Aliran kesusastraan dalam Karya Sastra Indonesia

Ciri-ciri Aliran Realisme-Sosialis yang terdapat dalam  Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer

oleh Dheka Dwi Agusti N.

BAB 1

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Dalam dunia kesusatraan ada banyak gerakan dan aliran yang berkembang di dalamnya. Baik sebagai hasil dari saripati yang diperas dari karakteristik karya yang berkembang maupun sebagai kararkter yang sengaja dimunculkan dalam sebuah karya sastra sebagai pengokoh keberadaan sebuah gerakan atau aliran kesusatraan tertentu.

Secara sederhana aliran besar yang terdapat dalam kesusastraan dunia adalah romantisisme, realisme, modernisme, dan pascamodernisme. Sementara gerakan-gerakan yang dianggap sebagai aliran kecil yang memengaruhi aliran besar di atas adalah klasisisme, neoklasisisme, praromantisme, ghotik, dadaisme, naturalisme, realisme-sosialis, utilitarian, pascaromantisisme, art for art’s sake, simbolisme, impresionisme, dekaden, absurdisme, dan eksistensialisme.

Setiap gerakan maupun aliran memiliki karakteristik yang khas yang sedikit banyak menampakkan kondisi zaman di mana aliran tersebut berkembang. Aliran yang dinobatkan berasal dari kawasan Eropa dan Inggris tersebut tentunya mengalami migrasi. Mengalir dan berkembang ke penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Pada setiap negeri yang disinggahi oleh perkembangan aliran itu tentunya memiliki dan memunculkan karakteristik yang lebih khas lagi, sesuai dengan kondisi negeri di mana aliran tersebut berkembang. Realisme-sosialis yang berkembang di Indonesia salah satu contohnya.

Realisme-soialis yang berkembang di Indonesia selama ini terbungkus Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dan selama ini pula kerap menjadi bahan perbincangan yang tak ada habisnya. Aliran sastra yang menginduk pada mazhab realism ini pada taraf mula di Indonesia karyanya kerap mendapatkan ejekan, hinaan dan lecehan dari golongan-golongan dan klas borjuis sebagai karya-karya yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan seni dan sastra.

Jauh lebih menyedihkan lagi, realisme-sosialis kerap dianggap sebagai ideologi jahat. Relisme-sosialis adalah ideologi Lekra, smentara Lekra sendiri adalah organisasi seniman yang berafiliasi dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), dan PKI adalah partai politik yang sosoknya selalu diidentikkan jahat yang tak boleh ada di bumi Indonesia.

Ciri-ciri atau karakteristik aliran realism-sosialis ini dapat digali dari karya sastra genre apapun, tetapi yang paling kentara adalah novel. Di Indonesia, novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer kerap diklasifikasikan sebagai novel sejarah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam karya-karya Pram sedikit banyak memuat cirri realism-sosialis, sebab novel sejarah merupakan bentuk konkret karya sastra beraliran realism-sosialis.

2 Batasan dan Rumusan Masalah

Pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada aliran realisme khususnya realisme-sosialis, dan dalam media karya sastra bergenre novel. Novel yang akan dianalisis adalah karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu: Bagaimanakah ciri-ciri aliran realism-sosialis yang terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer?

3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan ciri-ciri aliran realisme-sosialis yang terdapat dalam karya sastra Indonesia bergenre novel yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.

4 Kerangka Teori

4. 1 Aliran dalam Kesusasteraan

Kata “aliran” berasal dari kata stroming (bahasa Belanda) yang mulai muncul di Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata itu bermakna “ keyakinan yang dianut golongan-golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham lama (Hadimadja, 1972:9). Dalam bahasa Inggris, terdapat dua kata yang maknanya sangat berkaitan dengan aliran, yaitu periods, age, school, generation dan movements.

Secara sederhana gerakan dan aliran yang terdapat dalam kesusastraan sebagai berikut:

Gerakan-gerakan

Aliran atau mazhab

1

Klasisisme

2

Neoklasisisme

3

Praromantisisme-ghotik

romantisisme

1

dadaisme

realisme

1

naturalisme

2

Realisme-sosialis, Lucaks

3

utilitarian

4

Pascaromantisisme, art for art’s sake

5

Simbolisme, impresionisme, dekaden

modernisme

1

Eksistensialisme

2

absurdisme

pascamodernisme

Bagan 1. Aliran atau Mazhab Sastra

4. 2 Aliran Realisme

Pada umumnya realisme dilihat sebagai reaksi terhadap aliran romantik. Realisme berusaha menggambarkan hidup dengan sejujur-jujurnya tanpa prasangka dan tanpa usaha memperindahnya. Aliran ini didorong oleh semangat zaman yang mementingkan kegiatan yang rasional dan kemajuan ilmu pengetahuan pada abad ke-19.

Abad ke-19 adalah abad penuh perubahan dalam sejarah peradaban Barat. Perubahan itu mencakup pertumbuhan 1) nasionalisme yang sangat kuat, 2) kelas menengah, dan 3) aspirasi atau slogan kebebasan. Pada abad ke-19 Inggris merajai dunia. Britania memerintah serta menguasai samudera dan dunia. Hal itu disebabkan adanya revolusi industri dan penemuan Charles Darwin dalam khazanah ilmu pengetahuan dan teorinya, yaitu teori evolusi.

Revolusi industri memacu kemajuan ekonomi, sosial, dan teknologi. Kemajuan-kemajuan di bidang itu mengokohkan iptek dan kelas menengah, kemudian segala sesuatu dimesinkan. Revolusi industri merupakan katalisator bangkitnya kelas menengah.

Kesusastraan Inggris sebetulnya hanya England. Akan tetapi, yang dimaksud adalah seluruh negara bagian karena karya sastra yang ditulis menggunakan bahasa Inggris (meskipun negara-negara bagian itu memiuliki bahasa sendiri. Pengarang realisme di Inggris, misalnya George Eliot, Trollope, Thakeray dan Charles Dickens. Di Amerika Serikat perkembangan realisme di dalam novel didahului oleh Mark Twain, William Dean Howells, dan Henry James.

Realisme selalu memasukkan moral, dengan demikian seni bagi realisme adalah sarana untuk mengkritik dan menyampaikan pesan moral. Inilah yang kemudian ditolak oleh gerakan seni untuk seni karena puisi bukan merupakan sarana pesan. Genre penting dalam realisme adalah novel. Novel-novel sejarah dapat dimasukkan ke dalam realisme

Tokoh/sastrawan realisme tulen: Balzac (Pr), Flaubert (Pr.), Dostoevsky (Rusia), Tolstoy (Rusia), Dickens (Ing.), Ibsen (Norwegia. Semua novelis, kecuai ibsen (drama). Realisme menginginkan representasi dari realitas (menggambarkan realitas/kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, realisme membahas kehidupan kontemporer (yang sedang berlangsung) dan tingkah laku manusia temporal (yang berpikir, bertindak, dan berperilaku dalam dunia sekarang ini). Untuk menggambarkan apa adanya, realisme memakai metode induktif dan bersifat observatif agar realitas yang digambarkan benar-benar objektif. Dengan sendirinya, kepribadian penulisnya ditekan sedemikian rupa.

Pada abad ke-19 muncul juga gerakan sosialisme. gerakan ini mengajarkan kolektivisme dan kebersamaan. Karl Marx mengumumkan manifestonya dan dari manifesto ini lahirlah komunisme. Kepercayaan terhadap agama juga merosot sebagai akibat perkembangan iptek. Karena agama tidak lagi mndominasi kehidupan manusia, maka dicari formulasi baru terhadap kepercayaan agama. Hegel (Jerman) adalah orang yang melakukan pekerjaan itu.

Suatu perkembangan lebih lanjut dari realisme adalah aliran naturalisme, yang lahir dan berkembang di Perancis. Apabila realisme merupakan ucapan artistik suatu sikap terhadap kenyataan yang biasa pada berbagai individu di zaman apapun, maka naturalisme merpakan ucapan artistik di abad ke-19. Pengarang naturalisme, Emile Zola, mengatakan bahwa pengarang harus meniru ilmuwan dengan mengamati kenyataan tanpa menyelidki sebab-sebabnya mengapa kenyataan itu demikian. Pengarang naturalisme Perancis yang terkenal adalah Flaubert, Alphons Daudet, Maupassant, Zola, dan de Goncourt.

Realisme sering dibingungkan dengan naturalisme. Realisme menggambarkan kebobrokan kelas menengah, sementara naturalisme menggambarkan kebobrokan kelas gembel karena ambisi untuk dapat naik ke kelas yang lebih tinggi dengan mengorbankan apapun demi ambisinya tercapai—naturalisme tidak menghadirkan konflik-konflik yag berkaitan dengan moral. Dalam ilmu ada sosiologi (membahas kelompok-kelompok masyarakat) dan sosiatri (membahas kelompok masyarakat kelas rendah/gembel). Jadi, realisme berkaitan dengan sosiologidan naturalisme dengan sosiatri. Realisme sosial di Rusia merupakan kelanjutan realisme. Di Indonesia dikembangkan realisme sosialis oleh Lekra.

Suatu perkembangan realisme lain adalah Neue Sachlichkeit—dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah The New Objectivity— yang muncul pada awal abad ke-20. Aliran ini, sesuai dengan realisme, hendak mencapai gambaran kenyataan secara objektif, namun dengan banyak menghadirkan kritik sosial dan poltik.

4. 3 Relisme-Sosial

Realisme-sosialis adalah pempraktikan sosialisme di bidang kreasi sastra. Istilah ini muncul untuk memenangkan sosialisme di Uni Soviet. Tokoh utama yang biasa mendapatkan penghargaan sebagai pelopornya adalah pujangga besar Soviet maxim Gorki dengan karya utamanya Ibunda.

Realisme-sosialis sebagai metode sosialis menempatkan realitas sebagai bahan-bahan global semata untuk menyempurnakan pemikiran dialektika. Bagi realisme-soaialis setiap realitas, setiap fakta, hanya sebagian dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri.

Realisme-sosialis itu sendiri bukan hanya penamaan satu metode di bidang sastra, tapi lebih tepat dikatakan suatu hubungan filsafat, metode penggarapan dengan estetikanya sendiri. Selain itu penamaan ini juga terdapar dalam politik estetik di bidang sastra yang sekaligus mencakupkesadaran adanya front, adanya perjuangan, adanya kawan-kawan sebarisan dan lawan-lawan di seberang garis, adanya militansi, adanya orang-orang yang mencoba menghindar dari front.

Istilah realisme-sosialis mencakup pula persoalan taktik dan strategi, sekalipun di bidang sastra, hanya ini mungkin mengambil manifestasi dalam pengemukakan plot, gaya bahasa, perbendaharaan kata, pilihan kata, metode penyampaian, kontras, dan sebagainya yang sifatnya sama sekali telah akademik.

Pada mulanya, juga di Indonesia, realisme-sosialis hanya merupakan semboyan dengan penulisan-penulisan yang bertaraf semboyan pula. Tulisan-tulisan semacam ini dapatditemukan di berbagai lembaran kebudayaan tahun limapuluhan. Sastra sosialis, sastra realisme-sosialis mulai hidup dan subur di Indonesia adalah sebagai matarantari dari watak sosial abad 20, watak-watak kebangunan rakyat di seluruh dunia dengan kebutuhannya akan nilai-nilai moral, nilai sosial, dan nilai kultural serta politik yang lebih banyak, dan yang selama ini hanya dikuasai oleh kelas borjuis, kelas beruntung di seluruh dunia.

Watak realisme-sastra sejalan dengan keradaannya dalam bidang sastra yang melingkupi adanya front perjuangan, tak boleh tidak dia punya watak yang jelas. Satu, militansi sebagai ciri tak kenal kompromi dengan lawan. Dua, karena segaris dengan perjuangan politik sosialis, maka dia terus-menerus melakukan effensi atas musuh-musuhnya dan pembangunan yang cepat di kalangan barisan sendiri. ‘If the enemy does not surrender,” kata Gorki dalam salah satu artikelnya, “he must be destroyed.” Atau yang sebaliknya yakni dalam artikelnya yang lain: “The poeple must know their history.” Dalam dua artikelnya ini Gorki untuk kesekian kalinya membela humanisme-proletar, dengan menudingkan telunjuk pada urgensinya pengusahaan penghapusan pembagian manusia atas kelas-kelas, melenyapkan setiap kemungkinan munculnya minoritas yang mengeksploitasi tenaga mayoritas yang produktif dan kreatif. Kemudian yang terpenting adalah menciptkan dunia baru, dunia yang dibangun di atas landasan keadilan yang merata.

Peringatan bahwa setiap kapitalisme adalah musuh dan musuh kemanusiaan selalu nampak sebagai watak realisme-sosialis. Kapitalisme itu memang hanya terdiri atas beberapa gelintir orang, tapi dengan kapitalismenya, dengan sistem pengaturan sosialnya, praktis mereka yang memiliki seluruh angkatan perang dan kepolisian, dan merekalah yang memberikan komando tertinggi.

Pada segi lain watak ini nampak pada semangat yang diberikannya kepada rakyat. Pengungkapan pedagogik dan sugestif, ajakan dan dorongan untuk lebih tegap dan perwira memenangkan keadilan merata untuk maju, untuk melawan dan menentang penindasan bukan saja berdasarkan emosi atau sentimen tapi juga berdasarkan ilmu dan pengetahuan, terutama memberanikan rakyat untuk melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri.

BAB 2

CIRI-CIRI REALISME-SOSIALIS DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

1 Pramoedya Ananta Toer dan Karyanya

Pramoedya Ananta Toer lahir pada tahun 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hamper separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara – sebuah wajah semesta yang paling purba bagi manusia-manusia bermartabat: 3 tahun dalam penjara Kolonial; 1 tahun di masa Orde Lama; dan 14 tahun yang melelahkan di masa Orde Baru (13 Oktober 1965-Juli 1969); pulau Nusa-Kambangan pada Juli 1969-16 Agustus 1969; pulai Buru pada Agustus 1969-12 November 1979; Magelang pada November-Desember 1979 tanpa proses pengadilan.

Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI tetapi masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan Negara, sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, di antaranya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).

Penjara tak membuatnya berhenti sejengkalpun untuk menulis.baginya menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleg. Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar.

Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugerahi pelbagai penghargaan internasional, di antaranya: The PEN Freedom-to-write Award pada 1988, Ramon Magsasay Award pada 1995, Fukuoka Cultur Grand Price, Jepang pada tahun 2000, pada tahun 2003 mendapatkan penghargaan The Norwegian Authours Union dan tahun 204 Pablo Neruda dari Presiden Republik Chile Senor Ricardo Lagor Escobar. Sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam dafrat Kandidat Pemenang Nobel Sastra.

2 Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer

Novel ini ditulis Pramoedya Ananta Toer ketika penindasan menggulung orang-orang kecil yang tidak berdaya. Bukan saja kaum Kolonial, tapi juga kaum pemberontak yang dalam novel ini dimaksudkan kepada Darul Islam (DI). Sebagaimana pengakuan Pramoedya, novel ini merupakan hasil “reportase” singkat hasil kunjungannya beberapa waktu lamanya pada akhir 1957 di wilayah Banten Selatan yang subur tetapi rentan dengan penjarahan dan pembunuhan. Tanah yang sebur tetapi masyarakatnya miskin. Mereka dipaksa hidup dalam tindihan rasa takut yang semakin membuat mereka miskin.

Lewat novel ini, Pram ingin menyumbangkan pikirannya untuk bangsa:

Dengan tulisan ini aku ingin menyumbangkan sedikit pikiran dengan medium dan caraku sendiri, yang tentu saja dengan harapan besar, semoga sumbangsih ini sedikit atau banyak punya arti yang konstruktif.”

Beberapa orang tokoh dalam cerita ini diambil dari orang-orang yang pernah Pram temui di daerah Banten Selatan, orang-orang yang mengenal daerah ini, yang ikut dengan sukaduka perkembangan daerahnya, dan sedikit banyak pernah menceritakan kepadanya tentang hal-hal yang pernah mereka alami den mereka dambakan. Seorang di antaranya adalah Lurah, seorng lagi bekas mandor yang ikut kerja rodi membuka jalan antara Pelabuhan Ratu dan tambang mas Cikotok, beberapa buruh tambang, dan petani yang pada waktu itu sedang kerjabakti memperbaiki jalan yang tertimpa tebing longsor.

Lewat tokoh Ranta, Sang Lurah, Pram menitiskan sebintik rasa kuat untuk meneguhkan rasa percaya diri sebuah masyarakat. Sebuah keteguhan, keberanian, dan keyakinan untuk melawan penindasan, kemiskinan, dan kemalangan hidup dengan rasa solider masyarakat (rakyat). Rasa solider itulah yang diistilahkan sebagai gotong-royong.

Penindasan yang dialami oleh semua rakyat bahkan rakyat paling miskin terjadi di daerah Banten Selatan salah satunya dikarenakan oleh adanya pemberontakan yang dilakukan oleh DI. Namun, semua penderitaan tersebut dapat dikalahkan melalui perjuangan bersama yang dilakukan oleh seluruh masyarakat dengan keyakinan dan kebersamaan yang kuat. Gotong royong itulah yang pada akhirnya menghantarkan masyarakat pada kehidupan yang kondusif lagi optimis.

3 Ciri-ciri Aliran Realisme-Sosialis dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer

3. 1 Berusaha menggambarkan hidup dengan sejujurnya tanpa prasangka dan tanpa upaya untuk memperindahnya (representasi sebuah realitas) dengan metode induktif dan bersifat observatif sehingga realitas yang digambarkan bersifat objektif.

Sebagaimana pengakuan Pramoedya, novel ini merupakan hasil “reportase” singkat di wilayah Banten Selatan yang subur tapi rentan dengan penjarahan dan pembunuhan” (Hal. Pengantar)

Demikian paragraf kedua dari pengantar yang ditulis oleh Lentera Dipantara sebagai penerbit novel karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan menerangkan bahwa karya sastra bergenre novel ini merupakan sebuah hasil reportase atau dokumentasi dari kunjungan Pram ke tanah Banten Selatan pada tahun 1957.

Upaya penggabaran hidup yang jujur tanpa upaya untuk memperindahkannya, di antaranya terdapat dalam kepolosan dialog dua tokoh pembawa singkong yang tengah beristirahat sambil mengingat kolonialisme. Metode induktif tampak dari kalimat terakhir yang menutup pernyataan dari tokoh pemikul singkong serta isi pernyataan yang bersifat observatif terhadap orang-orang Belanda (penjajah) yang secara fisik memiliki ketampanan yang dikagumi tetapi sifatnya rakus dan tamak akan kekuasan terhadap kekayaan nusantara, membuat objektivitas tampak begitu nyata, bukan berdasar pada prasangka dan emosi sebagai pribumi semata.

