ABSTRACT
A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social groups (Bloch and Trager (1942:5)).
Language is a system of communication by sound, through the organs of speech and hearing among human beings of a certain group or community, using vocal symbol possessing arbitrary conventional meanings.(Pei and Gaynor (1954 :19)).
Based on two theories from linguist. A language has two principal concept are arbitrary and conventional. For example is clown with their jokes. Because language (especially: oral tongue) is articulate general communication.
Since clown has been exist in Indonesia for more than 10 years, it’s important to review and research the language of joke existence as well as it’s content we know about vocable of clown cam make our laugh. Because they have characteristics performance. The arbitrary and conventional of it make they well-known on public that interpretation within the characteristics word spelling which is considered symbols from their jokes.
Looking at language naively, one perceives two fundamental aspects. Language is used for the expression of thoughts, and the choice of linguistics means used for the expression of a specific idea varies depending on a number of contextual parameters.
The occurrence of alternative linguistic expressions is related on all levels to contextual parameters: the relative priority of specific languages, specific sociolects or dialects, specific registers and specific utterans. As a consequence, the study of language as a whole must involve the analysis of both the iternal and the contextual phenomena.
I
JUDUL
VARIASI BAHASA LAWAK “MONOKS”
(Sebuah analisis terhadap variasi bahasa lawak yang diujarkan oleh Sumono )
II
PERMASALAHAN
II. I Latar Belakang Masalah
Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi primer memang tidak dapat disangkal lagi. Segala hal dan kegiatan tidak dapat lepas dari kegiatan berbahasa bersama fungsinya. Terlebih bagi bahasa lisan yang merupakan rekaman bagi bahasa tulis. Kefundamentalan fungsi bahasa tersebut mungkin dikarenakan oleh fungsi itu sendiri, yang merupakan hasil turunan dari komponen dasar interaksi yang meliputi : penutur (ekspresif), petutur (direktif), dan pesan (referensial).
Retorika dalam berbahasa pun kian menjadi komoditi yang tidak habis untuk dikonsumsi. Kegiatan berbahasa yang tidak mengenal apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana ini pun menjadi good object serta kajian yang menarik khususnya bagi para peneliti bahasa.
Dalam kesempatan ini, menarik rasanya untuk mengkaji gejala bahasa yang terjadi dalam dunia perlawakan nasional. Diselenggarakannya ajang kompetisi nasional dalam berbagai bidang termasuk lawak, oleh beberapa stasiun televisi swasta yang notabene telah memperkaya kuantitas dan kualitas khazanah berbahasa di tanah air.
Tak bisa dipungkiri juga, bahwa banyaknya gejala bahasa yang terjadi memungkinkan bagi bahasa Indonesia itu sendiri justru lebih cepat masuk ke liang lahat. Kita tahu bahwa setiap bahasa memiliki kemungkinan untuk berkembang dan mati. Itu semua tinggal menunggu waktu dan peranan masyarakat itu sendiri dalam proses penggunaannya.
Ada hal baru yang perlu disorot dari dunia perlawakan kita. Yaitu salah satu tim lawak yang tergabung dan menamakan dirinya “LIMAU” (salah satu kontestan 3 besar sekaligus juara ketiga dalam di Audisi Pelawak TPI –API-) dengan ciri khas melawaknya yang kerap mengimbuhkan bunyi “s” pada beberapa akhir kata yang diucapkannya.
Dialah Monoks, pelawak yang kerap kali mengocok perut penontonnya, dengan gesture dan tindak tuturnya ketika beraksi di panggung. Gaya lawakannya yang khas membuat ia tetap segar dalam ingatan penontonnya. Bahkan jika kita hanya mendengar lawakannya saja, mungkin kita dapat segera memastikan bahwa salah satu yang berada di atas panggung sana adalah Monoks. Karena Sumono –demikian nama aslinya- kerap kali mengimbuhkan bunyi [s] dalam beberapa akhir kata yang dituturkannya ketika melawak.
Hal tersebut menjadi nuansa baru bagi kita semua, apalagi dalam dunia perlawakan itu sendiri. Karena Monoks boleh dikatakan sebagai orang pertama yang mengekspresikan tindak tuturnya bersama bunyi [s].
Tujuan yang utama, mungkin saja hanya sekedar untuk menghibur dan membuat penonton tertawa terpingkal-pingkal melihat aksinya. Namun secara tidak langsung kegiatan melawak yang erat kaitannya dengan kegiatan berbahasa ini, membuat orang-orag yang berkecimpung dalam dunia bahasa menjadi “gerah” sehingga tertarik untuk melakukan penelitian.
