastra, yang notabene akan memberikan kontribusi baru dalam dunia kesusastraan. Kebebasan menginterpretasi karya, variatifnya pandangan, membuat karya sastra sebenarnya dapat dibedah dari sudut manapun. Lebih dari itu, kritik sastra yang visioner, kata Budi Darma, selain dapat menggali kekayaan-kekayaan yang terkadung dalam sebuah karya, kritik juga sebisa mungkin memberi wawasan, serta mampu membuat seseorang untuk menghasilkan karya yang jauh lebih kaya lagi.

Mngkritik alias menjadi seorang kritikus, tak mesti mereka yang merupakan jebolan fakultas sastra (yang biasanya diidentikkan kaya dengan segudang teori). Sebab tak jarang teori-teori tersebut malah menjadi ajang gagah-gagahan belaka. Sapardi Djoko Damono dan Melani Budianta (Kompas, 16 Desember 1997) mengatakan, bukan berarti untuk menghasilkan kritik sastra seseorang harus mengetahui teori sastra secara utuh, sebab yang paling bisa diterima untuk menghasilkan sebuah karya kritik sastra, seseorang harus bergelut dengan karya sastra. Budi Darma, dalam sebuah essay mengingat HB. Jassin juga mengingatkan bahwa kritik sastra yang diusahakan untuk rasional, ditopang pula oleh teori-teori, belum tentu sanggup menembus persoalan sastra. Dan, meminjam pernyataan Mursal Esten, bahwa kegunaan kritik sastra tidak sekadar memberikan penilaian baik dan buruk, tetapi juga menjelaskan nilai-nilai dan dimensi-dimensi yang tersembunyi serta terkandung di dalam sebuah karya sastra.

Sebenarnya bukan hanya kritik sastra yang saat ini tengah dicari oleh karya sastra, tetapi hampir semua kritik seni sedang dinanti oleh karya dan senimannya. Seni rupa, seni musik, seni tari, fotografi, dsb, tengah menanti datangnya Sang Pendamping Setia. Tanpa bermaksud meresesifkan, Indonesia memang memiliki Sutardji Calzoum Bachri yang mampu menghasilkan kritik sastra yang berhasil mengungkap keunggulan dan kekurangan Sapardi Djoko Damono sebagai penyair imagis, di mana Sutardji Calzoum Bachri bukan akademisi sastra yang selalu bertolak dari teori-teori untuk mengupas puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Ada pula kritik sastra Goenawan Mohamad terhadap sajak Sapardi Djoko Damono. Kemudian kritik sastra Sapardi Djoko Damono mengenai sajak Abdul Hadi WM. Kritik F. Rahardi terhadap puisi-puisi Goenawan Mohamad sebagai puisi yang sulit dipahami, sebab penyair yang akrab disapa GM ini punya latar belakang kecerdasan, pengetahuan dan pengalaman di atas rata-rata orang Indonesia pada umumnya. Juga, kritik GM terhadap cerpen-cerpen Putu Wijaya dalam kumpulan “Blok”, dan yang lainnya. Kritik sastra kita memang telah lahir, bahkan sejak zaman Balai Pustaka, di mana Armijn Pane dengan sangat tajam mengkritik novel Sutan Takdir Alisjahbana “Layar Terkembang’, dalam bentuk novel “Belenggu”.

Namun, sebagai pasangan hidup karya sastra dan para sastrawan, kritik sastra dan para kritikus masih bersifat minoritas. Meskipun sudah ada beberapa, kita tidak boleh bahkan –demi progresifitas- haram bagi kita untuk berpuas diri. Kritik sastra masih berupa barang langka. Padahal banyak sekali karya sastra yang sampai saat ini masih menyendiri, kesepian, alias jomblo dan merindukan pendamping setia yang rela mempersuntingnya, untuk kemudian karya sastra dan kritik sastra dapat menjadi sebuah tradisi yang sakinah, berjalan berdampingan, saling mengisi dan menguatkan satu sama lain, serta melahirkan karya-karya baru yang lebih kaya.

Jalan ke mana aku membekas dan berarti

oleh Dheka  Dwi Agusti N

Tak peduli seberapa jauh aku melangkah

Aku takkan menoleh

Aku takkan berbalik

Sebab jangkar tak lagi terjuntai

Desah angin tak lagi menghempas

Tangkai bunga tak lagi mengambang

Lanjutkan

Kulanjutkan langkah ini

Perlahan kutapaki

Jalan ke mana aku membekas dan berarti

November 2003

Tak henti kilat menyapa diri

Tak baik kata tersembuh bara

Tak hela jiwa menebus gila

Desember 2007

Dheka

Pernah dalam hening malam

Pernah dalam hening malam

Kucoba rebahkan pandang

Mengapa tak kudapati setitk cahaya suci

Cahaya yang dapat bukakan mimpi

Kali ini kucoba lagi

Namun tetap hening dalam gelap tak bergeming

2003

Dheka

segera ada dan tercipta

oleh Dheka Dwi Agusti N

Dalam pijakan baru ini semoga yang dahulu tak bisa, dapat segera ada dan tercipta

Syukur atas waktu yang semakin renta dan menua

Agar tetap menjadi lintasan hidup

Damai

Penuh arti

1 Januari 2006

Tuhanku dalam segala arah

oleh Dheka Dwi Agusti N

Tuhanku dalam segala arah

Yang mengembalikan bumi dan menukar langit

Cakar-cakar dusta tak dapat sanggup merayap

Saraf yang kehilangan neuron dan sistemnya

Hati yang tanpa merah darahnya

Jelas, kulit ari telah telah membungkus seluruhnya

Meniadakan kaki tanpa langkah

Bergilir meludahi jemari dalam kepalan

9 Agustus 2003

Bintang menetes dari balik urat daun

oleh Dheka Dwi Agusti N

Bintang menetes dari balik urat daun

Mungkin karena indah

Unggunan wangi melati

Berombak menyapu bayu

Pelan

Perlahan

Pergi

Jauh

Tak kembali

14 Januari 2004

« Older entries