Yang Kedua:

I-ya-ya, orang begitu bagus-bagus, kulitnya putih, hidungnya mancung, tapi tamaknya….. Ngudubilah setan!

Yang Pertama:

Ngudubilah setan!” (Hal. 13)

Gambaran nyata lainnya adalah mengenai kondisi pasar yang diungkapkan dalam dua kalimat pendek oleh tokoh Ireng, istri Ranta.

“Pasar kacau, Pak. Diobrak-abrik DI.” (Hal. 15)

3. 2 Bertendensi, banyak memuat kritik sosial dan politik sebab seni bagi realisme adalah sarana untuk menyampaikan kritik dan pesan moral atau seni yang memikul tugas sosial.

Novel ini merupakan contoh konkret bagaimana karya sastra sebagai seni dianggap sebagai seni yang memikul tugas atau lebih dikenal dengan istilah applied art. Hal ini Pramoedya ungkapkan secara lugas dalam paragraf pertama pengantar yang ditulisnya untuk novel ini, yaitu:

Dengan tulisan ini aku ingin menyumbangkan sedikit pikiran dengan medium dan caraku sendiri, yang tentu saja dengan harapan besar, semoga sumbangsih ini sedikit atau banyak punya arti yang konstruktif.” (Hal. Pengantar)

Selain daripada itu, banyak sekali bagian novel yang secara implisit menjadi media pengungkapan pesan yang hendak disampaikan oleh penulis yang telah meniatkan diri untuk memberikan sumbangsihnya dalam bentuk dan caranya sendiri ini, yaitu melalui dialog pidato tokoh Ranta sebagai Pak Lurah:

“Sekarang Pak Lurah berdiri, mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mulai pidato:

Saudara-saudara, dengar! Kita ini bukan binatangbuas. Kalau binatang buas hidup sendiri-sendiri. Kalau dia menemui sesame mahluk, ini berarti, yang ditemuinya bakal jadi kurbannya. Karena itu dia terpaksa hidup sendiri-sendiri. Tidak mau bergaul. Mereka cuma hidup dari pembunuhan. Pada suatu kali pun dia akan dibunuh. Tapi kita bukan binatang buas. Kita ini manusia. Kita tak perlu hidup dari pembunuhan. Tetapi lebih baik lagikalau kita hidup rukun, gotong-royong, kerjasama, bersatu, bersaudara. Dulu kita tak berani berkumpul-kumpul semacam ini, karena ganasnya gerombolan. Lihat, sesudah kita bersatu, gerombolan dapat kita musnahkan. Jadi………” (Hal. 119)

Juga dengan sorak-sorai kerumunan masyarakat yang telah berhasil dalam perjuangan melawan pemberontakan:

“Kita harus kerja-kerja buat anak, buat seluruh keturunan! Ayo berdiri semua…….

Semua berdiri sambil berseri-seri

Ranta meneruskan dengan mengayun-ayunkan tinjunya:

Mari kita teriakkan bersama-sama: Kita harus kerja……..

Kita harus kerja………

Kerja buat anak………

Kerja buat anak………

Buat seluruh keturunan……….

Buat seluruh keturunan……….

Hore………

Hore……… “ (Hal. 125)

3. 3 Membahas kehidupan kontemporer dan tingkah laku manusia yang temporal.

Kehidupan yang tertindas lagi miskin yang digambarkan dalam novel ini ditambahi pula oleh ulah dan tingkah laku tokoh Juragan Musa yang tak puas memperkaya diri, dengan menyuruh orang lain (orang miskin) untuk mencuri. Ranta, dialah tokoh yang dipaksa oleh Juragan Musa untuk mencuri bibit karet. Hal ini digambarkan sangat nyata dalam dialog tokoh Juragan Musa dan Ranta, juga kondisi yang tengah terjadi berikut dengan pola pikir orang ketika itu yang tergambar dalam dialog antara suami-istri, Ranta dan Ireng. Yaitu:

“Pergi juga, Pak? Nyolong bibit karet?

Dengar, Reng. Memang aku sering nyolong. Tapi bukan karena kemauanku aku jadi maling.

Kalau ditangkap, Pak?

….. tentu saja tak ada seorang juga mau jadi maling, Ireng…..

Kalau dipukuli orang banyak, Pak, dipukuli penjaga onderneming…..

Jangan doakan, Ireng, jangan.

Pak! Pak!

Sekarang ini mereka yang tentukan hidup kita, Ireng. Mereka!

……

Mereka! Yang datang pada kita hanya untuk menyuruh kita jadi maling. Mereka! Yang hidup memisah dari kita, seperti binatang buas di rima. Mereka, yang dalam kepalnya Cuma ada pikiran mau mangsa sesamanya. Mereka! Mereka!” (Hal. 20-21)

Bukan hanya dialog di awal kepergian tokoh Ranta yang hendak mencuri, tetapi juga dialog ketika Ranta usai terpaksa mencuri, dalam dialognya Ranta menggambarkan keadaan pada zaman tersebut di mana orang-orang DI tak berbeda dengan binatang buas.

Kenapa, Pak? Kenapa? Mana pikulan? Mana golok?

Hilang! Semua. Dirampas binatang-binatang buas itu juga.Mereka!

Aku tak takut dibui. Mereka suruh aku curi bibit karet onderneming. Aku bawakan sampai dua kali balik. Mereka bilang. ‘Cukup, pulang kau1’ aku Tanya, ‘mana upahku?’ mereka beri aku upah pukulan rotan, merampas pikulan dan golokku. Tahu apa mereka bilang? ‘Jangan berani-berani ke sini curi bibit karetku, ya?’

Ireng merintih

Cuma orang semacam Juragan Musa bisa berbuat begitu!” (Hal. 25)

Hal edan yang terjadi pada saat itu adalah orang miskin dipaksa mencuri untuk Juragan Musa, lalu ketika selesai mencuri dan hasil curianpun sudah berada di tangan Juragan Musa maka dipukuli dan disiksalah pencuri suruhannya tadi dengan alasan ketahuan mencuri bibit karet onderneming, padahal karena ia terlalu tamak dan tak ingin memberi upah pada pencuri suruhannya tersebut.

Kondisi kehidupan masyarakat yang pada masa itu identik dengan menjadi maling juga Nampak dari ujaran-ujaran tokoh Ranta yang baru saja dipaksa mencuri lagi disiksa oleh Juragan Musa, yaitu:

“Biarlah. Membunuh dia tak ada gunanya. Kita sudah dibuatnya jadi maling. Tapi mereka juga dibuat jadi maling.

Kekayaannya mereka peroleh dari maling. Ireng, kau ingat waktu anak kita yang pertama sakit keras, pinjam hutang pada mereka? Anak kita meninggal. Panen seluruhnya mereka ambil. Kita kelaparan, terpaksa jual tanah. Mereka juga ambil tanah kita. Berapa harganya? Tak cukup buat modal gadang di pasar! Ludas! Tandas! Kuras!” (Hal. 26)

3. 4 Berisikan perlawanan terhadap segala sesuatu yang berbau “humanisme-borjuis” untuk memenangkan “humanisme-proletar” dan berupaya untuk menghapus klas-klas serta pelapisan atas manusia, serta melenyapkan kemungkinan munculnya minoritas yang mengeksploitasi tenaga mayoritas yang produktif.

Kondisi adanya dominasi kekuasaan yang mengambil setting tempat di Banten Selatan ini salah satunya ditunjukkan oleh dialog tokoh pemikul singkong yang tengah beristirahat sambil merokok, yaitu:

“Huh! Ingat kau, jalan ini dulu kita yang buat. Dulu, ramai-ramai, rodi. Apa sekarang?

Lewat jalan yang kita buat sendiri kita bayar pajak pada onderneming. Dua pintu jalan, dua kali pajak. Kalau kau coba-coba beli gerobak, berapa pajak mesti dibayar, tiap kali dua pintu jalan onderneming itu?!” (Hal. 13)

Kondisi tersebut juga apat dilihat dari dialog Ireng dan suaminya.

Ireng segera menyambar:

Kalau dia mau, siapa di antara kita bisa lawan? Dia tak pakai tenaga badannya. Dia punya uang. Kita tak bisa lawan uangnya. Dia punya kawan orang-orang besar. Kita Cuma punya kawan orang kecil-kecil.

Ranta memutuskan kata-kata isterinya:

Kita sudah bosan putus asa. Kita takkan putus asa lagi. Kita akan perbaiki keadaan kita. Bukan, Ireng?” (Hal. 31)

Upaya untuk menghapus klas-klas serta pelapisan atas manusia, serta melenyapkan kemungkinan munculnya minoritas yang mengeksploitasi tenaga mayoritas juga tercermin dari dialog tokoh Komandan usai berjuang melawan pemberontakan. Komandan berterimakasih pada Ranta sebagai Lurah yang telah mencetuskan semangat gotong-royong yang berimbas pada stabilitas keamanan masyarakat setempat dari pemberontakan DI.

Begini, Pak Lurah, kamilah yang seharusnya berterimakasih. Baru sekali ini sejak jadi Komandan di sini kami dapat menghancurkan gerombolan dengan begitu baik, dan sudah dua kali pula. Malah menangkap biangkeladinya. Tak pernah sebelumnya ini terimpi-impi oleh kami.

Ranta mendesak terus, tapi sekarang sambil melepas tangan Komandan:

Itu memang kewajiban Bapak, tapi hasilnya buat kami.

Hahah, sebenarnya kita semua wajib berterimakasih pada semangat gotongroyong, pada semangat persatuan …………….. “(Hal. 101)

3. 5 Memiliki watak yang jelas, di antaranya yaitu militansi sebagai ciri tak kenal kompromi dengan lawan.

Watak yang tegas dan tak kenal kompromi diperlihatkan oleh tokoh Nyonya, istri drai Juragan Musa yang meminta cerai pada suaminya tersebut. Sekalipun tidak jadi bercerai, tetapi pada akhirnya mereka tidak bersama lagi, sebab juragan Musa terbukti sebagai Residen DI yang kemudian ditangkap dan dihukum sebagai pemberontak.

Jadi kau mau khianati aku?

Jadi kau sudah lupa, orang tuaku dihabisi DI? Keluargaku lari tungganglanggang karena DI. Sekarng aku baru tahu engkau sendiri ini pembesar DI!

Juragan Musa berdiri, bertolak pinggang dan meradang juga

Kau punya pura-pura alim! Kau yang pura-pura saleh! Kau murtad pada takdir Tuhan. Tuhan sudah pilih aku jadi hambaNya untuk menegakkan hukumNya.

Penipu!

Jadi kau minta direjam seperti yang lain-lain?

Tempat kita terpencil. Engkau pembesar DI. Engkau suamiku. Tak ada yang mengahalangi kau merejam aku. Rejamlah.

Tangan Juragan Musa melayang. Nyonya jatuh terduduk. Dan sewaktu duduk nyonya menyeka mulutnya yang berdarah sambil berkata muak.” (Hal. 54-55)

3. 6 Berupaya mempercepat pembangunan kalangan sendiri dengan membela humanisme-proletar dan berupaya untuk menciptakan dunia baru yang dibangun di atas landasan keadilan yang merata.

Ciri lain dari aliran realism-sosialis di antarnya adalah adanya muatan yang berupaya mempercepat pembangunan kalangan sendiri dan menciptakan dunia yang adil. Hal ini tampak dari deskripsi seorang tokoh mengenai kondisi masyarakat saat itu yang lebih baik dari pada sebelumnya. Yaitu ketika Ranta telah menjadi seorang Lurah.

Ah, Pak Lurah, tanpa kutanyai, orang-orang sudah bilang: keadaan sekarang sudah mulai baik benar.” (Hal. 75)

Begini, Pak Lurah. Kami mendapat laporan, gerombolan Oneng sudah ada di sekitar daerah kita ini. Pak Lurah sendiri tahu, kekuatan tentara di sini tidak besar. Maksudku, barangkali Pak Lurah bisa kasih bantuan mempertahankan keamanan daerah ini, tentara bersama rakyat. Dan seboleh-boleh jangan sampai ada jatuh korban.

…….

Dengan sungguh-sungguh Pak Lurah menyarankan:

Kita persatukan rakyat, kita lawan musuh bersama-sama. Kita pergunakan bambo untuk ranjau-ranjau. Kita pergunakan tong-tong di tiap rumah untuk menyampaikan berita dan mengerahkan rakyat untuk melawan musuh bersama.

Komandan menengahi:

Maksudmu gotong-royong?

Tentu, Pak. Cobalah pikir. Pak, kami di sisni hanya tahu tanah dan pacul. Mereka punya senjata dan gerombolan. Kalau kita tidak mau bersatu, tidak mau gotong-royong, apa yang kami bisa perbuat dengan Cuma tahu tanah tahu pacul ini!

……

Begitulah, Pak. Kita bersama-sama bergotong-royong membuat pertahanan, jebakan, ranjau-ranjau. Jalanan di sini tidak banyak. ” (Hal. 77-78)

Percepatan pembangunan kalangan sendiri dengan membela humanisme-proletar ini juga nampak dalam penggambaran situasi setelah usai masyarakat berjuang melawan pemberontakan.

Pak Lurah tersenyum puas. Berkata:

Jadi sudah datang semua. Bagus. Nah, saudara-saudara, kalian semua ketua Rukun Tetangga. Rukun tetangga di sini didirikan buat bantu pemerintahan desa, dan pemerintahan desa dipulihkan buat bantu saudara semua. Kita Cuma tahu bantu-membantu, gotong-royong, gugurgunung, kerjabakti, bersaudara, satu dengan yang lain, satu dengan semua, semua yang satu. Semua itu saudara-saudara sudah hafal. Nah, sekarang ada soal penting. Dengarkan baik-baik: Gerombolan akan datang menyerang lagi. Tentara yang ditempatkan di desa terpencil ini cuma sedikit. Kita semua harus ikut melawan.” (Hal. 85)

…….

Apa salahnya? Mengapa mesti apa salahnya? Kita semua tahu, kita mesti melawan. Kalau kita tidak melawan seperti selama ini, kita dibunuhi, dibakari, seperti kucing! Melawan atau tidak, mereka mau binasakan kita. Karena itu kita mesti melawan! Kalau kita susun perlawanan kita baik-baik, kita pasti menang. Nah, siapa keberatan?

Seorang tua, yang sudah berjenggot dan berkumis putih, menyambut sambil tertawa:

Memang. Kita tak bisa mengandalkan diri pada tentara dan OKD saja. Kita sendiri mesti belajar mempertahankan keselamatan kita sendiri. Bukan saja dari keganasan gerombolan, juga dari kemiskinan dan bencana alam.” (Hal. 85)

Dan orang tua itu meneruskan:

Kalau kita tak bisa seorang diri pertahankan keselamatan kita, nah, kita kerja beramai-ramai. Coba perhatikan, turuntemurun kita hidup morat-marit. Kenapa? Karena tidak mengerti, kalau kita bersatu, bersama-sama kerja, bersama-sama bela diri, sebenarnya kekuatan kiata jauh lebih besar. Semua saja bisa kita kerjakan. Jangankan waduk buat seluruh desa kita, biar penjajah bisa kita usir!” (Hal. 86)

3. 7 Menampakkan adanya peringatan bahwa kapitalisme adalah musuh manusia dan kemanusiaan serta mengupayakan rakyat untuk berani melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri.

Peringatan mengenai kapitalisme sebagai musuh tampak menonjol sebagai ciri dari relisme-sosialis. Oleh karena sosialisme sangat bertolakbelakang dengan paham kapitalisme maka penentangan terhadap kapitalisme menjadi salah satu ciri dominan dalam realisme-sosialis. Kapitalisme yang terjadi digambarkan oleh deskripsi tokoh yang memperlihatkan situasi dan kondisi yang kacau di wilayah Banten Selatan tersebut. Salah satu gambaran tersebut adalah cerita yang diungkapkan oleh Komandan khususnya mengenai Juragan Musa yang cukup kapitalis.

Sudah lama daerah sini kacau. Gerombolan terus-menerus menggedor, membakari rumah. Sampai keluarga yang paling miskin tak luput dari kebiadabannya. Tapi aneh, Juragan Musa yang kaya ini tidak pernah diganggu olehnya. Mengapa? Nah, kami curiga.

..

Juragan benar. Tetapi ada bukti-bukti yang membuat kami curiga. Juragan punya hubungan akrab dengan gerombolan pengacau.

Tak perlu kuwatir. Kekuwatiran hanya bagian pendurhaka.

..

Jadi bagaimana sekarang, Pak Residen? Mengaku?

……

Sudah tiga bukti menyatakan, kau Residen DI. Pertama-tama isterimu sendiri menyebut kau pembesar DI. Kedua Pak Lurah sini, yang sekarang baru ketahuan orang DI juga, dan ketiga surat-surat dalam tas Juragan sendiri.” (Hal. 56)

Dengar, Juragan Musa. Daerah sini daerah paling kacau. Sudah kuusahakan bermusyawarah dengan orang-orang terkemuka di sini dan Pak Lurah, tapi apa buktinya? Bukti-buktinya: Juragan dan Pak Lurah sendiri pengkhianat rakyatnya sendiri. Juragan Musa berjanji mau bantu kami. Sebagai orang beragama, tidak layak memungkiri janji. Tidak layak berkhianat! Islam tidak mengajarkan dan mewajibkan pengkhianatan pada rakayat dan sesamanya. Juragan Musa dan Pak Lurah ikut bertanggungjawab atas peristiwa-peristiwa pembunuhan, perampokan dan penganiayaan di daerah sini. Dengar…”(Hal. 66)

Adanya kapitalisme yang menyengsarakan rakyat juga tercermin dalam monolog tokoh Nyonya, istri dari Juragan Musa, Sang Kapitalis dalam Novel ini.

Satu pendurhaka dapat hancurkan seluruh kebahagiaan tiap orang, seluruh bangsa. Banar! Tapi keselamatan tiap orang, seluruh bangsa, cuma dapat dilaksanakan oleh semua orang. Pelaksanaan ini mungkin, kalau ada persatuan, kerukunan, persaudaraan. Hati-hatilah! Hati-hatilah! Satu orang bisa hancurkan kita semua. Tapi kesejahteraan kita harus diciptakan oleh semua kita bersama-sama. Ya, itu gotongroyong, kan?” (Hal 108)

Juga dengan dialog Komandan yang tengah bertukar pengalaman seraya mengupayakan masyarakat untuk berani melakukan orientasi terhadap sejarahnya sendiri.