Tindakan ilokusi yang digunakan, dengan klasifikasi fungsi jenis konfliktif ini, termasuk dalam criteria ekspresif. Di mana terdapat fungsi untuk mengekspresikan atau mengungkapkan atau memberitahukan sikap psikologis sang pembicara menuju suatu pertanyaan keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi.
Sedangkan jika dilihat melalui sudut pandang mengenai tujuh fungsi bahasa yang digagas oleh Halliday dalam bukunya yang berjudul “Explorations ini the Function of Language” (1973), peristiwa bahasa ini terkategorikan dalam fungsi instrumental, interaksional dan imajinatif. Di mana fungsi-fungsi tersebut saling mengisi dan menunjang satu sama lain.
Peneliti tertarik salah satunya terhadap respon penonton Monoks yang tertawa dengan lawakannya. Juga terhadap masyarakat yang mungkin tidak akan mudah untuk melupakan dengan gaya tuturannya yang cukup fenomenal. Bahkan tidak mustahil juga tengah menjadi trendsetter dalam bahasa pergaulan atau komedian di masyarakat kita.
Kang Ibing, salah seorang dewan juri (Tim Pencela –istilah dewan juri dalam Audisi Pelawak TPI) ini pernah mengungkapkan bahwa Sumono dapat dikatakan sebagai pelawak yang kreatif dan inivatif. Karena dia berani dan berhasil menciptakan nuansa baru yang notabene menjadikannya sebagai ciri khas bagi dirinya sendiri dalam dunia perlawakan nasional.
Penelitian terhadap variasi bahasa baru ini, khususnya dalam cakupan pembahasan fonetis belum pernah dilakukan oleh siapapun. Karena itu peneliti melakukan penelitian berdasarkan tayangan di televisi, baik yang merupakan siaran langsung maupun siaran ulang. Ketika Audisi Pelawak TPI masih berada dalam tahap kompetisi. Tepatnya peneliti melaksanakan perekaman selama Mei 2005.
Demikian gejala tersebut, merealisasikan kearbiteran serta konvensionalitas bahasa. Arbiter yang dapat diartikan “sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka’ (Abdul Chaer,1994:4)” sedang Ferdinand de Saussure dalam dikotominya membedakan apa yang disebut signifiant (Inggris: signifier) sebagai lambang bunyi itu sendiri dan signifie (Inggris: signified) sebagai konsep yang dikandung oleh signifiant.
II. II Identifikasi Masalah
Proses penyampaian lawakan secara lisan dalam acara Audisi Pelawak TPI, yang diselenggarakan oleh stasiun televisi swasta, Televisi Pendidikan Indonesia. Baik yang merupakan siaran langsung maupun siaran ulang. Dalam penelitian ini, fonetis ujaran Monoks yang menjadi bahan penelitian.
II. III Pembatasan Masalah
Peneliti mengkaji ujaran-ujaran Sumono, khususnya mengenai aspek penyertaan bunyi [s] dalam ujaran beberapa akhir kata, pada saat melawak dalam ajang Audisi Pelawak TPI (API) selama Mei 2005.
II. IV Rumusan Masalah
Bagaimana penyertaan bunyi [s] yang dilakukan oleh Sumono dalam mengekspresikan ujaran-ujaran lawaknya? Serta aspek-aspek morfologis dan sintaksis yang terdapat di dalamnya.
III
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya variasi bahasa baru yang terjadi dalam proses berbahasa oleh seorang pelawak di mana bunyi [s] terjadi sebagai penyerta dalam ujarannya.
IV
MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini bermanfaat umumnya bagi semua kalangan masyarakat. Dan khususnya bagi orang-orang yang berkecimpung dalam dunia bahasa. Di mana secara teoritis hasil penelitian ini dapat dijadika sebagai salah satu referensi khazanah perkembangan sekaligus problematika yang terjadi dalam ilmu bahasa Indonesia.
V
DEFINISI OPERASIONAL
Bahasa lawak Sumono adalah ujaran-ujaran yang dipakai secara lisan sebagai lawakan. Yang notabene membuat penontonnya tertawa dengan lawakan yang ia sajikan, tepatnya di stasiun TPI setiap minggu selama Mei 2005.
VI
KAJIAN TEORI
A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which a social groups (Bloch and Trager, 1942:5)
Bahasa adalah satu sistem menggunakan simbol-simbol bunyi yang arbitrer dari suatu kelompok social.
Language is a system of communication by sound, through the organs of speech and hearing among human beings of a certain group or community, using vocal symbol possessing arbitrary conventional meanings.(Pei and Gaynor, 1954 :19)
Bahasa adalah satu sistem komunikasi dengan bunyi, yaitu melalui alat ujaran dan pendengaran, antara orang-orang dari kelompok atau masyarakat tertentu dan dengan mempergunakan symbol-simbol vocal yang arbitrer dan konvensional.
Language is purely human and non-instinctive method of communicating ideas, emotions, and desire by means of voluntary produced symbols. (Sapir, 1921 : 8)
Bahasa adalah cara atau metode mengomunikasikan pendapat, emosi, dan keinginan dari manusia yang bukan instingtif dengan menggunakan symbol-simbol.
Language is a system of arbitrary vocal symbols used for human communications. (Wardhaugh, 1972 : 85)
Bahasa adalah satu symbol vocal yang arbitrer yang dipakai dalam komunikasi manusia.
Demikian kearbitreran yang dikemukakan oleh para ahli linguistik di atas, tengah terealisasi oleh adanya satu gejala bahasa dalam sebuah situasi komedi, khususnya dunia perlawakan nasional yang diusung oleh Sumono. Kearbitreran yang terjadi ini, akan peneliti melalui bahas dalam konteks fonetis.
Arbitrernya bahasa yang digunakan oleh Sumono adalah penyertaan bunyi [s] pada beberapa akhir ujaran dalam lawakannya. Bunyi [s] yang mengiringi beberapa ujaran Sumono ini, merupakan bunyi spiran. Di mana bunyi tersebut diproduksi melalui jalan arus udara yang dihalangi pada salah satu tempatnya. Sehingga hanya merupakan sebuah lubang kecil yang berbentuk sebagai lembah panjang atau celah yang dilalui udara tersebut. [s] juga termasuk bunyi ejektif, di mana bunyi dihasilkan melalui proses egresif glotalik –ialah bunyi yang terbentuk dengan arus udara egresif (keluar) dengan mekanisme glotalik yaitu mekanisme yang terjadi dengan cara merapatkan pita-pita suara sehingga glottis dalam keadaan tertutup rapat sekali. Bersama-sama dengan itu seluruh rongga pangkal tenggorok (laring) disempitkan dan rongga dinaikkan sehingga udara dalam rongga mulut dan rongga kerongkongan (faring) terhambat serta tertekan. Saluran rongga mulut dan hidung ditutup kemudian udara yang terhambat dan tetekan itu dihembuskan keluar dengan cara membuka saluran rongga mulut. (Marsono, 1999 : 23-24)
Bunyi [s] juga merupakan konsonan frikatif, lamino-alveolar di mana bunyi ini terjadi bila artikulator aktifnya ialah daun lidah dan ujung lidah, sedangkan artikulator pasifnya adalah gusi. (Marsono, 1999 : 86)
VII
ANGGAPAN DASAR
Pelawak sebagai Intraverbal Operant dimana operan berbahasa terdahulu yang dlakukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya jika sebuah kata yang diucapkan sebagai stimulus, maka kata yang lain yang mempunyai hubungan dengan kata tersebut akan diucapkan respons. (contohnya: jika kata “terima kasih” berkedudukan sebagai stimlus maka akan membangkitkan kata “kembali” sebagai respons). Demikian analisis Bloomfield & Shuner (1957) yang mengatakan bahwa intraverbal operant merupakan salah satu kategori respons berbahasa selain mands, tacts, echois, dan textuals.
Seorang pelawak juga harus memiliki tingkat imajinasi yang tinggi agar dapat mencapai kategori intraverbal operant seperti di atas. Terlebih bahasa atau kata yang menjadi stimulus dan respons harus diperoleh secara alamiah.
Demikian sulitnya menjadi seorang pelawak, maka tidak heran jika masing-masing pelawak, termasuk Sumono, mencari kekhasannya dalam berbahasa. Sumono pun melakukan “Laminalisasi Fortis” dalam ujaran lawaknya. Laminalisasi fortis, merupakan sebutan peneliti terhadap bunyi pengiring baru, yaitu bunyi [s] pada beberapa akhir kata yang diujarkan oleh Sumono dalam lawakannya.