Komandan itu menegakkan badannya dan bertanya:

Dari dulu aku bilang, barangkali kau sendiri pernah dengar, kita semua mesti bisa kerjasama. Kerjasama dalam segala hal: mengamankan daerah sendiri, merawat daerah sendiri, memakmurkan daerah sendiri, dan juga, menjaga ketertiban dan keselamatan bersama. Dengar! Dari dahulu kita hidup kocarkacir, melarat, dan miskin. Mengapa? Karena orang semuanya ini tidak rela kerjasama. Karena itu juga kalian dulu tidak punya sekolah untuk anak-anak kalian. Tidak punya jalanan yang baik. Baru berapa bulan kita mau kerjasama? Lihat sendiri, sudah begitu banyak kita dapat perbuat.” (Hal 115)

3. 8 Menampakkan adanya semangat yang diberikan kepada masyarakat berupa: ungkapan pedagogis dan sugestif, ajakan dan dorongan untuk tetap tegap melawan penindasan demi terciptanya keadilan merata bukan sekadar berdasarkan emosi tetapi juga berdasarkan ilmu dan pengetahuan.

Ungkapan pedagogis dan sugestif, dan dorongan untuk tetap tegap melawan penindasan demi terciptanya keadilan merata sebagai penyemangat bagi masyarakat terlihat dalam dialog tokoh-tokohnya, seperti Komandan yang memberikan keparcayaan terhadap Ranta untuk menjadi Lurah sementara sebab Lurah sebelumnya ternyata adalah seorang pengkhianat yang terbongkar melalui jasa Ranta.

Aku percaya padamu, Ranta. Mulai hari ini kau jadi lurah sini. Kau harus ikut jaga keamanan dengan kami. Sudah jangan bantah.” (Hal 73)

Juga dalam percakapan antara Rodjali dengan Ranta ketika membahas mengenai pemberontakan, persatuan dan kebenaran.

Nasib kita akan lebih buruk kalau mereka membalas dendam.

Sambil bangkit dari kursi Ranta membantah:

Tidak, kalau kita bersatu.

Biar bersatu, mereka punya senjata.

Tidak, kita bersatu dan juga melawan, bahkan menyerang. Ah, Djali, kau berpikir secara dulu juga seperti yang lain-lain. Begini Djali, kalau ada persatuan, semua bisa kita kerjakan, jangankan rumah, gunung dan laut bisa kita pindahkan.

Sejenak Rodjali berseri-seri, kemudian bertanya:

Dan kemiskinan kita?

Itu juga mudah kita lawan. Persatuan saja modalnya. Pertama-tama kita mesti jadi sahabat dan saudara satu dengan yang lain. Kau ingat saluran air sawah yang dangkal dan ditumbuhi semak-semak sejak zaman Jepang dulu? Nah, kalau ada persatuan, kita akan gali beramai-ramai, kemudian sawah kita akan makmur lagi.

Kemudian dengan irama mendongeng Ranta bercerita:

Kalau kita semua tidak mau bersatu, kita semua akan berkelahi terus-menerus satu dengan yang lain. Apa akhirnya? Akhirnya barangsiapa kuat, dia berubah menjadi binatang buas. Tiap hari dia mangsa hidup kita, rejeki kita, anak dan bini kita, kebahagiaan kita, semua-muanya. Binatang-binatang buas ini menarik diri, tidak mau bergaul dengan sesamanya. Mereka keluar dari sarang hanya untuk mencari mangsa. Tapi bila sekali waktu binatang buas ini bertemu dengan binatang buas lainnya, kita semua disuruhnya membantu. Orang-orang lemah yang tidak bisa jadi binatang buas, barang ke mana pergi, dia tetap akan menjadi mangsa. Barang apa dikerjakannya, dia akan tetap jadi mangsa. Kau dengar, Djali?

Abdi dengar, Pak Lurah. Tapi abdi lebih percaya pada kebenaran.

Kau belum banyak makan garam, Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat Palembang, Surabaya, Jakarta, Bandung. Di mana-mana sama saja. Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar……….” (Hal. 76-77)

Tokoh Ranta yang tengah menenangkan kerisauan akan kemungkinan timbulnya pemberontakan yang tak dapat diterka kapan datangnya secara langsung maupun menjadi media penyemangat bagi masyarakat, juga didasarkan bukan hanya sekadar emosional semata, melainkan pertimbangan yang matang lagi bijak.

Dengar kalian tak perlu takut. Kalian punya anakbuah. Satu-satunya yang menelamatkan kita semua Cuma persatuan, persaudaraan. Jadi, pulanglah saudara ke tempat masing-masing. Pasang ranjau-ranjau bamboo terpendam di tempat-tempat yang bakal dilewati gerombolan. Panah dan sumpit bagikan pada semua orang, laki, perempuan, tua, muda, semua sebaiknya ikut membantu. Nanti sore aku akan datang ke tempat-tempat saudara, ikut mengatur. Nah, sekarang pulanglah. Jangan pikirkan yang lain-lain, selain menumpas gerombolan. Kalau gerombolan dapat dihalaukan dari tempat ini, baru kita bisa bekerja dan hidup dengan aman.” (Hal 86)

Siapkan tanaman duren dan kelapa buat kalian waktu kalian masih bayi? Kalian sendiri? Ha-ha! Orangtua, kakek kalian! Kalau semua orang cuma mau menanam buat diri sendiri, bagaimana anak-cucu kita!

Seorang orang tua dalam kelompok itu mengusulkan suaranya:

Saudara-saudara, sebenarnya tidak ada orang yang bertanam buat dirinya sendiri.

Ranta berteriak mengatasi keributan yang timbul:

Benar! Juga kita hidup bukan untuk diri kita, tetapi buat anak-cucu kita!”(Hal 118)

3. 9 Pengarang menguasai realitas kehidupan sosial tanah airnya dan dengan bimbingan humanisme-proletar memperjuangkan kepentingan tanah air dan rakyat.

Isi dari novel ini menunjukkan kepiawaian penulis dalam mereportase sebuah kejadian. Ialah Pram yang menuliskan pengalaman dan penguasaan realitas di Banten selatan pada akhir tahun 1957. Hal ini nampak dari prolog yang disajikan penulis yang berkaitan dengan latar tempat dan waktu. Dialog para tokohnya dalam memperbincangkan realitas yang terjadi sebagai muatan cerita. Alur yang maju-mundur tampak tak berbias dengan kehidupan seorang manusia.

Di samping itu, bukti yang lebih eksplisit yang menerangkan bahwa pengarang novel ini menguasai realitas dan juga mendapat bimbingan dari kaum proletar ada pada pengantar, baik yang ditulis oleh pihak penerbit, maupun Pram sebagai penulis novel. Salah satu kutipan yang memperlihatkan hal tersebut adalah pengantar yang ditulis Pram dalam paragraf kedua, yaitu:

Beberapa orang tokoh dalam cerita ini diambil dari orang-orang yang pernah Pram temui di daerah Banten Selatan, orang-orang yang mengenal daerah ini, yang ikut dengan sukaduka perkembangan daerahnya, dan sedikit banyak pernah menceritakan kepadanya tentang hal-hal yang pernah mereka alami den mereka dambakan. Seorang di antaranya adalah Lurah, seorng lagi bekas mandor yang ikut kerja rodi membuka jalan antara Pelabuhan Ratu dan tambang mas Cikotok, beberapa buruh tambang, dan petani yang pada waktu itu sedang kerjabakti memperbaiki jalan yang tertimpa tebing longsor.”(Hal. Pengantar)

BAB 3

PENUTUP

Seperti aliran sastra lainnnya, aliran realisme juga berkembang di Indonesia. Melalui karakteristiknya aliran realisme kemudian memiliki fokus yang lebih spesifik lagi. Realisme-sosialis adalah pempraktikan sosialisme di bidang kreasi sastra. Ciri dari realisme-sosialis di antaranya adalah wataknya yang sejalan dengan keradaannya dalam bidang sastra yang melingkupi adanya front perjuangan. Realisme-sosialis di Indonesia berkembang oleh adanya peranan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).

Karya sastra Indonesia bergenre novel yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer adalah sebuah wujud di mana aliran realism-sosialis berkembang di negeri Indonesia. Karya-karya Pram yang didaulat sebagai karya (novel) sejarah telah berhasil mendokumentasikan hadirnya realism-sosialis yang lebih lanjut diperlihatkan melalui karakteristik atau ciri-ciri yang terdapat dalam novel tersebut.

Ciri-ciri realisme-sosialis dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan secara dominan terlihat dari percakapan para tokohnya. Novel yang sebagian besar memang berisikan dialog ini memberikan suguhan cerita mengenai kondisi tertentu pada sebuah zaman, yaitu pada masa pemberontakan DI di Banten Selatan, dengan tingkah laku manusia yang temporal pada masa itu.

Berbagai ciri lain mengenai realism-sosialis yang berkembang di Indonesia diperlihatkan dari sejumlah catatan dan keterangan yang secara personal diberikan oleh penulis dan dimuat dalam pengantar novel ini.

KAIDAH TRANSFORMASIONAL

KAIDAH TRANSFORMASIONAL

oleh Dheka Dwi Agusti N.

Transformasi Tunggal

Transformasi ini mengubah bagian atau sebuah kalimat menjadi bagian atau sebuah kalimat lain yang berbeda strukturnya.

Contoh :

Kaidah T.1 Imperatif :

(Kalimat imperatif diasumsikan mempunyai Struktur Batin kalimat berita dengan subyek persona kedua, ditambah dengan pemadu imperatif. Dengan menghapuskan subyek persona kedua dan pemadu imperatif itu diperoleh kalimat imperatif itu, seperti berikut 🙂

(meN)

SD : (X) Per2                         Kj (Afk) (Y)

(ber)

(meN)

ST : IMP + (X) Per2                                Kj (Afk) (Y)

(ber)

O

Kj (Afk) (Y) (X)

(ber)

C : 1. IMP + Engkau membaca koran hari ini Baca koran hari ini!

2. IMP + Besok saudara menulis cerita itu Tulis cerita itu besok!

3. IMP + Anda berhemat tahun ini Berhemat tahun ini!

Catatan:

Kj ialah tanda untuk pokok kata kerja; Afk = afiks kata kerja; X, Y (dan juga Z dan W) biasa dipakai sebagai tanda perangkum, yang dapat berujud untaian apa saja sesuai dengan struktur kalimat yang dibicarakan.

Kaidah T.2 Pertanyaan-1:

Tiap kalimat dasar dapat dijadikan kalimat tanya hanya dengan membubuhkan kata apa di depannya.

SD: K

ST: T + K apa + K

C: 1. T + Anak itu makan kacang Apa anak itu makan kacang?

2. T + Orang itu marah sekali Apa orang itu marah sekali?

Catatan:

T adalah tanda bagi pemadu Tanya, seperti juga IMP adalah tanda bagi pemadu Imperatif. Kalimat tanya yang dihasilkan oleh Kaidah T.2 ini dapat juga disebut pertanyaan ya-bukan (tidak), karena jawaban kepada pertanyaan itu cukup dengan “Ya” untuk mengiakan, dan “Tidak (Bukan)” untuk menyangkalnya.

Kaidah T.3 Pertanyaan-2:

Ada dua macam apa, yang satu ialah kata bantu kalimat tanya seperti yang dipakai oleh T.2, yang lainnya lagi ialah kata tanya yang menanyakan sesuatu (bukan seseorang). Kalimat tanya macam yang kedua itu seperti berikut ini kaidahnya:

C:

SD………………X……

GB-ins                       siapa

GB-ins                       apa

GK                              mengapa

ST:T GS, C bagaimana

Gbil                           berapa

GD D +                      mana

W                                bila(mana)

Etc                             Etc

C: T + Anak itu membeli buku Siapa membeli buku?

T + Anak itu membeli buku Anak itu mengapa?

T + Anak itu membeli buku Anak itu membeli apa?

Kaidah T.4 Fokus-1:

Fokus ialah pemusatan perhatian. Pada BI ada beberapa cara untuk memusatkan perhatian pada sebagian daripada kalimat. Salah satu cara ialah dengan meletakkan bagian yang diperhatikan itu pada awal kalimat. Pemindahan ini biasa juga disebut dengan permutasi, tetapi permutasi pada BI mempunyai fungsi pemfokusan, kaidahnya seperti berikut:

SD: GB (M) (ASP) (AUX) GPD (ADV)

ST: FOK + GB + M + ASP + AUX + GPD + ADV X1 + X2 + X3

X4 + X5 + X6

: X = GB, M, ASP, AUX, GPD, ADV

dan ASP (X) AUX (Y) GPD dengan

urutan seperti itu.

C: FOK + Anak itu rupanya akan dapat bermain piano dengan terampilnya sekarang

  1. Rupanya anak itu akan dapat bermain piano dengan terampilnya sekarang.

  2. Rupanya sekarang anak itu akan dapat bermain dengan terampilnya.

  3. Sekarang anak itu rupanya dengan terampilnya akan dapat bermain piano.

Kaidah T.5 Fokus-2:

Dengan menggunakan konstruksi Pasif. Pemusatan perhatian pada subyek GB ialah dengan konstruksi aktif, sedangkan pemusatan kepada obyek GB dilakukan dengan konstruksi pasif, karena cara lain tidak mungkin. Contoh kaidahnya:

SD : GB1 (X) KE + GB2 (Y)

ST : FOK + GB1 (X) KE + GB2 (Y) GB2 (X) KE (oleh) GB1 (Y)

C : FOK + Guru itu membeli rumah ini Rumah ini dibeli guru itu.

Catatan:

Di atas ini kata kerja tidak dinyatakan dengan jelas tentang afiksasinya. Hal ini memang disengaja, karena afiksasi dimasukan ke dalam ciri-ciri leksikal, seperti <+aktif> dan <-aktif>, yaitu bahwa yang pertama biasa memperoleh awalan meN-, sedangkan yang kedua biasa mendapat awalan di-. Ini penting sekali untuk dapat menandai Struktur Batin.

Kaidah T.6 Nominalisasi-1:

Tiga macam saja, yang semuanya diturunkan dari kata kerja. Ada tiga pengertian yang ditimbulkan oleh nominalisasi yang diturunkan dari kata kerja ini. Pertama yang mempunyai pengertian “proses”, kedua yang mempunyai pengertian “hasil”, dan ketiga yang mempunyai pengertian “pelaku”. Dan konstruksinya berbeda-beda. Contohnya:

meN

SD: (X) Kj (Afk) (Y)

ber

meN peN

ST: NOM (X) Kj (Afk) (Y) Kj + an (X) (Y)

ber per

C: 1. NOM + Perempuan itu membeli beras Pembelian beras (oleh) perempuan itu…………

2. NOM + Anak itu bermain Permainan anak itu…………..

Catatan:

Perlu diberitahukan di sini, bahwa tidak semua kata kerja dapat diperlakukan seperti kaidah ini. Sebuah contoh ialah kata kerja beradu peraduan, tidaklah sesuai dengan kaidah ini, karena peraduan bukanlah proses, melainkan tempat. Sejumlah kata kerja yang tidak mempunyai awalan meN atau ber, akan tetap bentuknya sebagai proses, seperti tidur, duduk, makan, minum, terbang, dan lain sebagainya.

Kaidah T.7 Nominalisasi-2:

Nominalisasi yang mempunyai pengertian “hasil” seperti diberikan pada catatan Kaidah T.6 di atas tidak semua kata kerja dengan bentuk-bentuk ini mempunyai transformasi yang sama, sehingga kaidah ini hendaknya diperlakukan secara selektif. Baru jika semua kata kerja telah dikelompok-kelompokkan, akan diketahui yang mana dapat dikenai kaidah-kaidah ini.

meN

SD: (X) Kj (Afk) (Y)

ber

meN

ST: NOM (X) Kj (Afk) (Y) Kj (an) (X) (Y)

ber

C: 1. NOM + Guru itu menulis di papan tulis Tulisan (guru itu) di papan tulis………..

2. NOM + Gadis itu bernyanyi Nyanyian gadis itu……………

Catatan:

Di sini pun kami nyatakan bahwa akhiran an adalah manasuka untuk memberikan kemungkinan bagi kata-kata kerja yang tidak mendapatkan afiks memperoleh nominalisasi ini, khususnya kata kerja seperti tidur, duduk, bangun, dsb, biarpun kata kerja seperti minum, makan, dsb, dapat pula dikenakan kaidah ini.

Kaidah T.8 Nominalisasi-3:

Kata kerja yang lain selain pada kaidah T.6 dan T.7. kaidah ini seperti berikut:

meN

SD: (X) Kj (Afk) (Y)

ber

meN

ST: NOM (X) Kj (Afk) (Y) pe (N) + Kj (X) (Y)

ber

C: 1. Orang itu mencuri ayam Pencuri ayam itu…………

2. Orang itu bermain bola Pemain bola itu…………….

Kaidah T.9 Posesif-1:

Kaidah ini mesti dibagi dua, karena ada dua anggotanya yang memerlukan kaidah itu, sebab sebuah saja tidak cukup bagi kedua anggota itu. Secara puristis sebenarnya hanya ada tiga posesif saja dalam BI, yaitu bagi persona pertama, kedua dan ketiga, yang biasa dituliskan menjadi satu dengan Gatra Benda yang dimiliki, yaitu posesif ku, mu, dan nya masing-masing. Adapun yang lain hanyalah merupakan “pemindaha lingkungan” saja. Biarpun demikian ku, mu, dan nya kami jadikan satu dengan golongan pertama, dan berikut inilah kaidah itu dengan contohnya:

SD: GB-1 + punya + GB-2 (X)

aku ku

engkau mu

ia nya

saya saya

kami

ST: POS kita punya + GB-2 (X) GB-2

anda

kamu

tuan tuan

etc etc

Nama Nama

B(PEN) B(PEN)

C: 1. POS + Aku punya buku bukuku………….

2. POS + Kursi itu punya kaki kaki kursi itu…………..

Kaidah T.10 Posesif-2:

Kaidah ini adalah kelanjutan daripada posesif GB yang berujud Nama dan B(PEN). Karena ungkapan-ungkapan buku Pratiwi, sepeda Yanto, tas Hamid, dan rumah petani itu adalah gramatikal, maka pada Kaidah 9 ungkapan-ungkapan itu merupakan output-nya. Tetapi ungkapan-ungkapan itu masih dapat dilanjutkan pada posesif akhir dan untuk itulah kaidah ini diberikan sebagai contoh:

Nama

SD: (X) GB-1 (Y)

GB-2

Nama

ST: POS (X) GB-1 (Y) (X) GB-1 + nya (Y)

GB-2

C: POS + kucing Dewi kucingnya

Transformasi Rapatan

Dengan berbagai operator dua Penanda Gatra atau lebih yang setara dapat digabungkan menjadi sebuah kalimat rumit dan hasil dari Transformasi Rapatan. Contoh kaidah-kaidah Transformasi Rapatan diantaranya.

Kaidah T.11 Serial -1:

SD: (X) GB-1 + GPD (Y), (X) GB-2 + GPD (Y)

ST: (X) GB-1 + GPD (Y)

+ dan

(X) GB-2 + GPD (Y)

Per 1 Per 2

B dan B (PEN) GPD

Nama Nama

C: Guru itu membaca koran

+ dan

Murid-murid itu membaca koran

Guru dan murid-murid itu membaca koran.

Kaidah T.12 Serial-2:

SD: (X) GB + GPD-1 (Y), (X) GB + GPD-2 (Y)

ST: (X) GB + GPD-1 (Y) dan

+

(X) GB + GPD-2 (Y) lalu

dan

  1. GB + GPD-1 GPD-2 (Y)

lalu

C: 1. Orang itu membeli rumah

+ lalu

Orang itu berenang di pantai

Orang itu membeli rumah lalu berenang di pantai.

2. Petani itu rajin

+ dan Petani itu rajin dan giat.

Petani itu giat

Kaidah T.13 Serial Emfatik-1:

SD: (X) GB-1 + GPD (Y), (X) GB-2 + GPD (Y)

ST: (X) GB-1 + GPD (Y)

+ dan……juga

(X) GB-2 + GPD (Y)

(X) GB-1 + GPD + dan + GB-2 + juga (Y)

C: Perempuan itu makan nasi

+ dan……juga

Laki-laki itu makan nasi

Perempuan itu makan nasi dan laki-laki itu juga.

Kaidah T.14 Serial Emfatik-2:

SD: (X) GB-1 + GPD (Y), (X) GB-2 + GPD (Y)

ST: (X) GB-1 + GPD (Y)

+ baik……maupun

(X) GB-2 + GPD (Y)

(X) baik GB-1 + maupun GB-2 + GPD (Y)

C: 1. Laki-laki itu makan nasi ramas

+ baik……maupun

Perempuan itu makan nasi ramas

Baik laki-laki itu maupun perempuan itu makan nasi ramas.

Kaidah T.15 Kontras-1:

SD: (X) GB + NEG + GPD-1 (Y), (X) GB + GPD-1 (Y)

ST: (X) GB + NEG + GPD-1 (Y) melainkan

+ (X) GB +

(X) GB + GPD-1 (Y) tetapi

bukan (nya) + GPD-1 (Y) melainkan + GPD-1 (Y)

C: Orang itu tidak makan gulai kambing

+ melainkan

Orang itu minum es kelapa muda

Orang itu bukan (nya) makan gulai kambing melainkan minum es kelapa muda.

Kaidah T .16 Kontras-2:

SD: (X) GB-1 + NEG + GPD (Y), (X) GB-2 + GPD (Y)

ST: (X) GB-1 + NEG + GPD (Y)

+ melainkan / tetapi (X) bukan GB-1

(X) GB-2 + GPD (Y)

+ yang + GPD + melainkan GB-2 (Y)

C: Amat tidak menanam cengkeh

+ melainkan

Pak Ali menanam cengkeh

Bukan Amat yang menanam cengkeh, melainkan Pak Ali.

Kaidah T.17 Temporal:

SD: K-1 , K-2

ST: K-1

+ sewaktu K-1 + sewaktu + K-2

K-2

C: Kuda kami lepas

+ sewaktu Kuda kami lepas sewaktu kami masuk Kami masuk rumah rumah.

Kaidah T.18 Kondisional:

SD: K-1 , K-2

ST: K-1

+ jika(lau) K-1 + jika + K-2

K-2

C: Amat mau masuk sekolah

+ jika Amat mau masuk sekolah, jika Ibu Ibu memberinya belanja memberinya belanja.

Kaidah T.19 Komparatif:

SD: (X) GB-1 + GPD (Y), (X) GB-2 + GPD (Y)

ST: (X) GB-1 + GPD (Y)

+ seperti (X) GB-1 + GPD (Y) seperti (X) GB-2

(X) GB-2 + GPD (Y)

C: Gadis itu cantik

+ seperti Gadis itu cantik seperti bidadari.

Bidadari cantik

Kaidah T.20 Volitif:

SD: (X) GB + GPD-1 (Y), (X) GB + GPD-2 (Y)

ST: (X) GB + GPD-1 (Y)

+ untuk (X) GB + GPD-1 + untuk + GPD-2 (Y)

(X) GB + GPD-2 (Y)

C: Perempuan itu pergi ke dokter

+ untuk Perempuan itu pergi ke dokter untuk memperoleh obat bagi penyakitnya.

Perempuan itu memperoleh obat bagi

penyakitnya

Transformasi Sematan

Kaidah T.21 Atributif-1:

SD: SM K-1

GB-1 GPD

B PEN KE ADV

D GB

Gadis itu berjemur di kebun

SP K-2

GB GPD

B PEN GS

S Peng

gadis itu manis benar

maka struktur rapatan itu menjadi:

ST K-1

GB GPD

B K-2 PEN KE ADV

GB GPD-2 D GB

GS

S Peng

gadis yang manis benar itu berjemur di kebun

C: SM Orang itu menangkap pencuri

 Orang yang lihai itu menangkap pencuri

SP Orang itu lihai

Kaidah T.22 Atributif-2:

SD: SM K-1

GB-1 ASP GK

B POS-1j KE GB-2

B PEN

guru kami sedang membaca buku itu

SP K-2

GB GK

B PEN KE ADV

D GB-3

B Nama

buku itu dijual di buku Sarinah

dan kita terapkan kaidah ini sehingga membangkitkan sematan:

ST K-1

GB ASP GK

B PEN KE GB-2

B K-2 PEN

GB GK

KE ADV

D GB

B Nama

guru itu sedang mem- buku yang dijual di toko buku Sarinah

baca

C: SM Ahmad membeli kuda itu sekarang

SP Kuda itu nakal sekali

Ahmad membeli kuda yang nakal sekali itu sekarang.

Kaidah T.23 Komplemen Gatra Benda:

SD: SM K-1

GB GS

B PEN S

kenyataan itu jelas

SP K-2

GB GK

B POS-3 KE ADV

D GB

Suami nya dikirim ke Kalimantan

Dengan menerapkan kaidah ini akan diperoleh:

ST: K-1

GB GPD

B K-2 PEN

bahwa GB GPD GS

B POS-3 GK S

KE ADV

D GB

kenyataan bahwa suami nya dikirim ke Kalimantan itu jelas

C: Komplemen Subyek:

SM Pendapat itu menggairahkan si tua-bangka itu

SP Kolesom mempertinggi daya-tahan

Pendapat bahwa kolesom mempertinggi daya tahan itu menggairahkan si tua-bangka itu.

Komplemen Obyek:

SM Salim menyangkal berita itu

Pak Karto mencuri ayam

Salim menyangkal berita bahwa Pak Karto mencuri ayam.

Kaidah T.24 Komplemen Gatra-Kerja:

SM Perempuan itu membujuk anaknya.

K-1

GB-1 GK

B PEN KE GB-2

B POS-3

perempuan itu membujuk anak nya

serta kalimat pemadu:

SP Anaknya membeli rumah di kota.

K-2

GB-1 GK

B POS-3 KE GB-2

B ADV

D GB-3

anak nya membeli rumah di kota

Disematkan menjadi:

ST: Perempuan itu membujuk anaknya membeli rumah di kota.

K-1

GB GK

B PEN KE GB

B POS-3 K-2

GB GK

KE GB

B ADV

D GB-3

perempuan itu membujuk anak nya membeli rumah di kota

C: SM Orang-orang kampung menahan perampok.

SP Perampok melakukan penggedoran.

Orang-orang kampung menahan perampok melakukan penggedoran.

Kaidah T.25 Komplemen Gatra-Sifat:

SM Orang itu sangsi.

K-1

GB GS

B PEN S

orang itu sangsi

Dan kalimat pemadu seperti:

SP anaknya akan lulus ujian.

K-2

GB-1 ASP GK

GB POS-3 KE GB-2

anak nya akan lulus ujian

yang disematkan ke dalam yang pertama, sehingga kita dapatkan konstruksi transformasi seperti:

ST Orang itu sangat apa(kah) anaknya akan lulus uian

K-1

GB GS

B PEN S GB

apakah K-2

GB ASP GK

B POS-3 KE GB

orang itu sangat apakah anak nya akan lulus ujian

C: SM Mereka itu ragu.

SP Barang-barang tidak akan menjadi mahal.

Mereka itu ragu apakah barang-barang tidak akan menjadi mahal.

SM Rupanya penonton tidak acuh.

SP Kesebelasan Australia akan menang.

Rupanya penonton tidak acuh apakah kesebelasan Australia akan menang.

SERAT CENTHINI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PEMEROLEHAN MAKNA AKSARA HA-NA-CA-RA-KA

SERAT CENTHINI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PEMEROLEHAN MAKNA AKSARA HA-NA-CA-RA-KA

oleh Dheka Dwi Agusti N.

Dalam serat Centhini aksara Ha-na-ca-ra-ka digunakan untuk membahas nama seseorang dengan kiasan sifat dan tabiatnya, dimulai dari nama orang yang bermula dengan aksara ha hingga nama orang yang diawali dengan aksara nga.

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara ha

Sifatnya:

– pendapatnya tidak dapat diatur

    • selalu ingin disayangi

    • enggan dicela

    • banyak berlagak

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara na

Sifatnya:

– pemberani

    • tidak takut pada keluarga (kakak, ayah, ibu)

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara ca

Sifatnya: (untuk wanita)

    • jahat dan bengis

    • selalu ingin diperhatikan suami

    • senang memerintah dan mengatur suami

    • mudah akrab dan bersahabat, tetapi tidak abadi

    • berani kepada orang tua

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara ra

Sifatnya:

    • pandai, tetapi tidak sabar

    • mudah marah, dan berhati lembek seperti lilin

    • jika marah, akan cepat reda

    • bila berdebat mudah marah

    • sedikit keinginan

    • berani, tetapi setengah-setengah

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara ka

Sifatnya:

    • kata-kata yang diucapkannya keras

    • berani bertanggung jawab

    • senang dipuji

    • tidak tahan bekerja keras

    • kaku dan canggung

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara da

Sifatnya:

    • berkata sambil tersenyum

    • lapang dada

    • banyak akal

    • berpendirian teguh

    • tegur sapanya manis

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara ta

Sifatnya:

    • ramah

    • banyak akal

    • tidak suka mendengar ucapan yang buruk

    • suka bertegur sapa

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara sa

Sifatnya:

    • cerdas

    • sadar akan resiko

    • berbudi lembut

    • luas pengetahuannya

    • baik terhadap bawahan

    • berpikiran tajam

    • keberaniannya sedang

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara wa

Sifatnya:

    • angkuh dan jika marah berkobar-kobar

    • tidak setia kawan

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara la

Sifatnya:

    • sangat suka disayang dan disanjung

    • sombong

    • jika bersahabat akan setia kawan

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara pa

Sifatnya:

    • mudah marah dan patah hati

    • keinginannya tidak berlangsung terus

    • ceroboh

    • persahabatannya tidak kekal

    • tidak perhatian kepada ayah

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara dha

Sifatnya:

    • mudah bersedih

    • pandai dan tenang

    • jarang mengatakan sanggup

    • cerdas dan berpikiran tajam

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara ja

Sifatnya:

    • lembut pikir

    • tidak mudah marah

    • egois

    • sombong dan enggan bergaul

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara ya

Sifatnya:

    • pemalu

    • tidak kenal bahaya

    • mudah bersedih

    • mudah menaruh curiga

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara nya

Sifatnya:

    • berlagak pujangga

    • pandai berkata-kata

    • sulit mengikuti pendapat orang lain

    • sering enggan dan cemas

    • suka menjadi korban orang lain

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara ma

Sifatnya:

    • mudah panas hati

    • sulit menerima nasehat orang lain

    • senang mencari perhatian

    • senang menyendiri, tidak suka tempat ramai

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara ga

Sifatnya:

    • pandangan luas

    • berjiwa pemimpin

    • teguh pendirian

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara ba

Sifatnya:

    • besar amarah

    • tidak banyak bicara

    • kata-katanya halus dan manis, namun berbahaya

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara tha

Sifatnya:

    • pikirannya tumpul

    • bodoh, tetapi berlagak pandai

    • tidak tahu tugas

    • enggan bekerja

  1. Orang yang namanya bermula dengan aksara nga

Sifatnya:

    • cekatan

    • pandai berbuat dan rendah hati

SERAT CENTHINI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PALEOGRAFI AKSARA HA-NA-CA-RA-KA

SERAT CENTHINI DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PALEOGRAFI AKSARA HA-NA-CA-RA-KA

oleh Dheka Dwi Agusti N.

Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerto raharjo. Itulah salah satu semboyan sebagai tanda harapan pemerintah akan negeri ini. Sebagai generasi penerus sekaligus pewaris kebudayaan, seharusnya telah memiliki pengertian dan pemahaman atas ajaran para leluhur tentang kawruh kasampurnaan atau kautama. Di mana mereka meninggalkan suatu kekayaan yang sangat mahal dan adi luhung, yaitu aksara Jawa, atau aksara ha-na-ca-ra-ka. Sebuah karya sastra dan kebudayaan yang di dalamnya terkandung berbagai rahasia dan ajaran-ajaran hidup. Salah satunya adalah penggunaan aksara ha-na-ca-ra-ka berikut pemberian atas makna yang terdapat dalam serat Centhini.

Serat Centhini adalah suatu buku berbahasa Jawa, yang isinya merupakan sumber kesempurnaan hidup orang Jawa. Naskah aslinya berhuruf Jawa. Terdiri dari 12 jilid, dan 3500 halaman. Serat Centhini ini ditulis atas gagasan Sri Sunan Paku Buwana V (pada saat itu masih berstatus sebagai Pangeran Adipati Anom) dari Surakarta. Dibantu oleh Rangga Sutrasana, Yasadipura II, dan Ngabehi Sastradipura. Lalu disalin ke huruf Latin oleh Kamadjaya yang diterbitkan oleh Yayasan Centhini di Yogyakarta tahun 1985. Pada awalnya buku ini dinamakan suluk Tambang Raras, namun kemudian diganti menjadai serat Centhini. Nama Centhini ini diambil dari Niken Tambang Raras istri Syekh Among Raga.

Naskah yang ditulis pada Sabtu Pahing tanggal 26 Suro dengan Cadra Sengkala “paksa suci sabda ji” yaitu tahun 1742 atau tahun1814 Masehi ini, di dalamnya termuat dialog-dialog, kisah dan aksara ha-na-ca-ra-ka yang mengungkapkan pandangan, sikap serta ajaran mengenai hidup manusia. Hubungannya dengan diri sendiri, dengan sesama, masalah keluarga, hubungan suami istri, dan mengenai hubungan Tuhan yang Maha Esa. Di dalamnya terkandung pula refleksi religius yang sifatnya popular, walaupun tidak jarang mendalam dan mendasar sifatnya.

Serat Centhini ini bagi orang Jawa sudah tidak asing lagi selain karena mengandung kisah dan ajaran-ajaran hidup, juga menerangkan ilmu pengetahuan mengenai kebudayaan Jawa baik yang lahir maupun yang batin. Maka sudah sepantasnyalah jika serat Centhini ini disebut sebagai ensiklopedi kebudayaan Jawa.

Paleografi bermakna sebagai ilmu yang mempelajari tulisan aksara atau huruf kuno. Secara etimologis kata paleografi berasal dari paleos = kuno, dan grafein = tulisan. Paleografi berkaitan erat dengan epigrafi, yaitu ilmu yang mempelajari aksara-aksara yang digunakan dalam penulisan prasasti. Di Indonesia penelitian paleografi telah diawali oleh A. B. Cohen Stuart (1875), dengan bukunya yang berjudul “kawi Oorkoden in Fasimile, Mer Inleiding en Transcriptie”. Ia mencontohkan aksara Jawa Kuno, di samping contoh-contoh aksara dari prasasti dan tembaga. Rintisan Stuart dilanjutkan oleh Holle pada tahun1882 dengan bukunya yang berjudul ‘tabel van Oud en Nieuw Indische Alphabetten”, yang mengetengahkan beberapa contoh aksara Jawa seperti Jawa Barat, Jawa Tengah Jawa Timur, Bali, Lampung, Bima, dan lain-lain (Holle, 1882).

Berikutnya, penelitian tentang paleografi ini secara berturut-turut dilakukan oleh penulis-penulis lain, antara lain: Kern yang menulis “Verspreide Geschriften” 1917, J. G. de Casparis menulis buku karangannya yang berjudul “Indonesian Paleography 1975”. Beberapa nama lain untuk bidang paleographyyang sempat dicatat Atmodjo diantaranya adalah Brandes, Stein Callenfels, Krom, Bosch, Stutterheim, Poerbatjaraka, Pigeaud, Buchari, Ktut Ginarsa, A. S. Wibobo dan Sukarto K. Atmodjo (Atmodjo, 1994: 3)

Aksara ha-na-ca-ra-ka dari segi paleografis merupakan kelanjutan dari perkembangan aksara dari masa ke masa, yang tidak diketahui secara pasti sejak kapan mulai dikenal dan dipergunakan sebagai sarana penulisan. Sebelum dikenal sebagai cacarakan atau yang saat ini disebut juga dengan ha-na-ca-ra-ka, orang telah menggunakan aksara yang lebih tua beredarnya yang dikenal denan aksara Jawa Kuno (Soebalidinata, 1994: 9).

Soebalidinata menyampaikan beberapa contoh aksara Jawa Kuno yang merupakan mata rantai perkembangan aksara menuju ke aksara ha-na-ca-ra-ka, dengan sistem ejaan yang lain untuk alih aksara.