Laminalisasi Fortis adalah sebutan bagi bunyi pengiring [s]
VIII
HIPOTESIS
Laminalisasi Fortis digunakan sebagai sebutan (bunyi pengiring [s] dalam ujaran-ujaran lawak Sumono) pada penelitian ini. Hal yang menjadikannya sebagai variasi bahasa yang cukup baru di Indonesia. Adapun pemilihan bunyi [s] sebagai bunyi yang mengiringi ujaran-ujaran penutur dalam lawakannya, menurut pertimbangan aspek kebahasaan khususnya dalam lingkup fonetis adalah karena bunyi [s] itu sendiri merupakan konsonan geseran, lamino-alveolar sebagai hasil artikulasi. Dengan artikulator aktifnya adalah daun lidah dan ujung lidah, sedangkan arktikulator pasifnya adalah gusi. (Marsono, 1999 : 86)
Bunyi bahasa yang termasuk ke dalam golongan frikatif lamino-alveolar adalah [s, z]. Maka untuk lebih menspesifikasikan bunyi [s], peneliti menmbahkan kata fortis. Bunyi [s] memang termasuk pada klasifikasi bunyi keras. Di mana pembedaan antara fortis (keras) dan lenis (lunak) ini didasarkan pada ada tidaknya ketegangan arus udara pada waktu bunyi itu diartikulasikan (Malmberg, 1963 : 51-51). [s] merupakan bunyi yang termasuk dalam bunyi geseran, tak bersuara, sibilant atau desis, juga keras. Sedangkan [z], walaupun sama-sama terproduksi dengan articulator yang sama dengan bunyi [s] namun termasuk ke dalam bunyi geseran yang bersuara saja.
IX
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelititian ini adalah “Metode Hubungan Sebab – Akibat” (Causal Comparatif). Yakni penelitian hubungan sebab akibat yang bersifat ex post facto, yaitu data dikumpulkan setelah semua kejadian yang dipersoalkan berlangsung (lewat). Peneliti mengambil beberapa akibat sebagai dependent variable dan menelusuri data-datanya kembali ke masa yang telah lalu tersebut untuk mencari sebab-sebab, saling hubungan, dan maksud tujuannya.
Tentu saja dengan objek penelitian variasi bahasa lawak yang berlaminalisasi fortis. “Mengapa dapat terjadi variasi bahasa tersebut, bagaimana dan apa yang melatarbelakanginya ?
X
TEKNIK PENELITIAN
X. I Teknik Pengumpulan Data
Instrumen pengumpul data digunakan berupa :
-
Identifikasi penutur dan petutur beserta latar belakangnya.
Penutur
Penutur adalah pelawak perwakilan kota Jakarta. Namun lahir dan berasal dari kota lamongan, Jawa Tengah. Beralmamaterkan Universitas Muhammadiyah Prof DR Hamka Jakarta (UHAMKA).
Latar Belakang Penutur
Nama asli : Sumono
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 26 tahun
Latar belakang kebahasaan : Indonesia
Latar belakang dialek : Jawa-Indoensia, dan Jakarta-Indonesia.
Latar belakang sosial ekonomi : Kelas menengah
Tingkat pendidikan : Perguruan Tinggi.
Petutur
Petutur adalah Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Semester III.
Latar Belakan Petutur
Nama asli : Dheka Dwi Agusti Ningsih
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 19 tahun
Latar belakang kebahasaan : Indonesia
Latar belakang dialek : Jawa- Indonesia
Latar belakang sosial ekonomi : Kelas menengah
Tingkat pendidikan : Perguruan tinggi
b. Observasi dengan menggunakan teknik perekaman secara audio menggunakan recorder micro cassette. Setiap minggu (tanggal 1, 8, 15, dan 22) selama Mei 2005.
c. Studi pustaka untuk memperoleh berbagai teori yang akan dijadikan acuan dalam melaksanakan suatu penelitian.
d. Mengkaji teknik sampling yang mana diperkirakan tepat serta valid untuk menggali dan menemukan scope dan sequen data yang harus diperoleh dari objek penelitian.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperolehlah suatu penelitian yang :
Judul : VARIASI BAHASA LAWAK “MONOKS”
(Sebuah analisis terhadap variasi bahasa lawak yang diujarkan oleh Sumono )
Metode : Hubungan Sebab – Akibat (Causal Comparatif)
Teknik : Identifikasi, Observasi, Studi pustaka.