  1. Tulisan Kawi Jawa Timur

  2. Tulisan Kawi masa Airlangga

  3. Tulisan Kawi masa Kerajaan Kediri

  4. Tulisan Kediri Kwadrat

Perkembangan aksara Jawa Kuno ke Jawa Baru juga terkait dengan perubahan bahasa. Menurut Brandes perkembangan bahasa Jawa yang melampaui empat tingkatan menjadi bervariasi. Masing-masing tingkatan itu adalah:

  1. Masa Jawa Kuno yang tertua.

  2. Masa Jawa Kuno.

  3. Masa Jawa Madya atau Jawa Tengahan.

  4. Masa Jawa Baru.

de Casparis di dalam “Indonesian Paleography” yang dikutip Atmodjo (1994: 8) mengolompokkan perkembangan aksara (Jawa) atas beberapa tahap, dimulai dari aksara Pallawa:

  1. Aksara Pallawa awal, sebelum tahun 700 M.

  2. Aksara Pallawa tahap akhir, abad VII dan pertengahan abad VIII M.

  3. Aksara Kawi awal, 750 – 925 M.

  4. Aksara Kawi akhir, 925 – 1250 M.

  5. Aksara Majapahit dan aksara daerah, 1250 – 1450 M.

  6. Aksara Jawa Baru, tahun 1500 hingga sekarang.

Aksara Jawa Baru yang merupakan kelanjutan perjalanan aksara Jawa Kuno di dalam perkembangannya mengalami perbedaanPerbedaan antara aksara Jawa Kuno dan Jawa Baru cukup banyak. Aksara Jawa Baru ha-na-ca-ra-ka mengalami penambahan garis tegak (kaki) di sebelah kiri dan kanan aksara bersangkutan. Demikian juga tanda vokal [i] dan [e].

Di dalam aksara Jawa Kuno tidak ada periodesasi secara khusus. Namun hanya ditandai secara umum adanya model bentuk penulisan aksara. Bentuk tulisan gaya Mataram I yang berbentuk bulat berbeda dengan aksara gaya Jawa Timur yang bentuknya agak kurus dan runcing (Atmodjo, 1994: 9). Di samping gaya-gaya bentuk tulisan pada taraf local.

RELASI MAKNA

RELASI MAKNA

oleh Dheka Dwi Agusti N.

Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi.Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonym), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponim), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya. Berikut ini akan dibicarakan masalah tersebut satu per satu.

1. Sinonim

Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu anoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’.Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim ;bunga, kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonom; mati, wafat, meninggal, dan mampus adalah empat buah kata yang bersinonim.

Menurut teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya ; padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Atau kalau kita mengikuti teori analisis komponen yang sama adalah bagian atau unsur tertentu saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati dan meninggal. Kata mati nemiliki komponen makna (1) tida bernyawa (2) dapat dikenakan terhadap apa saja ( manusia, binatang, pohon, dsb). Sedangkan meninggal memiliki komponen makna (1) tidak bernyawa. (2) hanya dikenakan pada manusia. Maka dengan demikian kata mati dan meninggal hanya bersinonim pada komponen makna (1) tidak bernyawa.Kerena itu, jelas bagi kita kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati; tetapi yang bisa meninggal hanya Ali. Sedangkan kucing dan pohon tidak bisa.

Ketidak mungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya, Antara lain,karena ;

(1) Faktor waktu.Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini (modern)

(2) Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalan konteks pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku) ; sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum di mana saja.

(3) Faktor Sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya yang tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.

(4) Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan islam; dan kata mistik untuk semua agama.

(5) Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang bisa digunakan secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata; kata melotot hanya digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar: kata meninjau hanya digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.

Dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata, tetapi juga banyak terjadiantara satuan-satuan bahasa lainnya. Perhatikan contoh berikut!

(a) Sinonim antar morfem (bebas) dengan morfem terikat, seperti antara dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat

(1) Minta bantuan dia

Minta bantuannya

  1. Bukan teman saya

Bukan temanku

(b) Sinonim antar kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal: antara buruk dengan jelek.

(c) Sinoninm antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan tutup usia:antara hamil dengan duduk perut.

(d) Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua; antara meninggal dunia dengan pulang ke rahmatullah.

(e) Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola dengan Bola ditendang adik. Kedua kalimat tersebut dianggap bersinonim, yang pertama kalimat aktif dan yang kedua lalimat pasif.

Mengenai sinonim ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama tidak semuakata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu dan kuning. Kedua ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul; tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan; dan berjemur bersinonim dengan berpanas. Keempat ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya kata hitam dalam makna “sebenarnya” tidak ada sinonimnya, tetapi dalam arti “kiasan” ada sinonimnya yaitu gelap, mesum, buruk, jahat dan tidak menentu.

2. Antonimi dan Oposisi

Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’ dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah maka antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makan ungkapan lain. Misalnya kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan kata kecil.

Sama halnya dengan sinonim, antonimpun terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa Inggaris kita jumpai contoh thankful dengan thankless, dimana ful dan less berantonim; antara progresif dengan regresif, dimana fro dan re berantonim.

Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi:

2.1 Oposisi Mutlak

Di sini terdapat pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi.

2.2 Oposisi Kutub

Makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskain tidak mutlak orang yang tidak kaya belum tentu meras miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya.

Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.

2.3 Oposisi Hubungan

Makna kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya kata menjual beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak.proses menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga bisa dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada proses membeli.

Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja seperti mundur-maju, pulang-pergi, pasang-surut, memberi-menerima, belajar- mengajar, dan sebagainaya. Selain itu, bisa pula berupa kata benda, seperti ayah- ibu, guru-murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.

2.4 Oposisi Hierarki

Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini mengatakan suatu deret jenjeng atau tingkatan. Oleh karena itu kata-kata yang beropossisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton beroposisi secara hierarkial karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan berat.

2.5 Oposisi Majemuk

Selama ini yang dibicarakan adalah oposisi diantara dua buah kata, seperti mati-hidup, menjual-membeli, jauh-dekat, prajurit-opsir. Namun, dalam pembedaharaan kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata.

Misalnya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan kata berjongkok. Keadaan seperti ini lazim disebut dengan kata istilah oposisi majemuk. Jadi:

duduk

berbaring

berdiri x tiarap

berjongkok

Contoh lain, kata diam yang dapat beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.

3 Homonimi, Homofoni, Homograf

Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara rafia homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah.

Hal-hal yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:

  1. bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau diales yang berlainan.

  2. bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.

Hominimi dan sinonimi dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.

1. Homonimi antar morfem, tentunya terjadi antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya.

2. homonimi antar kata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, atau dapat’.

3. homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan cinta dari seorang anak lepada ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti ‘cinta lepada anak dari seorang ibu’.

4. homonimi antar kalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.

Disamping homonimi ada pula istilah homofoni dan homogfari. Homofoni dilihat dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homografi dilihat dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafo=tulisan).

Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan ejan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna.

4. Hiponimi dan Hipernimi

Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti “di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik, Verhaar (1978: 137) menyatakan hiponim ahíla ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna statu ungkapan lain.

Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi anatar dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah.

Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tapi agak sukar pada kata verja atau kata sifat.

5. Polisemi

Polisemi lazim diartiakn sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna. Namur, makna –makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.

Persoalan lain yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda.

Di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.


6. Ambiguitas

Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatical itu dibantu oleh unsur intonasi.

Perbedaan antara ambiguitas dan homonimi adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.

7. Redudansi

Istilah redudansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam statu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redudansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external).


Purwakanti Sastra

Purwakanti Sastra

Oleh Dheka Dwi Agusti N.

Purwakanti sastra adalah salah satu jenis perulangan bunyi alias repetisi yang terdapat dalam tradisi lisan masyarakat Sunda. Istilah purwakanti sastra diungkapkan oleh Satjadibrata dalam bukunya yang berjudul Rusiah Tembang Sunda pada tahun 1951. Satjadibrata mengungkapkan bahwa di tanah Sunda purwakanti tersebut digunakan untuk menghapal lagu. Sebuah cara menghapal yang berbeda dengan cara menghapal ala Belanda yang menggunakan aturan si-do-sol (do-re-mi-fe-so-la-si-do). Yaitu kata yang menjadi penutup kalimat sebelumnya, menjadi kata pembuka dalam kelimat selanjutnya. Salah satu contoh aplikasi purwakanti sastra ini terdapat dalam pupuh kinanti dan sinom, yaitu :

Kinanti

Sok emut jaman kapungkur

Kapungkur nalika abdi

Abdi nuju dipiara

Dipiara dipupusti

Dipupusti ku indung bapa

Bapa nu kalangkung asih.

Sinom

Ti barang engkang paturay

Paturay jeung buah ati

Ati teu weleh nalangsa

Nalangsa anu nunggelis

Nunggelis tur prihatin

Prihatin taya nu nulung

Nulung ngahegar-hegar

Hegar saperti bihari

Bihari mah asa kumpul lelembutan

Meskipun purwakanti sastra ini terdapat dalam pupuh, tetapi menurut Muhammad Moesa purwakanti seperti ini hanya dipakai dalam kakawihan Ayang-ayang gung.

Purwakanti sastra tersebut memang sangat nampak dalam lagu Ayang-ayang Gung. Adjan Sudjana dalam tulisannya yang berjudul Ayang-ayang Gung, Gasibu Bukan Gazebo memaparkan bahwa lagu ini merupakan lagu zaman perjuangan melawan Belanda. Adanya irama lagu dan susunan kata yang mudah dinyanyikan serta diingat, efektivitas lagu itu menjadi wahana protes dan pendidikan kesadaran politik rakyat. Sementara itu lagu Oyong-oyong Bangkongpun memiliki latar belakang kesejarahan yang mirip dengan Ayang-ayang Gung. Seperti yang diungkapkan oleh oleh Nandang Rusnandar dalam Sistem Pengetahuan Masyarakat Sunda (Makna Pendidikan di Balik Permainan Anak tahun 2000, nyanyian ini merupakan wujud rasa kecewa orang Baduy terhadap kompeni Belanda yang datang ke daerah Jawa Barat.

Purwakanti dalam kedua lagu tersebut menjadi sebuah media khas dalam sebuah proses pendidikan, yaitu melalui efektifitas yang muncul dari pola purwakanti tersebut. Purwakanti sastra yang diungkapkan oleh Satjadibrata ini sejalan dengan apa yang diistilahkan oleh Gorys Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa sebagai repetisi anadiplosis, yaitu berupa perulangan bunyi, suku kata, kata, atau frasa terakhir dalam suatu lirik atau baris menjadi kata atau frasa pertama pada larik selanjutnya. Dalam kesusatraan moderen repetisi anadiplosis ini sering juga disebut epanadiplosis atau epanastrofa.

Dalam permainan anak-anak Sunda atau yang lebih dikenal dengan istilah kaulinan budak, repetisi ini ternyata cukup banyak terkandung dalam lagu yang biasa mereka nyanyikan ketika permainan tengah berlangsung. Permainan paciwit-ciwit lutung misalnya, di mana saat anak-anak bermain dengan saling mencubit punggung tangan temannya mereka menyanyikan menyanyikan lagu

Paciwit-ciwit lutung

Si Lutung pindah ka luhur.

Permainan lainnya yang juga masih menggunakan media tangan dan jari serta lagu berpurwakanti sastra adalah Cingciripit.

Cing ciripit tulang bajing kacapit

Kacapit ku bulu paré,

Bulu paré seuseukeutna,

jol padalang mawa wayang,

Jrék jrék nong

Permainan lainnya adalah Caca Burange dan Leho Sapi yang masing-masing lagunya adalah

caca burange

burange tali gobang

gobang pancarange

anak gajah papayungan

boti botem..

boti botem..

Lého sapi pi,

Pindang gobang bang,

Bangkong hejo jo,

Jolijopak jojoli ong

Adapula lagu-lagu yang dinyanyikan oleh ibu kepada anaknya yang masih bayipun mengandung purwakanti semacam ini. Pada usia 4-5 bulan, bayi dapat seuri ngabarakatak (tertawa) jika diajak bercanda. Candaan tersebut biasanya dengan dikauk-kauk. Ketika Ibu menyanyikan lagu kauk-kauk, sang Bayipun memperhatikannya seakan ia mengerti. Di akhir kalimat yang juga menjadi akhir lagu sang Ibu lalu pura-pura mencari sambil menggelitiki anaknya.

Kauk-kauk

Kauk-kauk si julang

Si julang ka mana enteupna

Enteupna… kadieu

(bari ngélékéték budak)

Di samping kauk-kauk, ada permainan lain yang juga dimainkan oleh orang tua yaitu sursar. Dalam permainan ini, si anak diajak duduk berjajar dengan orang tuanya sambil kaki diselonjorkan (nanghunjar), sambil bernyanyi tangannya silih berganti mengusap-usap kaki mulai dari pangkal paha hingga mata kaki dan terus dilakukan bolak-balik, sambil melagukan:

sur sar sur sar,

angeun kacang atah keneh,

disuluhan ku baketes,

baketes meunang meulahan,

meulahan ku peso raut,

peso raut gagang tanduk,

ari gog-gog cungunguk

Ketika si orang tua menyebutkan kata-kata ari gog-gog cungunguk, dengkul si anak seolah-olah dipijit-pijit oleh orang tuanya, dan si anak akan tertawa karena kegelian.

Lagu-lagu kaulinan budak tersebut memiliki pola yang estetis, juga menunujkkan sebagai alur yang saling berkait tanpa putus yang memuat tekanan terhadap sebuah konteks. Pangeran Djatikusumah di sela hari-hari menyambut upacara Seren Taun 1940 Saka yang di gelar di Cigugur, Kuningan, Januari 2008 kemarin, mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan Siloka yang mengandung panganteb yang juga dapat mencerminkan bagaimana cara karuhun Sunda dalam mendidik anak.

Dalam kaitannya dengan pendidikan anak, purwakanti tersebut merupakan sebuah media untuk mempermudah seorang anak dalam menghapal dan menguatkan ingatan. Hal ini sejalan dengan banyaknya penelitian yang mengungkapkan bahwa perulangan dapat mempercepat terhubungnya milyaran sambungan otak anak. Melalui purwakanti ini pula seorang anak belajar berbicara (capetang). Dalam tradisi Baduy, seperti yang dituturkan oleh Jaro Sawitri dan Aki Darseuni, sesepuh masyarakat Baduy Luar, biasanya ketika anak-anak mulai bisa berbicara mulut si Anak dimantrai terlebih dahulu. Kemudian mantra ini diajarkan untuk dihafalkan dan dilafalkan sedikit demi sedikit oleh si Anak. Masyarakat Baduy menyebutnya sebagai poko jampé atau mantra pokok, yang berbunyi:

Capit cuit cangkorélang

Manuk daun mobok liang

Liang keuyeup

Keuyeup sekar

Sekar cai

Cai haneut

Haneut kuku

Kuku peusing

Peusing cala

Cala bunar

Bunar ropoh

Ropoh jalan

Jalan gedé

Gedé bulan

Bulan silih

Silih ogan

Ogan kotok

Kotok hurik

Hurik amis

Amis gula

Gula léngkét

Léngkét dagé

Dagé dungkuk

Dungkuk lutung

Lutung puntang

Ountang dahan

Dahan peucung

Peucung céléng

Céléng bonténg

Bonténg lilin

Lilin odéng

Odéng paré

Paré konéng

Konéng tinggang

Tinggang anak

Anak buwu

Buwu séksék

Séksék nombék di karéés

Salam.

PENAMAAN, PENGISTILAHAN, DAN PENDEFINISIAN

PENAMAAN, PENGISTILAHAN, DAN PENDEFINISIAN

oleh Dheka Dwi Agusti N.

Penamaan, pengistilahan, pendefinisaian adalah proses pelambangan suatu konsep untuk mengacu kepada suatu referen.

Referen adalah benda atau orang tertentu yang diacu oleh kata atau untaian kata dalam kalimat atau konteks tertentu. (KBBI, 2002: 939)

Referen yaitu kemampuan kata untuk mengacu pada makna tertentu. Referensi berhubungan erat dengan makna, jadi referensi merupakan salah satu sifat makna leksikal. (Veerhaar, 1999: 389)

1. PENAMAAN

Penamaan atau pemberian nama adalah soal konvensi atau perjanjian belaka di antara sesama anggota statu masyarakat bahasa. (Aristoteles)

Antara suatu satuan bahasa sebagai lambang, misalnya kata, dengan sesuatu yang dilambangkannya bersifat sewenang-wenang dan tidak ada hubungan “wajib” di antara keduanya. Jika sebuah nama sama dengan lambang untuk sesuatu yang dilambangkannya, berarti pemberian nama itu pun bersifat arbitrer, tidak ada hubungan wajib sama sekali.

Misalnya antara kata <kuda> dengan benda yang diacunya yaitu seekor binatang yang biasa dikendarai atau dipakai menarik pedati, tidak bisa dijelaskan sama sekali. Lagi pula andaikata ada hubungannya antara lambang dengan yang dilambangkannya itu, tentu orang Jawa tidak akan menyebutnya <jaran>, orang Inggris tidak akan menyebutnya <horse>, dan orang Belanda tidak akan menyebutnya <paard>. Tentu mereka semuanya akan menyebutnya juga <kuda>, sama dengan orang Indonesia.

Walaupun demikian, secara kontemporer kita masih dapat menelurusi sebab-sebab atau peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya penamaan atau penyebutan terhadap sejumlah kata yang ada dalam leksikon bahasa Indonesia.

  1. 1 Peniruan Bunyi

Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang terbentuk sebagai hasil peniruan bunyi. Maksudnya, nama-nama benda atau hal tersebut dibentuk berdasarkan bunyi dari benda tersebut atau suara yang ditimbulkan oleh benda tersebut.

Misalnya, binatang sejenis reptil kecil yang melata di dinding disebut cecak karena bunyinya “cak, cak, cak-“. Begitu juga dengan tokek diberi nama seperti itu karena bunyinya “tokek, tokek”. Contoh lain meong nama untuk kucing, gukguk nama untuk anjing, menurut bahasa kayak-kanak, karena bunyinya begitu.

Kata-kata yang dibentuk berdasarkan tiruan bunyi ini disebut kata peniru bunyi atau onomatope.

  1. 2 Penyebutan Bagian

Penamaan suatu benda atau konsep berdasarkan bagian dari benda itu, biasanya berdasarkan ciri khas yang dari benda tersebut dan yang sudah diketahui umum.