X. II Teknik Pengolahan Data
Dalam tahap pengolahan data, ada beberapa langkah yang dilakukan peneliti, yaitu :
a. Memeriksa dan memilih data yang masuk.
b. Mengklasifikasikan data.
c. Menabulasikan data, yang terdiri dari :
– Membuat transkripsi ortografis dari data hasil perekaman.
Hasil Transkripsi Ortografis
<Mampus itu lalat. Masa tiap jalan, tiap gerak, selalu dikejar-kejar sama lalat. Memangnya guwe jenazah gosong apa? Sembarangan itu lalat. Eh, ngeledek lagi. Ternyata ketangkep. Biar tidak kemana-mana lagi.>
<Cukup bagus, Cuma sayang agak sedikit bau.>
<Saya Mono, petugas dinas perhubungan. Gini-gini adalah petugas yang disiplin, punya dedikasi, loyalitas, royalti dan punya tangung jawab yang tinggi.>
<Saya dibuatin jalur khusus, spesial tanpa telur.>
<Ok, aduan kamu saya set dulu yah.>
<Hey, dik-dik. Adikkan tahu kalau adik melanggar peraturan>
<KPK, kagak punya kendaraan>
Hasil Transkripsi Fonetis
[#mam+pUs / tu / la+lAts # mÂ+sa? / tiy+aps / ja+lAns // tiy+aps / gə+raks // sə+la+lU / di+kə+jAr / a+mA / la+lAts # E+mAŋ+ña / gU+we / jə+nA+jah / go+sOŋs / a+pAh # səm+ba+ra+ŋAn / tu / la+ lAts # Eh / ŋə+lɛ+dɛks / la+gIks # tər+ña+ta / kə+tAŋ+kaps # biy+ar / ti+dAk / kə+ma_na / ma+na / la+gIks #]
[#cu+kUp / ba+gUs // cu+man / sa+yaŋ / a+gA? / sə+di+kIt / ba+uks #]
[#sa+yam / mo+nO ks // pə+tu+gas / di+nas / pər+hu+bu+ŋan s # gi+nI / gi+nIks / a+dA+lAh / pə+tu+gas / yaŋ / di+sIp+lIns // pu+ ña / də+di+ka+si / lo+ya+li+tAs/ ro+yal+ti / dan / pu+ ña // tan+gUŋ / ja+wab // yaŋ / tiŋ+gi #]
[#sa+ya / di+buw+atIn / ja+lUr / ku+sUs // sə+pə+si+al s / tAm+pa / tə+lOr#]
[#oks // a+duw+an / ka+mu/ sa+ya / sɛt / du+lu / yah #]
[#hEy / dIks / dIks / a+dIk+kAn / ta+u / ka+lo / a+dIk / mə+laŋ+gar / pə+ra+tu+rAn s #]
[#ka+pɛ+ka // ka+gAk s / pu+ ña / kən+dA+rA+ an s #]
– Menganalisis semua gejala fonetis yang terdapat dalam data yang tersedia.
Contohnya :
-
Gejala pengurangan atau penghilangan fonem
-
Gejala penambahan fonem
-
Gejala hypercorrect
-
Gejala Marginal
-
Gejala Labialisasi
-
Gejala Palatalisasi
-
Gejala monoftongisasi
-
Laminalisasi Fortes
– Menganalisis proses-proses morfologis dan sintaksis yang terdapat dalam data yang tersedia.