Misalnya kata kepala dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan bersa 10 kg. Bukanlah dalam arti „kepala“ itu saja, melainkan seluruh orangnya sebagai satu kesatuan (pars pro toto, menyebut sebagian untuk keseluruhan).

Contoh lainnya yaitu kata Indonesia dalam kalimat Indonesia memenangkan medali emas di olimpiade. Yang dimaksud adalah tiga orang atlet panahan putra (tótem pro parte, menyebut keseluruhan untuk sebagian.)

  1. 3 Penyebutan Sifat Khas

Penyebutan sifat khas adalah penamaan sesuatu benda berdasarkan sifat yang khas yang ada pada benda itu yang hampir sama dengan pars pro toto. Gejala ini merupakan peristiwa semantik karena dalam peristiwa ini terjadi transposisi makna dalam pemakaian yakni perubahan dari kata sifat menjadi kata benda. Di sini terjadi perkembangan yaitu berupa ciri makna yang disebut dengan kata sifat itu mendesak kata bendanya karena sifatnya yang amat menonjol itu; sehingga akhirnya, kata sifatnya itulah yang menjadi nama bendanya. Umpamanya, orang yang sangat kikir lazim disebut si kikir atau si bakhil. Yang kulitnya hitam disebut si hitam, dan yang kepalanya botak disebut si botak.

Di dalam dunia politik dulu ada istilah golongan kanan dan golongan kiri. Maksudnya, golongan golongan kanan untuk menyebut golongan agama dan golongan kiri untuk menyebut golongan komunis.

  1. 4 Penemu dan Pembuat

Nama benda dalam kosa kata bahasa Indonesia yang dibuat berdasarkan nama penemunya, nama pabrik pembuatnya, atau nama dalam peristiwa sejarah disebut dengan istilah appelativa.

Nama-nama benda yang berasal dari nama orang, antara lain, kondom yaitu sejenis alat kontrasepsi yang dibuat oleh Dr. Condom; mujahir atau mujair yaitu nama sejenis ikan air tawar yang mula-mula ditemukan dan diternakan oleh seorang petani yang bernama Mujair di Kediri, Jawa Timur. Selanjutnya, dalam dunia ilmu pengetahuan kita kenal juga nama dalil, kaidah, atau aturan yang didasarkan pada nama ahli yang membuatnya. Misalnya, dalil arkhimides, hukum kepler, hukum van der tunk, dan sebagainya.

Nama orang atau nama pabrik dan merek dagang yang kemudian menjadi nama benda hasil produksi itu banyak pula kita dapati seperti aspirin obat sakit kepala, ciba obat sakit perut, tipp ex koreksi tulisan, miwon bumbu masak, dan lain sebagainya.

Dari peristiwa sejarah banyak juga kita dapati nama orang atau nama kejadian yang kemudian menjadi kata umum. Misalnya kata boikot, bayangkara, laksamana, Lloyd, dan sandwich. Pada mulanya kata bayangkara adalah nama pasukan pengawal keselamatan raja pada zaman Majapahit. Lalu, nama ini kini dipakai sebagai nama korps kepolisian R.I. Kata laksamana yang kini dipakai sebagai nama dalam jenjang kepangkatan pada mulanya adalah nama salah seorang tokoh dalam wiracarita Ramayana. Laksamana adik Rama dalam cerita itu memang terkenal sebagai seorang pahlawan. Kata boikot berasal dari nama seorang tuan tanah di Iggris Boycott, yang karena tindakannya yang terlalu keras pada tahun 1880 oleh perserikatan tuan tanah Irlandia tidak diikutsertakan dalam suatu kegiatan dikatakan orang itu diboikot, diperlakukan seperti tuan Boycott. Kaat Llyoid seperti yang terdapat pada nama perusahaan pelayaran seperti Djakarta Lloyd dan Rotterdamse Lloyd diturunkan dari nama seorang pengusaha warung kopi di kota London pada abad XVII, yaitu Edward Lloyd. Warung kopi itu banyak dikunjungi oleh para pelaut dan makelar perkapalan. Maka dari itu namanya dipakai sebagai atribut nama perusahaan pelayaran yang searti dengan kata kompeni atau perserikatan, khususnya perserikatan pelayaran.

Kata Sandwich, yaitu roti dengan mentega dan daging didalamnya, berasal dari nama seorang bangsawan Inggris Sandwich. Dia seorang penjudi berat, yang selalu membawa bekal berupa roti seperti di atas agar dia bisa tetap sambil tetap bermain.

  1. 5 Tempat Asal

Sejumlah nama benda dapat ditelusuri berasal dari nama tempat asal benda tersebut. Misalnya kata magnit berasal dari nama tempat Magnesia; kata kenari, yaitu nama sejenis burung, berasal dari nama pulau kenari di Afrika; kata sarden atau ikan sarden, berasal dari nama pulau Sardinia di Italia; kata klonyo berasal dari au de Cologne artinya air dari kuelen, yaitu nama kota di Jerman Barat.

Banyak juga nama piagam atau prasasti yang disebut berdasarkan nama tempat penemuannya seperti piagam kota Kapur, prasasti kedudukan bukit, piagam Telaga Batu dan piagam Jakarta.

Selain itu ada juga kata kerja yang dibentuk dari nama tempat, misalnya, didigulkan yang berarti di buang ke Digul di Irian jaya; dinusakambangkan, yang berarti di bawa atau dipenjarakan di pulau Nusakambangan.


  1. 6 Bahan

Ada sejumlah benda yang namanya diambil dari nama bahan pokok benda itu. Misalnya, karung yang dibuat dari goni yaitu sejenis serat tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa latin disebut Corchorus capsularis, disebut juga goni atau guni.

Contoh lain, kaca adalah nama bahan. Lalu barang-barang lain yang dibuat dari kaca seperti kaca mata, kaca jendela, dan kaca spion. Bambu runcing adalah nama sensata yang digunakan rakyat Indonesia dalam perang kemerdekaan dulu. Bambu runcing dibuat dari bambu yang ujungnya diruncingi sampai tajam. Maka di sini nama bahan itu, yaitu bambu, menjadi nama alat sensata itu.

  1. 7 Keserupaan

Dalam praktek berbahasa banyak kata yang digunakan secara metaforis. Artinya kata itu digunakan dalam suatu ujaran yang maknanya dipersamakan atau diperbandingkan dengan makna leksikaldari kata itu.

Misalnya kata kaki pada frase kaki meja dan kaki kursi dan ciri “terletak pada bagian bawah”.contoh lain kata kepala pada kepala kantor, kepala surat dan kepala meja. Disini kata kepala memiliki kesamaan makna dengan salah satu komponen makan leksikal dari kata kepala itu, yaitu “bagian yang sangat penting pada manusia” yakni pada kepala kantor, “terletak sebelah atas” yakni pada kepala surat, dan “berbentuk bulat” yakni pada kepala paku. Malah kemudian, kata-kata seperti kepala ini dianggap sebagai kata yang polisemi, kata yang memiliki banyak makna.

  1. 8 Pemendekan

Penamaan yang didasarkan pada hasil penggabungan unsur-unsur huruf dan beberapa suku kata yang digabungkan menjadi satu. Misalnya rudal untuk peluru kendali, iptek untuk ilmu pengetahuan dan teknologi, dan tipikor untuk tindak pidana korupsi.

Kata-kata yang terbentuk sebagai hasil pemendekan ini lazim disebut akronim.

  1. 9 Penamaan Baru

Penamaan baru dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada karena kata atau istilah lama yang sudah ada dianggap kurang tepat, kurang rasional, tidak halus atau kurang ilmiah.

Misalnya, kata pariwisata untuk menggantikan kata turisme, darmawisata untuk piknik, dan karyawan untuk mengganti kata kuli atau buruh. Penggantian kata gelandangan menjadi tuna wisma, pelacur menjadi tunasfusila, dan buta huruf menjadi tuna aksara adalah karena kata-kata tersebut dianggap kurang halus; kurang sopan menurut pandangan dan norma sosial. Proses penggantian nama atau penyebutan baru masih akan terus berlangsung sesuai dengan perkembangan pandangan dan norma budaya yang ada di dalam masyarakat.

2. PENGISTILAHAN

Berbeda dengan proses penamaan atau penyebutan yang lebih banyak berlangsung secara arbitrer, mka pengistilahan lebih banyak berlangsung menurut statu prosedur. Ini terjadi karena pengistilahan dilakukan untuk mendapatkan “ketepatan” dan “kecermatan” makna untuk statu bidang kegiatan atau keilmuan.

Istilah memiliki makna yang tepat dan cermat serta digunakan untuk satu bidang tertentu, sedangkan nama masih bersifat umum.

Misalnya kata <telinga> dan <kuping> sebagai nama yang dianggap bersinonim. Tetapi dalam bidang kedokteran telinga dan kuping digunakan sebagai istilah untuk acuan yang berbeda; telinga adalah alat pendengaran bagian dalam, sedangkan kuping adalah bagian luarnya.

3. PENDEFINISIAN

Pendefinisaian adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja untuk mengungkapkan dengan kata-kata akan suatu benda, konsep, proses, aktivitas, peristiwa, dan sebagainya. Berdasarkan taraf kejelasannya, definisi diklasifikasikan menjadi 5 yaitu:

1. Definisi Sinonimis

Suatu kata didefinisikan dengan sebuah kata lain yang merupakan sinonim dari kata tersebut. Contoh: kata ayah didefinisikan dengan kata bapak. Ketidakjelasan definisi ini adalah karena definisi yang diberikan bersifat berputar balik (circum of means).

2. Definisi Formal

Dalam definisi formal ini, konsep atau ide yang akan didefinisikan itu disebutkan terlebih dahulu sebuah ciri umumnya, lalu disebutkan pula sebuah ciri khusus yang menjadi pembeda dengan konsep atau ide lain yang sama ciri umumnya.

Misalnya kata bis

konsep/ide ciri umum Ciri khusus

bis kendaraan umum dapat memuat

banyak penumpang

Ciri khusus yang menjadi pembeda ini dapat berupa salah satu unsur yang terdapat pada konsep yang didefinisikan itu, seperti unsur kuantitas (misalnya banyak penumpang pada definisi bis), atau juga unsur tujuan, bahan, kegunaan, kerja, kualitas, dan sebagainya.

Definisi formal ini pada taraf tertentu memang sudah cukup jelas, tetapi pada taraf yang lebih jauh seringkali tidak memuaskan. Umpamanya definisi bis di atas yang dikatakan adalah kendaraan umum dan dapat memuat banyak penumpang. Definisi itu belum bisa menjelaskan bedanya bis dengan kereta api dan pesawat terbang.

Kelemahan definisi formal di atas dapat diatasi dengan pendefinisian yang lebih luas, yaitu dengan membuat definisi logis dan definisi ensiklopedis.

3. Definisi Logis

Definisi logis mengidentifikasi secara tegas objek, ide atau konsep yang didefinisikan itu sedemikian rupa, sehingga objek tersebut berbeda secara nyata dengan objek-objek lain. Definisi logis ini biasa terdapat dalam buku-buku pelajaran, dan karena itu sifatnya (agak) ilmiah. Contoh:

air adalah zat cair yang jatuh dari awan sebagai hujan, mengaliri sungai, menggenangi danau dan lautan, meliputi dua pertiga bagian dari permukaan bumi, merupakan unsur pokok dari kehidupan, campuran oxida hidrogen H2O, tanpa bau, tanpa bau, tanpa rasa dan tanpa warna, tetapi tampak kebiru-biruan pada lapisan yang tabal, membeku pada suhu nol derajat Celsius, mendidih pada suhu 100 derajat Celsius, mempunyai berat jenis maksimum pada 4 derajat Celsius.

4. Definisi Ensiklopedis

Definisi ensiklopedis lebih luas lagi dari definisi logis sebab definisi ensiklopedis ini menerangkan secara lengkap dan jelas serta cermat akan segala sesuatu yang berkenaan dengan kata atau konsep yang didefinisikan. Contoh:

air adalah persenyawaan hidrogen dan oksigen, terdapat di mana-mana, dan dapat berwujud: (1). Gas, seperti uap air; (2). Cairan, seperti air yang sehari-hari dijumpai; (3). Padat, seperti es dan salju. Air merupakan zat pelarut yang baik sekali dan paling muarh, terdapat di alam dalam keadaan tidak murni. Air murni berupa cairan yang tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna. Pada suhu 4 derajat celcius air mencapai maksimum berat jenis; dan 1 cm3 beratnya 1 gram. Didinginkan sampai nol derajat celcius atau 32 derajat farenheit, air berubah menjadi es yang lebih ringan daripada air. Air mengembang sewaktu membeku. Bila dipanaskan sampai titik didih (100 derajat celcius atau 212 derajat fahrenheit), air berubah menjadi uap. Air murni bukanlah konduktor yang baik. Dia merupakan persenyawaan dua atom hydrogen dan satu atom oksigen; rumus kimianya H2O. Kira-kira 70% dari permukaan bumi tertutup air. Manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan memerlukan air untuk hidup. Tenaga air mempunyai arti ekonomi yang besar.

5. Definisi Batasan/ Definisi Operasional

Jenis definisi lain banyak dibuat dan digunakan orang adalah definisi yang sifatnya membatasi (di sini kita sebut juga definisi batasan). Definisi ini dibuat orang untuk membatasi konsep-konsep yang akan dikemukakan dalam suatu tulisan atau pembicaraan. Oleh karena itu, sering juga disebut definisi operasional. Definisi ini hanya digunakan untuk keperluan tertentu, terbatas pada suatu topik pembicaraan, umpamanya:

Yang dimaksud dengan air dalam tulisan ini adalah zat cair yang merupakan kebutuhan hidup manusia sehari-hari, seperti untuk makan, untuk minum, mandi, dan cuci.

Yang dimaksud dengan air dalam pembahasan ini adalah segala zat cair yang terdapat di dalam tumbuh-tumbuhan, baik yang ada di dalam batang (seperti air tebu), maupun yang ada di dalam buah.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Yakarta: Rineka Cipta

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Verhaar, J. W. M. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: UGM Press

PROBLEMATIK BAHASA INDONESIA: Analisis Makro Penggunaan Bahasa dalam Media Massa

PROBLEMATIK BAHASA INDONESIA: Analisis Makro Penggunaan Bahasa dalam Media Massa

oleh DHEKA DWI AGUSTI N.

1. Klasifikasi

Kalimat Puisi Jeritan Hati Guru Bantu dan Petani Sukabumi ‘Menjerit’ yang keduanya digunakan sebagai judul pemberitaan dalam Koran Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007, menunjukkan adanya sebuah klasifikasi. Klasifikasi kedua judul tersebut ditunjukkan dengan adanya kata “menjerit” yang digunakan sebagai metafor untuk menggambarkan kondisi dan keadaan para guru bantu serta para petani di Sukabumi. Penggunaan kata “menjerit” yang telah membuat suatu klasifikasi antara nasib guru bantu dan petani di Sukabumi dengan sebuah jeritan, tentunya sebagai lambang rasa sakit dan penderitaan yang mereka rasakan, dengan harapan agar para pembaca tahu kondisi mereka saat ini yang tengah “menjerit-jerit” kesakitan itu. Sakitnya para guru bantu yang dibelit banyak kebutuhan hidup dan harapan untuk menjadi PNS yang tak kunjung terlaksana, serta sakitnya para petani yang harus menjual gabah yang telah ditanamnya dengan keringat yang mengalir harus dijual dengan harga murah.

2. Pembatasan Pandangan

Kalimat Jangan Dekati Sation Siliwangi yang digunakan sebagai judul pemberitaan dalam Koran Galamedia, Selasa 10 April 2007, telah membatasi pandangan pembaca mengenai apa yang akan terjadi di stadion Siliwangi. Sebuah pertandingan sepak bola partai hukuman akan diselenggarakan di sana, antara Persib dengan PSSB Bireun. Intinya, panitia pelaksana ingin tempat digelarnya pertandingan tersebut steril dari “bobotoh” dan orang-orang tidak berkepentingan, alias tanpa penonton. Untuk itu penulis menggunakan kalimat perintah dengan kata jangan dekati agar siapapun yang membacanya dapat mengerti untuk tidak datang ke stadion Siliwangi.

3. Pertarungan Wacana atau Isu

Pertarungan isu kerap dilakukan media dalam membentuk opini publik, seperti halnya pemberitaan mengenai kasus yang terjadi di IPDN. Pola Pembinaan di IPDN Tetap Dipertahankan sebagai judul dalam pemberitaan yang dimuat dalam Koran Pikiran Rakyat, Sabtu 7 April 2007, telah berani meng’amin’i pola pembinaan yang saat ini tengah marak-maraknya dikecam oleh public agar tetap ada. Bahkan dalam paragraph pertama dalam pemberitaannya, dikemukakan bahwa pola pengasuhan dalam pendidikan di lembaga pencetak para birokrat itu masih tetap dibutuhkan. Tidak tanggung-tanggung hal ini ditegaskan ulang dalam paragraph 7, 8, dan 10, dengan alasan bahwa calon birokrat harus memiliki tingkat displin yang tinggi dan berwawasan nusantara serta belum adanya teori baru yang tepat untuk menggantikan pengacuan pada pola pengasuhan dalam membentu nation and character building sebagai inti pola pengasuhan tersebut. Sebuah insert yang mencengangkan yang terdapat dalam pemberitaan ini adalah kalimat penjelas gambar, REKTOR IPDN I Nyoman Sumaryadi (kanan) memperagakan cara memukul untuk mengukur kekuatan otot perut menurut pola yang sudah baku, saat menjawab pertanyaan seputar kasus penganiayaan Cliff Muntu di Aula Rektorat IPDN Jatinangor Kab. Sumedang, Kamis (5/4).

Dalam pemberitaan serupa yang juga dimuat dalam Koran Pikiran Rakyat, Sabtu 7 April 2007 dengan judul Sistem Militer tak Cocok untuk Sipil mengusung pandangan lain yang seyogiyanya dapat mewakili aspirasi publik mengenai pola pengasuhan dan pembinaan yang berlaku di IPDN yang telah memakan banyak korban. Pada paragraph pertama pemberitaan diungkapkan bahwa sistem pengasuhan harus diubah. Hal ini menjadi paradoks bagi pemberitaan di atas yang justru menginginkan pola pengasuhan tetap ada. Pemberitaan ini memberikan solusi yang berbeda dari pemberitaan di atasnya, yaitu dengan penghapusan pola pembinaan dan pengasuhan, karena akan melanggengkan tradisi kekerasan senior terhadap junior, seperti yang diungkapkan dalam paragraf kedua. Insert yang berbeda dibubuhkan juga dalam pemberitaan ini. Meskipun sama-sama mengekspos tindakan pemukulan, tetapi pemukulan yang ini berbeda dengan pemukulan yang dimaksudkan untuk melatih kekuatan otot perut. Pukulan-pukulan ini justru menjadi bukti nyata bahwa kekerasan dan penganiayaan masih terjadi dan dilakukan para senior dalam singgasana kesenioritasannya kepada para parka junior. Kalimat penjelas gambar adalah sebagai berikut: FOTO dokumentasi memperlihatkan bentuk kekerasan di IPDN. Para praja junior dipukul dengan mata tertutup agar identitas senior yang memukul mereka, tak diketahui.

Pertarungan isu pun semakin sengit ketika Inu Kencana, seorang dosen IPDN berani membongkar kematian misteriun para mahasiswanya, seperti yang diberitakan dalam Koran Galamedia, Selasa 10 April 2007 dengan judul Inu Bongkar Kematian Misterius di IPDN. Kata “bongkar” bermakna bahwa kasus-kasus penyiksaan yang telah menelan banyak korban jiwa memang benar adanya, dan dapat dikemukakan fakta-faktanya. Itu artinya pemberitaan ini senada dengan pemberitaan Sistem Militer tak Cocok untuk Sipil di atas. Namun, dalam pemberitaan ini lebih lanjut dapat diketahui bahwa Inu Kencana, si Pembongkar Fakta justru diberi sanksi bersama rekannya Handi Asikin karena dianggap telah mengungkapkan kebenaran dengan cara-cara yang tidak benar, dan tidak mengikuti aturan main serta etika yang berlaku, sebuah eufimisme yang terdapat dalam paragraf 10 sebagai tuturan SBY. Hal ini yang kemudian membiaskan lagi, apakah sistem dan pola pembinaan itu harus dilenyapkan atau akan dipertahankan, ketidaktegasan sikap justru ada dalam pemberitaan ini.

4. Objektivasi dan Abstraksi

Sebuah judul pemberitaan yang objektif mengenai pemutusan hubungan listrik, dimuat dalam Koran Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007, yaitu Tiga Ribu Pelanggan Terancam Diputus. Objektivasi selanjutnya terdapat dalam isi berita yang memuat persentase pasti mengenai jumlah pelanggan sebesar 72 ribu dengan 17 ribu diantaranya rata-rata menunggak pembayaran listrik setiap bulannya. Objektivasi ini perlu dilakukan agar pemberitaan jelas, tidak kabur dan terkesan mengada-ada serta membesar-besarkan.

Kebalikan objektivasi adalah abstraksi, di mana hal yang diungkapkan bersifat abstrak dan tidak jelas jumlah nilainya serta belum objektif. Sebuah judul dalam Koran Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007, yaitu Produksi Ikan Masih Rendah. Judul tersebut mengabstraksi nilai atau tingkat produksi ikan. Meskipun disebutkan rendah, tetapi kerendahan tersebut masih bersifat nisbi tanpa ukuran yang tepat. Namun, dalam isi pemberitaan objektivasi tetap dilakukan denga menuliskan jumlah dan persentasenya.

5. Identifikasi

Identifikasi mutlak diperlukan dalam sebuah pemberitaan, agar berita yang disampaikan jelas dan akurat. Contoh identifikasi dalam sebuah pemberitaan misalnya dalam Lelaki Muda Terpotong-potong yang dimuat dalam Koran Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007. Kalimat Warga Kampung Cimengger, Desa Bojongmengger, Kecamatan Cijeungjing gempar menyusul ditemukannya sesosok mayat dalam kondisi terpotong-potong di pinggir rel KA Ciamis-Banjar, Jumat (6/4) pagi. Kalimat tersebut memuat identifikasi mengenai tempat kejadian. Kalimat kedua juga berisi identifikasi, tepatnya identifikasi subjek. Belakngan diketahui korban bernama Olih Solihin, berusia 29 tahun, warga Kecamatan Baregbeg. Dan, kalimat selanjutnya mengideintifikasi keadaan. “Dari kondisi potongan tubuh, diduga korban bunuh diri dengan cara tidur di r el kemudian tergilas oleh rangkaian KA yang lewat,” ujar petugas identifikasi kepolisian.

6. Asosiasi dan Disasosiasi

Bagai Petir di Siang Hari, kalimat yang dapat mengasosiasikan rasa kaget dan tak percaya menjadi sebuah judul dalam Koran Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007. Judul tersebut mengasosiasi keadaan Ny. Wawat yang dalam isi berita diungkapkan berkali-kali pingsan setelah mengetahui anaknya, Opi yang berusia 15 tahun tewas. Bagai petir di siang hari, Ny. Wawat belum bisa mempercayai kejadian ini.

Judul lain yang terdapat dalam Galamedia, Selasa 10 April 2007, justru berkebalikan dengan asosiasi. Sebuah judul langsung, tanpa berasosiasi, Lihat istri Gantung Diri Suami Benturkan Kepala, mengungkapkan rasa dan kondisi yang terjadi secara langsung. Yaitu ketika Dodi Sudrajat berusaha bunuh diri dengan cara membentur-benturkan kepalanya ke bebatuan di Curug Cihampelas setelah melihat istrinya sudah tergantung tak bernyawa.

7. Diferensiasi dan Indiferensiasi

Pasaran Cabai Turun Sayuran Melonjak, sebuah judul dalam Galamedia, Selasa 10 April 2007 yang menunjukkan diferensiasi. Yaitu perbedaan antara harga berbagai jenis cabai yang relatif sedang turun dengan harga beberapa jenis sayuran yang justru mengalami kenaikan.

Dalam Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007, pemberitaan yang berjudul Bupati Bernyanyi, Isteri Berjoget, mempelihatkan adanya sebuah indiferensiasi. Meskipun terdapat perbedaan kata kerja yaitu bernyani dan berjoget, tetapi keduanya sama-sama merujuk pada sebuah makna yaitu menghibur. Bupati Kabupaten Cianjur, Tjetjep Muchtar Soleh didampingi istrinya Hj. Y. Rosdiana, berdendang bersama dalam sebuah acara lokakarya.

Sumber Data:   Pikiran Rakyat, Sabtu 7 April 2007

Tribun Jabar, Sabtu 7 April 2007

Galamedia, Selasa 10 April 2007

Dialektologi Sunda Banten

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya setiap bahasa yang digunakan didunia ini memiliki variasi atau diferensiasi. Sebuah variasi dapat berwujud perbedaan ujaran seseorang dari waktu ke waktu maupun perbedaan yang terdapat dari suatu tempat ke tempat lain. Variasi-variasi tersebut akan memperlihatkan pola-pola tertentu yang disebabkan adanya pengaruh-pengaruh dari pola social ataupun yang disebabkan kedaerahan atau geografis. Variasi bahasa salah satunya.

Istilah dialek berasal dari kata Yunani dialeksis pada mulanya dipergunakan di Yunani dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani terdapat perbedaan-perbedaan kecil di dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendukung-pendukungnya masing-masing. Tetapi sedemikian jauh hal tersebut tidak sampai menyebabkan mereka mempunyai bahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak mencegah mereka untuk secara keseluruhan merasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu, cirri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan (Meillet dalam ayat Rohendi, 1983:1-2).

Pengertian dialek menurut Weijnen dkk (dalam Ayat Rohaedi 1983:1) jika disimpulkan adalam sistim kebahasaan yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan walaupun erat hubungannya.

Menurut Meillet (dalam Ayat Rohaedi, 1983:2) dialek memiliki dua ciri yaitu: 1) dialek adalah seperangkat ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, 2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa.

Indonesia merupakan negara yang terdiri berbagai suku bangsa. Suku sunda termasuk didalamnya. Bahasa yang digunakan oleh suku sunda disebut bahasa sunda. Menurut Satjadibrata (1960) bahasa sunda mempunyai sembilan buah dialekyaitu dialek Bandung, Banten, Cianjur, Purwakarta, Cirebon, Kuningan, Sumedang, Garut, dan Ciamis. Dari kesembilan dialek tersebut yang dijadikan bahasa sunda lulugu adalah dialek Bandung yanr sering digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah.

Dari kesembilan dialek tersebut mempunyai perbedaan dan persamaan yang dipengaruhi faktor geografis. Biasanya kecenderungan yang ada, apabila daerahnya berdekatan dialek yang digunakan relative sama. Namun pada prinsipnya setiap dialek mempunyai ciri khas masing-masing. Karena setiap bahasa yang mempunyai dialek, dialek tersebut digunakan untuk membedakannyadengan kelompok masyarakat yang lain.

Pada penelitian ini yang menjadi daerah penelitian adalah Kecamatan Padarincang yang terdiri dari 3 desa diantaranya yaitu Desa Padarincang, Desa Citasuk, dan Desa Ciomas. Alasan pemilihan Kecamatan Padarincang karena di Kecamatan ini hamper seluruh masyarakatnya mempunyai dua bahasa yaitu bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Berdasarkan hal itu pemupu ingin mengetahui sejauh mana perbedaan dan persamaan bahasa sunda yang digunakan di Kecamatan Padarincang dibandingkan dengan bahasa Jawa. Karena secara teori makin jauh tempat yang satu dengan tempat yang lain maka akan terdapat perbedaan yang disebabkan oleh faktor geografis dan faktor politik.


1.2 Masalah

1.2.1 Identifikasi Masalah

Telah peneliti kemukakan bahwa penggunaan bahasa sunda pada saat ini telah mengalami kegeseran. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa dialek bahasa Sunda diseluruh provinsi Banten. Di dasari oleh hal tersebut, peneliti merasa perlu diadakannya sebuah penelitian mengenai penggunaan bahasa Sunda dan Jawa dimasyarakat menurut daerah penggunannya. Daerah yang dijadikan sebagai tempat dalam penelitian ini adalah kecamatan Padarincang yang terdiri dari 3 desa, yaitu desa padarincang, desa Citasuk, desa Ciomas yang berada di kabupaten Serang, alasannya daerah ini memiliki kekhasan tersendiri dalam hal penggunaan bahasa Sunda dan Jawa dalam masyarakat.

Masalah yang ingin dimunculkan oleh peneliti dalam penelitian adalah mendapatkan penggambaran/deskripsi tentang bahasa Sunda dan bahasa Jawa dialek Serang, sehingga bisa didapatkan peta kosakata penggunaan bahasa Sunda dan bahasa Jawa menurut dialek Serang.

1.2.2 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini yang menjadi batasan masalah adalah memperbandingkan kosakata dasar bahasa Indonesia menurut bahasa Sunda dan bahasa Jawa dialek Serang, kemudian ditentukan peta dan dialektometri dari segi kosa kata atau leksikon dialek Serang, di Kecamatan Padarincang yang meliputi tiga titik daerah pengamatan yaitu: Desa Padarincang, Desa Citasuk, dan Desa Ciomas.

1.2.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perbandingan pemetaan kekerabatan dari Desa Padarincang, Desa Citasuk, dan Desa Ciomas di kecamatan Padarincang?

2. Bagaimana bentuk-bentuk bahasa dari Desa Padarincang, Desa Citasuk, dan Desa Ciomas di kecamatan Padarincang?

3. Bagaimana bentuk pemetaan dialek bahasa sunda Desa Padarincang, Desa Citasuk, dan Desa Ciomas di kecamatan Padarincang?

4. Berapa ukuran statistik yang menunjukkan perbedaan dan persamaan dialek berdasarkan perhitungan menggunakan dialektometri?

1.3 Tujuan

  1. Untuk mendeskripsikan pemetaan bahasa dari Kecamatan Padarincang yang dijadikan daerah pengamatan.

  2. Untuk mendeskripsikan bentuk penggunaan bahasa dari setiap Kecamatan.

  3. Untuk mendeskripsikan pemetaan dialek bahasa Sunda dan Jawa di kecamatan Padarincang.

  4. Untuk mengetahui ukuran statistik yang menunjukkan perbedaan dan persamaan dialek berdasarkan perhitungan dengan menggunakan dialektometri.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah

  1. Untuk memperkaya khasanah penelitian dialektologi , khusunya dalm pengembangan dan pembinaan bahasa daerah yang ada di Indonesia.

  2. memberikan informasi tentang hasil penelitian yang berkaitan dengan deskripsi keadaan umum daerah penelitian, keadaan kosakata di daerah penelitian, variasi unsure-unsur bahasa Sunda yang digunakan di kecamatan Padarincang.

  3. memberikan informasi tentang peta unsur bahasa terutama unsur leksikal.

  4. hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi para peneliti lain yang ingin meneliti lebih mendalam tentang dialek bahasa Sunda dari aspek kebahasaan yang lain.

  5. Untuk pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia.

1.5 Anggapan Dasar

  1. Dialek di kecamatan Padarincang merupakan bagian bahasa Sunda.

  2. Dialek adalah sistem kebahasan atau variasi yang digunakan oleh sekelompok pemakai bahasa.

  3. Dialek disebut juga logat bahasa.

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Batasan Dialek

Istilah dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos pada mulanya dipergunakan disana dalam hubungannya dengan bahasanya. Di Yunani terdapat perbedaad-perbedaan kecil dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendukung masing-masing, tetapi sedemikian jauh hal tersebut tidak menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda (Meillet, 1967:69). Perbedaan tersebut tidak mencegah mereka untuk secara keseluruhanmerasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan, kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan (Meillet, 1967:69)

Ada dua ciri lain yang dimiliki dialek,yaitu (1) dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran yang berbeda dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua ujaran dari sebuah bahasa (Meillet, 1967:69).

2.2 Pembeda Dialek

Secara garis besar dialek dapat dibedakan menjadi lima macam, kelima macam perbedaan itu adalah:

1. Perbedaan fonetik (Guairaud, 1970:12). Perbadaan itu berada di bidang fonologi, dan biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.

2. Perbedaan semantic, yaitu terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya terjadi geseran makna.

3. Perbedaan onomasiologis yang menunjukan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda (guirad, 1970:16). Menghadiri kenduri misalnya , di beberapa daerah BS tertentu biasanya disebut ondangan, kondangan, dan kaondangan , sedangkan di tempat lain disebut nyambungan.

4. pebedaan semasiologis yang merupakan kebalikan dari perbedaan onomasiologis yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda (Guatid, 1970:18)

5. Perbedaan morfologis yang dibatasi oleh adanya system tata bahasa yang bersangkutan, frekuensi morfem-morfem yang berbeda, kegunaan yang berkerabat, wujud fonetisnya, daya rasanya, dan sejumlah faktor lainnya lagi (Guarid, 1970:18)

Setiap bahasa dipergunkan di suatu daerah tertentu, dan lambat laun terbentuklah anasir kebahasaan yang berbeda-beda pula, seperti dalam lafal, tata bahasa, dan tata arti, dan setiap ragam mempergunakan salah satu bentuk khusus(Ayat Rohaedi, 1983:3)

Pada tingkat dialek, perbedaan tersebut secara garis besar dibagi menjadi lima macam, namun pada penelitian dialektologi tinkat kecamatan hanya mengambil empat perbedaan dialek. Adapun empat pembeda dialek tersebut antara lain:

1. Perbedaan fonetis

Perbedaan ini berada di bidang fonologi, dan biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Adapun perbedan fonetik dalam penelitian dialektologi di empat kecamatan hanya memerlukan sedikit pembeda fonetik. Seperti tampak pada beberapa contoh di bawah ini:

Kamar [k a m a r] dengan kamer [k a m e r]

Bintang [bi n t a n g] dengan bentang [b e n t a n g]

Benih [b e n i h] dengan binih [b i n i h]

2. Perbedaan semantik

Perbedaan semantik yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya terjadi geseran makna kata itu. Geseran tersebut bertalian dengan dua corak yang menentukannya, yaitu:

2. 1 Pemberian nama yang berbeda pada tempat yang berbeda. Geseran corak ini pada umumnya dikenal dengan istilah sinonim, padanan kata, atau sama waktu.

2. 2 Pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda. Misalnya calingcing untuk ‘calincing’ dan ‘belembing’, dan meri untuk ‘itik’ dan ‘anak itik’. Geseran in dikenal sebagai homonimi.

3. Perbedaan morfologi

Perbedaan morfologis yang dibatasi oleh adanya system tata bahasa yang bersangkutan, oleh frekuensi morfem-morfem yang berbeda, oleh kegunaanya yang berkerabat, oleh wujud fonestisnya, daya rasanya, dan oleh sejumlah faktor lainnya (Guarid dalam Ayat rohaedi, 1983:5)

Semua hal tersebut menunjang pemahaman lahirnya suatu inovasi. Oleh karena itu, dalam inovasi bahasa, haruslah dibedakan adanya dua tahap yaitu penciptaan yang sifatnya perseorangan dan penerimaan dalam masyarakat bahasa yang merupakan suatu kenyataan sosial.

2.3 Isoglos, Heteroglos, atau Watas Kata

Perkembangan suatu bahasa atau dialek sangat tergantungkepada sejarah daerah yang bersangkutan (Guarid, 1970:19). Untuk menguji kebenaran anggapan tersebut, para ahli berhasil menemukan alat Bantu yang sangat penting artinya dalam usaha memperjelas persoalan ini. Alan Bantu ini disebut isoglos atau watas kata, yaitu garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau system kedua lingkungan yang berbeda, yang dinyatakan dalam peta bahasa (Dubois, 1973:270). Garis wasta kata itu kadang disebut heteroglos (kurath, 1972:24). Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran yang benar mengenai batas-batas dialek, harus dibuat watas kata yang merangkum segala segi kebahasaan (fonologi, semantik, leksikal, dan sintaksis).

2.4 Dialektometri

Dialektometri ialah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut.

Dialektometri untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh ahli ilmu bahasa E. Bagby Atwood pada tahun 1995, sedangkan istilahnya dialectomettrie diperkenalkan oleh Jean Seguy. Teori itu kemudian dikembangkan oleh Louis Remacle dan sekarang telah banyak diterapkan untuk penelitian geografi dialek di negara Perancis dan sekitarnya.