XI
HASIL ANALISIS
Aspek Fonologis
Terdapat beberapa gejala fonetis, baik yang sudah lazim, maupun gejala yang dianggap cukup baru dalam sebuah ujaran pada kegiatan berbahasa. Yaitu :
a. Gejala pengurangan atau penghilangan fonem
a.1 Gejala afaresis (pengurangan diawal)
/itu/ menjadi /tu/
/sama/ menjadi /ama/
memang/ menjadi /emang/
a.2 Gejala Sinkop (pengurangan di tengah)
/tahu/ menjadi /tau/
b. Gejala penambahan fonem
b.1 paragog
/cuma/ menjadi /cuman/
b.2 Gejala Epentesis
/spesial/ menjadi /sepesials/
-
Gejala hypercorrect
/zenajah/ menjadi /jenajah/
/tanpa/ menjadi /tampa/
/khusus/ menjadi /kusus/
-
Gejala Marginal
/telur/ menjadi /telor/
-
Gejala Labialisasi
/buat/ menjadi /buwat/
/aduan/ menjadi /aduwan/
-
Gejala Palatalisasi
/tiap/ menjadi /tiyap/
biar/ menjadi /biyar/
-
Gejala monoftongisasi
/kalau/ menjadi /kalo/
-
Laminalisasi Fortis 1)
/lalat/ menjadi /lalats/
/tiap/ menjadi /tiyaps/
/gerak/ menjadi /geraks/
/gosong/ menjadi /gosongs/
/ngeledek/ menjadi /ngeledeks/
/lagi/ menjadi /lagiks/
/ketangkap/ menjadi /ketangkaps/
/mono/ menjadi /monoks/
/perhubungan/ menjadi /perhubungans/
/gini/ menjadi /giniks/
/disiplin/ menjadi /disiplins/
/spesial/ menjadi /spesials/
/ok/ menjadi /oks/
/peraturan/ menjadi /peraturans/
/kagak/ menjadi /kagaks/
/kendaraan/ menjadi /kendaraans/
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, ditemukan 10 gejala fonetis yang berbeda. Pada kesempatan kali ini, penelitian lebih difokuskan pada gejala laminalisasi fortes saja (lihat h).
a. Laminalisasi fortis terdapat kata yang berakhiran :
vokal : /i/, /u/, dan /o/ (bersifat dominan)
/a/ dan /e/ (bersifat resesif)
Konsonan : /t/, /p/, /n/, /k/, /ŋ/, /l/.
b. Analisis terhadap laminalisasi fortis hanya terjadi pada kata yang berkhiran vokal (dominan), terklasifikasi dengan tinggi lidah minimal madya atas.
i= tinggi atas
u= tinggi bawah
o= madya atas
Karena hanya pada ketinggian lidah seperti diataslah konsonan hambat letup dorso-velar (k) yang juga berstriktur tertutup lebih mudah dan alamiah ketika diucapkan. Baru kemudian diikuti kembali oleh laminalisasi fortis (s).i,u, dan o yang merupakan vokal dengan bunyi keras (fortes) juga memiliki striktur :
I= close vowels striktur berbanding lurus
U=close vowels dengan posisi
O= half-close vowels tinggi rendahnya lidah
Adapun vokal /a/ dan /e/ kurang memiliki hubungan posisional sehingga pelafalannya yang diikuti oleh konsonan hambat letup /k/ dan /s/s terasa jangggal dan kurang alamiah.
c. Analisis terhadap konsonan
Laminalisasi fortis hanya terjadi pada konsonan yang terklasifikasi sebagai berikut
Striktur
|
Cara Artikulasi
|
Tempat Artikulasi
|
Bilabial
|
Apiko Dental
|
Apiko Alveolar
|
Dorso Velar
|
Rapat tiba-tiba lepas |
Hambat letup |
p |
t |
|
k |
nasal
|
m
|
|
n
|
|
lateral
|
|
|
l
|
|
/m/ dan /p/ = bilabial
/p/, /t/, dan /k/ = hambat letup
/k/ dan // = dorsovelar
// dan /n/ = nasal
/n/ dan /l/ = apikoalveolar
Dapat dilihat dari tabel di atas, terdapat kesamaan antara konsonan satu dengan lainnya. Hal tersebut melahirkan kemungkinan-kemungkin penyebab terjadinya gejala laminalisasi fortes adalah sebagai berikut.
[s] merupakan konsonan frikatif (geseran) lamino alveolar yang terjadi bila artikulator aktifnya ialah daun lidah dan ujung lidah sedangkan artikulator pasifnya ialah gusi. Bunyi “s” terbentuk jika :
-
Langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan sehingga udara tidak keluar melalui rongga hidung tetapi terpaksa melalui rongga mulut.
-
Daun lidah dan ujung lidah ditekankan pada gusi, sehingga ruangan jalannya udara antara daun lidah dengan gusi itu sempit sekali yang menyebabkan keluarnya udara dengan bergeser.
-
Gigi atas dan gigi bawah dirapatkan.
Dari proses produksi bunyi “s” yang telah dikemukakan di atas. Ternyata memiliki hubungan yang posisional dengan bunyi konsonan, yaitu :
Konsonan /p/ /t/ dan /k/ dimana bunyi tersebut terbentuk jika langit-langit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan dan udara keluar melalui rongga mulut, sedangkan pada /n/dan//, walaupun bunyi tersebut terbentuk jika langit-langit lunak dan anak tekaknya diturunkan dan udara keluar dari hidung, tetapi disertai dengan bergetarnya pita suara. Dan pada /l/ terbentuknta bunyi jika langit-kangit lunak beserta anak tekaknya dinaikkan dan udara keluar melalui rongga mulut serta pita suara ikut bergetar.
Proses dan posisi yang terjadi pada bunyi konsonan tersebutlah yang menyebabkan bunyi ‘s ’dapat mengimbuh dan menjadi bunyi pengiring baru dalam gejala fonologis.
Aspek Morfologis dan Sintaksis
Secara morfologis, dalam ujaran lawak penutur terjadi campur kode. Meskipun tidak menjadi suatu hambatan yang berarti dalam proses berkomunikasi. Terdapat beberapa kata bahasa Indonesia yang tak baku yang merupakan kosakata bahasa daerah betawi, seperti : guwe, sama, gini, dan kagak. Satu kosakata asing, yang merupakan bahasa Inggris, yaitu : set. Dan sisanya merupakan bahasa Indonesia baku, yaitu :
Bentuk Tunggal
mampus jenazah yang disiplin adik
itu gosong adalah punya tahu
lalat apa dinas dedikasi kamu
tiap lagi saya loyalitas tanpa
jalan tidak bau royalty spesial
gerak cukup sedikit dan khusus
selalu bagus agak tinggi jalur
Bentuk Kompleks Bentuk Kompleks Tak Baku
dikejar-kejar ngeledek = meledek
memangnya ketangkep = tertangkap
sembarangan dibuatin = dibuatkan
ternyata
kemana-mana
petugas
perhubungan
melanggar
peraturan
kendaraan
KPK (Kagak Punya Kendaraan)
Beberapa proses morfologis terjadi, diantaranya : afiksasi, klitilisasi, reduplikasi seluruh, dan abreviasi. Abreviasi jenis singkatan dengan pengekala huruf awal dari sebuah leksem atau huruf awal dari gabungan leksem terjadi pada /KPK/ yang merupakan singkatan dari Kagak Punya Kendaraan.
Adapun bentuk kompleks tak baku yang terdapat dalam ujaran lawak peutur terdapat penyetaraan dengan bentuk baku dalam bahasa Indonesia. Seperti afiks nge- yang setara dengan prefiks meN-
prefiks ke- yang setara dengan prefiks ter-
konfiks di-in yang setara dengan konfiks di-kan
Kalimat-kalimat yang digunakan pun cenderung pendek. Terdiri dari kalimat tunggal yang sederhana. Namun ada pula beberapa kalimat tunggal sempurna. Dan jika dilihat dari klausa sebagai unsure pembentuknya. Maka ujaran tersebut terdiri dari kalimat berklausa dan beberapa kalimat tak berklausa, seperti : “Oke” dan “Hey”.
Keterangan label kelas kata.
(a) adjektiva, yaitu kata yang menjelaskan nomina atau pronomina.
nomina adalah kelas kata yang dalam bahasa Indonesia ditandai oleh tidak dapat bergabungnya dengan kata tidak, misal : rumah. Biasanya dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa.
pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengganti orang atau benda; kata ganti seperti aku, engkau, dia.
(adv) adverbia, yaitu kata yang menjelaskan verba, adjektiva, adverbial lain, atau kalimat. Misal ; sangat, lebih, tidak.
(n) nomina , yaitu kata benda.
(num) numeralia, yaitu kata bilangan.
(p) partikel, kelas kata yang meliputi kata depan, kata sambung, kata seru, kata sandang, ucapan salam.
(pron) pronomina, kelas kata yang meliputi kata ganti, kata tunjuk, dan kata tanya.
(v) verba, yaitu kata kerja
XII
POPULASI DAN SAMPEL
Suatu penelitian memerlukan objek untuk diteliti, tanpa adanya objek maka penelitian tidak akan dapat dilaksanakan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suharsimi Arikunto, bahwa “Populasi yaitu keseluruhan subjek penelitian” (Suharsimi, 1998 : 115).
Berdasarkan pengertian tersebut maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah Sumono, salah satu anggota grup lawak “LIMAU”, kontestan sekaligus juara ketiga dalam ajang Audisi Pelawak TPI.
XIII
SISTEMATIKA PELAPORAN
-
Penulisan draft laporan yang berisi :
-
Proses penelitian.dan prosedur penelitian
-
Data yang dikumpulkan
-
Hasil-hasil analisis data penelitian
-
Kelengkapan lampiran-lampiran yang diperlukan
-
Peninjauan ulang (sanctioning)
Draft yang telah disusun tersebut diperiksa kembali keabsahannya. Setelah diadakan perbaikan dan penyempurnaan secukupnya.
-
Penerbitan
Naskah yang telah selesai, kemudian diperbanyak sesuai dengan keperluan.
XIV
KESIMPULAN
Pada dasarnya banyak sekali gejala dalam kegiatan berbahasa yang terjadi di sekitar kita dan menarik untuk dikaji. Karena bahasa merupakan sesuatu yang universal dan integral. Tidak ada satu hal pun yang dapat lepas dari bahasa. Seperti halnya lawakan. Banyak cara digunakan agar seseorang memiliki karakteristik yang kelak akan menjadi sebuah ciri khas atau bahkan trendsetter. Hal tersebut dimungkinkan oleh beberapa faktor (yang dapat dikaji dalam disiplin ilmu lain) seperti kesengajaan.
Keefektifan variasi bahasa yang diusung oleh Sumono sebagai sarana komunikasi khususnya dalam bidang lawak dirasa cukup efektif. Dengan menggunakan kalimat yang pendek-pendek dan relative mudah dimengerti. Terlebih dalam ujaran langsung (bahasa lisan), di mana unsure-unsur suprasegmental senantiasa tetap terjaga dan memperkuat karakter bahasa sekaligus juga untuk karakter yang tengah diperankan. Meskipun terdapat banyak gejala yang meliputi fonetis, morfologis maupun sintaksis, tetapii tidak mengurangi atau mengubah secara signifikan terhadap aspek pragmatic dan semantik yang ada.
Kemampuan berbicara penutur, dengan variasi bahasa lawak yang disertai pengimbuhan bunyi [s] terpola dan teratur cukup baik. Dalam arti kemampuannya mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan dapat diterima pendengar dengan cukup baik. Pendengar atau penonton atau penutur menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian (juncture). Ditambah lagi dengan gerak tangan, gesture dan mimic sang penutur.
Faktor-faktor kebahasaan seperti ketepatan ucapan, penempatan tekanan, nada, sendi dan durasi, diksi serta ketepatan sasaran pembicaraan dinilai cukup ideal dalam konteks dunia perlawakan. Sedangkan sikap ketidakwajaran, sebagai factor non-kebahasaan yang biasanya berpengaruh buruk terhadap keefektifan suatu ujaran, justru menjadi salah satu daya tarik tersendiri yang juga mendukung peristiwa bahasa tersebut berlangsung secara artistik. Juga didukung oleh kelancaran, kenyaringan suara, relevansi dan penalaran, serta penguasaan topic dilakukan oleh penutur, menambah efektifnya sebuah lawakan yang sebenarnya terhimpit durasi.
Namun hal tersebut ketika diteliti dan dikaji lebih lanjut secara fonetis ternyata kita akan menemukan suatu pola atau rumus baru yang akan memperluas dan mempertajam pola pemikiran kita.
XIV
DAFTAR PUSTAKA
Robin, R. H. 1979. General Linguistics an Introductory Survey. London : Logman Group
Verhaar, J. W. M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Alwasilah, A. Chaedar. 1985. Beberapa Madzhab dan Dikotomi Toeri Linguistik. Bandung : Angkasa
Ibrahim, Abdul Syukur. 1985. Linguistik Komparatif. Surabaya : Usaha Nasional
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta
Badudu, J. S. 1985. Pelik-pelik Bahasa Indonesia. Bandung : Pustaka Prima
Samsuri. 1987. Analisis Bahasa. Jakarta : Erlangga
Lyons, John. 1995. Pengantar Teori Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Taylor, Insup. 1990. Psycholinguistics Learning and Using Language. USA : Prentice-Hall
Marsono. 1999. Fonetik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Tarigan, H. G. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung : Angkasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1981. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta : Balai Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Dietrich, Rainer dan Graumann, Carl. F. 1989. Language Processing in Social Context. Belanda : Elsevier Science Publisher B. V.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta
Arsjad, Maidar G. dan U.S, Mukti. 1988. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta : Erlangga.
Ramlan, M. 2001. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta : C. V. Karyono