Anasir bahasa yang diperbandingkan antar tempat itu adalah anasir fonologi, morfologi, kosakata, sintaksis, morfosintaksis, dan morfonologi. Agar perhitungan lebih mudah dari setiap anasir disiapkan 100 buah peta. Dengan memperhitungkan jumlah bedanya masing-masing yang dikalikan dengan 100 lalu dibagi jumlah nyata peta yang dibandingkan, dengan rumus sederhana . maka diperoleh persentasi jarak antara dialek tersebut. Berdasarkan rumus tersebut maka perbedaan yang lebih dari 80 % dianggap perbedaan bahasa, 51 – 80 % dianggap perbedaan dialek, 31 – 50 % dianggap perbedaan subdialek, 21 – 30 % dianggap perbedaan wicara atau parler, sedangkan perbedaan yang kurang dari 20 % dianggap tidak ada perbedaan.

BAB 3

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Kota Serang hampir pasti menjadi kota otonom baru di daerah Propinsi Banten, karena DPR RI akan mengesahkan RUU tentang Kota Serang dalam sidang paripurna, pekan depan. Kabar ini disambut gembira berbagai kalangan di Serang karena penantian kota Serang menjadi kota otonom tersendiri sudah berlangsung lama.

Serang, adalah ibukota Provinsi Banten, Indonesia. Kabupaten Serang juga merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Banten. Ibukotanya adalah Serang. Kabupaten ini berada di ujung barat laut Pulau Jawa, berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Tangerang di timur, Kabupaten Lebak di selatan, serta Kota Cilegon di barat.

Sejarah

Banten Lama yang terletak di Teluk Banten dulunya merupakan pusat Kesultanan Banten. Kawasan ini merupakan tempat dimana kapal-kapal Belanda

mendarat untuk pertama kalinya di Indonesia.

Geografi

Sebagian besar wilayah Kabupaten Serang berupa dataran rendah, kecuali di perbatasan dengan Kabupaten Pandeglang terdapat rangkaian pegunungan, dengan puncaknya Gunung Karang (1.778 m).

Pembagian administratif

Kabupaten Serang terdiri atas 32 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Serang, yang terletak 10 km dari pantai Teluk Banten.

Saat ini tengah dibahas pemekaran Kabupaten Serang menjadi Kota Serang dan Kabupaten Serang. Kecamatan yang akan tercakup dalam Kota Serang adalah Kecamatan Kota Serang, Kecamatan Cipocok Jaya, Kecamatan Ciruas, Kecamatan Kasemen, Kecamatan Taktakan, Kecamatan Curug, dan Kecamatan Kramatwatu.

Transportasi

Serang dilintasi jalan negara lintas JakartaMerak, serta dilintasi pula jalur kereta api lintas Jakarta-Merak. Posisi kabupaten ini sangat strategis, karena berada di jalur utama penghubung lintas Jawa-Sumatera. Pelabuhan Merak merupakan titik penyeberangan antara pulau Jawa dan Sumatera

Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Serang 1.786.000 (2003), sebagian besar tinggal di bagian utara. Bahasa yang dituturkan adalah Bahasa Sunda yang digunakan oleh masyarakat di daerah selatan, serta Bahasa Jawa Dialek Banten, atau dikenal dengan Bahasa Jawa Serang yang kebanyakan digunakan di daerah pantai utara.

Hari jadi
Bupati Drs. H. Taufik Nuriman
Wilayah 1.734,095 km²
Kecamatan 32
Penduduk
-Kepadatan
1.669.119 jiwa (2001)
962,53/km²
Suku bangsa Sunda, Jawa Serang
Bahasa Indonesia, Sunda, Jawa Serang
Agama Mayoritas Islam
Zona waktu WIB
Kode 0254

Bahasa

Menurut sejarahnya, Dialek Banten mulai dituturkan di zaman Kesultanan Banten pada abad ke-16. Di zaman itu, bahasa Jawa yang diucapkan di Banten tiada bedanya dengan bahasa Jawa di Mataram. Namun, bahasa Jawa di Banten mulai terlihat bedanya, apa lagi daerah penuturannya dikelilingi daerah penuturan bahasa Sunda dan Betawi.

Dialek Banten atau Jawa Serang ini dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang dan daerah barat Kabupaten Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga banyak pengaruh bahasa Sunda dan Betawi.

Contoh :

  • Aja (dibaca aje) bribin! : Jangan membuat kisruh!

  • Sire arep mendhi? (sire itu kasar) : Kamu akan ke mana?

  • Mak lunga jeng Teh Toyah : Ibu pergi dengan Kak Toyah.

Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Dialek_Banten

Bahasa Jawa Serang adalah bahasa Jawa yang telah mengalami akulturasi dengan kebudayaan Sunda Banten. Sebagian besar bahasanya sama seperti bahasa Jawa aslinya namun kata-kata yang pada bahasa Jawa asli berakhiran ‘o’ pada bahasa Jawa Serang berakhiran ‘e’ (baca: seperti e pada kata “peti”) seperti akhiran pada bahasa Melayu/Malaysia. Misalnya kata “apa” yang dalam bahasa Jawa aslinya adalah “opo” menjadi “ape” pada bahasa Jawa Serang. Sebagian lagi merupakan bahasa Sunda Banten yang berbeda pula dengan Sunda Priangan.

Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Serang

Keadaan Geografis

1. Letak

Luas wilayah Kabupaten Serang 170.166 ha, terletak antara 5050I – 6021I Lintang Selatan dan 10507I – 106022I Bujur Timur dengan batas-batasnya :

  • Sebelah Utara dibatasi oleh Laut Jawa

  • Sebelah Timur dibatasi oleh Kabupaten Tanggerang

  • Sebelah Barat dibatasi oleh Kota Cilegon dan Selat Sunda

  • Sebelah Selatan dibatasi oleh Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang

Secara administrasi Kabupaten Serang terbagi atas :

  • 32 Wilayah Kecamatan

  • 2  Perwakilan Kecamatan

  • 349 Desa dan 20 Kelurahan

2. Ketinggian Tempat

Berdasarkan peta ( peta ketinggian ) wilayah kabupaten Serang dapat dikelompokan menjadi 6 kelompok yaitu :

  1. Ketinggian 0 – 3 m dpl  : 16.867 ha

  2. Ketinggian 3 – 25 m dpl  : 57.679 ha

  3. Ketinggian 25 – 100 m dpl  : 60.073 ha

  4. Ketinggian 100 – 500 m dpl  : 33.781 ha

  5. Ketinggian 500 – 1000 m dpl  :   2.390 ha

  6. Ketinggian lebih dari 1000 m dpl :      590 ha

Ketinggian tempat tersebut apabila diklasifikasikan berdasarkan strata wilayah pembangunannya adalah seperti pada tabel 2 berikut :

Ketinggian tempat berdasarkan wilayah pembangunan

No. WP 0 – 3 3 – 25 25 – 100 100 – 500 500 – 1000 >1000

1.

2.

3.

4.

5.

Barat

Selatan

Timur

Utara

Tengah

427

14.000

2.43

4.812

2.320

30.311

14.249

5.987

3.713

23.896

22.142

1.350

8.972

3.720

27.391

80

2590

310

1.750

330

590

*

*

*

*

*

Serang Barat

Serang Selatan

Serang Timur

Serang Utara

Serang Tengah

      • Bojonegara, Anyer
      • Ciomas, Cinangka, Padarincang, Pabuaran, Waringin kurung, Mancak

      • Cikande, Cikeusal, Curug, Petir, Pamarayan, Kopo, Jawilan, Kragilan, Walantaka

      • Kasemen, Pontang, Carenang, Tirtayasa

      • Serang, Cipocok Jaya, Taktakan, Karamatwatu. Ciruas

Keterangan : Satuan Ha

Sedangkan kedalaman efektif tanahnya adalah :

*

*

*

30 cm

30 – 60 cm

60 – 90 cm

    • 4.175 ha

    • 6.345 ha

    • 8.383 ha

    1. Jenis Tanah

Jenis tanah di kabupaten Serang secara kelompok besar terdiri dari 5 jenis yaitu : Alluvial, Regosol, Latosol, Glei dan Podsolik. Sedangkan spesifikasi dan sebarannya adalah sebagai berikut :

  1. Alluvial kelabu tua dari bahan endapan liat di daerah aliran sungai terdapat di Kecamatan Pamarayan dan Kragilan.

  2. Aluvial kelabu tua di daerah datar terdapat di Kecamatan Pontang, Kasemen, Kramatwatu dan Bojonegara.

  3. Regosol kelabu kuning dan abu vulkanis masam terdapat di Kecamatan Mancak, Waringinkurung, Taktakan dan Cinangka

  4. Latosol merah kuning dari tuff vulkan masam terdapat di Kecamatan Cinangka.

  5. Assosiasi Glei humus dan Alluvial intermedier terdapat di Kacamatan Ciomas, Baros dan Pabuaran

  6. Latosol coklat dan tuff  vulkan intermedier terdapat di Kecamatan Padarincang

  7. Podsolik merah kuning tuff vulkan masam terdapat di Kecamatan Cikeusal, Petir, Curug dan Taktakan.

  8. Assosiasi Podsolik kuning dan Hidromorf kelabu dari bahan endapan terdapat di Kecamatan Serang, Cipocok Jaya, Ciruas, Walantaka, Kragilan, Cikande dan Pamarayan

  9. Assosiasi Hidromorf kelabu tua dari bahan liat danpasir terdapat di Kecamatan Ciruas, Kramatwatu dan Kasemen

  10. Assosiasi  Alluvial kelabu tua Glei Humus rendah terdiri dari bahan endapan liat di Kecamatan Tirtayasa, Ciruas, Kramatwatu dan Bojonegara.

Luas dan Sebaran Jenis Tanah di Kabupaten Serang

No. WP Alluvial Glei Latosol Regosol Podsolik

1.

2.

3.

4.

5.

Barat

Selatan

Timur

Utara

Tengah

2.075

525

10.432

21.624

3.980

700

8.068

3.900

7.775

4.387

7.984

28.044

3.400

725

2.200

17.617

1.000

3.175

1.600

33.801

200

9.032

38.636 24.848 40.163 23.992 44.633

Keterangan : Satuan ha

Produksi Pertanian yang menonjol di Kabupaten Serang adalah sebagai berikut:

  1. Padi

  2. Tanaman Jagung

  3. Tanaman Kacang Hijau

  4. Tanaman Kacang Kedelai

  5. Tanaman Kacang Tanah

Jumlah Produksi untuk padi sawah (Ha) adalah 495.818

Jumlah Produksi untuk tanaman Jagung (Ha) adalah 14.629

Jumlah Produksi tanaman Kacang Hijau (Ha) adalah 1.652

Jumlah Produksi tanaman Kacang Kedelai (Ha) adalah 47

Jumlah Produksi tanaman Kacang Tanah (Ha) adalah 32.162

Untuk tanaman Padi kecamatan yang memproduksi adalah Kecamatan Kasemen

Untuk tanaman Jagung yang memproduksi adalah Kecamatan Cikeusal

Untuk tanaman Kacang Hijau yang memproduksi adalah kecamatan Bojonegara

Untuk tanaman Kacang Kedelai yang memproduksi adalah Kecamatan Baros

Untuk tanaman Kacang Tanah yang memproduksi adalah Kecamatan Bojonegara

VISI DAN MISI DINAS PERTANIAAN KABUPATEN SERANG

Program Pembangunan Daerah Tahun 2002 – 2006 Kabupaten Serang

Arah Kebijakan Pembangunan Kabupaten Serang 2002 – 2006 Aspek Ekonomi diharapkan dapat meningkatkan daya beli dan pendapatan masyarakat dan Steakholder lainnya melalui pemenuhan kebutuhan dasar/pokok dan pengembangan sektor – sektor potensial lainnya terutama pertaniaan yang berdasarkan keunggulan komperatif dan keunggulan kopetitif sesuai dengan kompetisi dan produk unggulan daerah.

Deskripsi Kondisi yang Diharapkan.

  1. Meningkatkan Pendapatan dan daya beli masyarakat, khususnya melalui pengembangan usaha du bidang jasa dan perdagangan, pariwisata, industri, agrobindustri, agribisnis dan arti luas (pangan, Holtikultura, Peternakan, Kehutanan dan Kelautan).

  2. Meningkatkan Produksi Sektor Pertanian (Pangan, Hortikultura, Peternakan, Perkebunan, Perikanan untuk memenuhi kebutuhan dasar/pokok dan menjamin ketahanan pangan, sandang dan papan masyarakat yang berorientasi pada permintaan pasar.

Visi Dinas Pertanian Kabupaten Serang

Terwujudnya Pembangunan Pertaniaan yang Berorientasi Agribisnis dengan memperkuat ketahanan pangan tahun 2006.

Program Dinas Pertanian Kabupaten Serang

  1. Peningkatan Produksi pertanian untuk tanaman pangan, peternakan, perkebunan dan kehutanan untuk menunjang swasembada pangan keanekaragaman pangan dan ketahanan pangan.

  2. Intensifikasi diversifikasi dan rehabilitasi pertaniaan untuk tanaman pangan peternakanperkebunan dan kehutanan.

  3. Pengembangan agribisnis dan agroindustri untuk usaha pertaniaan tanaman pangan peternakan, perkebunan dan kehutanan dalam meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani.

  4. Penguatan pemasaran produk pertaniaan.

  5. Penguatan lembaga pertaniaan

  6. Penguatan sarana dan prasarana pertaniaan.

  7. Mengembankan model pertaniaan terpadu

  8. Pelestariaan fungsi hutan, sumberdaya alam dan fungsi lingkungan serta memelihara dan melindungi mata air.

Tujuan

  1. Meningkatkan Produktivitas komoditas-komoditas unggulan yang diminati pasar.

  2. Meningkatkan sumberdaya manusia petani dan sumberdaya manusia aparatur.

  3. Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal sehingga mempunyai kontribusi perekonomian daerah.

  4. Mengembangkan sistem ketahan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan.

  5. Menarik investor di bidang pertaniaan untuk menjalin kemitraan dengan petani.


Permasalahan Sektor Pertanian

  1. Rendahnya Produktivitas Komoditas-komoditas pertanian

  2. Banyaknya lahan yang tidak dipergunakan secara optimal.

  3. Lemahnya tata niaga (posisi tawar menawar petani rendah).

  4. Rendahnya tingkat pendapatan petani.

  5. Lemahnya modal untuk usaha agribisnis.

BAB 4

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

Sudaryanto dalam Mahsun (1995:93) mengemukakan bahwa dalam penelitian di samping ada istilah metode ada juga istilah teknik, yaitu kedua-keduanya berarti “cara” dalam suatu upaya. Lebih lanjut menurutnya metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode.

4.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskritif komparatif. Menurut Sudaryanto (1988:62) istilah deskritif menyarankan bahwa penelitian itu dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau fenomena secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihadsilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang sifatnya potret atau paparan seperti apa adanya. Sedangkan istilah komparatif menyarankan kepada cara kerjanya yang membandingkan data satu dengan yang lain (Sudaryanto, 1988:63)

Metode penelitian deskriftif komparatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk membandingkan kemiripan bentuk, kesamaan dialek, dan perbadaan dialek di kecamatan Padarincang melalui pengkajian perkembangannya lewat tataran fonologi.

Dengan menggunakan metode deskritif komparatif, peneliti bisa melakukan pengambilan data yang mendasar di lapangan secara sistematis, factual, dan akurat.

4.2 Sumber Data dan Prosedur Penentuan Sampel

4.2.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah seluruh kosakata swadesh, kosa kata budaya dasarmenurut bidang bagian tubuh, kosa kata budaya dasar menurut bidang kata ganti, kosa kata budaya dasar menurut bidang kehidupan desa dan masyarakat,kosa kata budaya dasar menurut bagian rumah dan bagian-bagiannya, kosa kata budaya dasar menurut bidang peralatan dan perlengkapan.

4.2.2 Prosedur Penentuan Sampel

Populasi penelitian ini adalah penutur bahasa sunda di kecamatan Padarincang. Dari populasi ini diambil sample penutur bahasa Sunda dan Jawa di Kecamatan Padarincang.

4.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam melaksanakan penelitian ini, teknik penelitian yang digunakan adalah teknik simak, libat, dan cakap.

Pemupu menggunakan teknik simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan cara menyimsk penggunssn bahasa dari pembahan. Teknik simak ini dilanjuti dengan teknik lanjutan berupa teknik libat dan teknik cakap.

Penggunaan teknik libat dimaksudkan bahwa pemupu terjun langsung atau terlibat langsung dengan pembahan dalam mengumpulkan data, sedangkan teknik cakap dimaksudkan cara yang ditempuh dalam mengumpulkan data itu berupa percakapan antara pemupu dan pembahan.

BAB 5

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 11-12 Mei 2007. bertempat di kabupaten Serang, kecamatan Padarincang, yang meliputi 3 daerah penelitian yaitu, Desa Citasuk, Padarincang, dan Desa Ciomas. Dari 843 kosakata swadesh yang kami gunakan diperoleh 603 kosakata yang berbeda di masing-masing desa yang kami teliti. Yang pada akhirnya dipergunakan untuk mengetahui perbedaan secara statistik melalui metode dialektometri sehingga diperoleh hasil sebagai berikut ;

Diketahui ;

S­ = 603

n = 843

Ditanyakan ;

d = …?

J

d = (S x 100)/n = (603 x 100)= 71,53

awab ;

Berdasarkan perhitungan di atas, maka diperoleh ukuran statistik sebesar 71, 53 % dimana persentasi di daerah penelitian tersebut terdapat perbedaan dialek.

DAFTAR KATA PEMBEDA

KECAMATAN PADARINCANG

NO

KOSAKATA DASAR SWADESH

DESA
PADA RINCANG

CIOMAS

CITASUK

JAWA

BANTEN

SUNDA BANTEN

1.

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

30

31

32

33

34

35

36

37

38

39

40

41

42

43

44

45

46

47

48

49

50

51

52

53

54

55

56

57

58

59

60

61

62

63

64

65

66

67

68

69

70

71

72

73

74

75

76

77

78

79

80

81

82

83

84

85

86

87

88

89

90

91

92

93

94

95

96

97

98

99

100

101

102

103

104

105

106

107

108

109

110

111

112

113

114

115

116

117

118

119

120

121

122

123

124

125

126

127

128

129

130

131

132

133

134

135

136

137

138

139

140

141

142

143

144

145

146

147

148

149

150

151

152

153

154

155

156

157

158

159

160

161

162

163

164

165

166

167

168

169

170

171

172

173

174

175

176

177

178

179

180

181

182

183

184

185

186

187

188

189

190

191

192

193

194

195

196

197

198

199

200

201

202

203

204

205

206

207

208

209

210

211

213

214

215

216

217

218

219

220

221

222

223

224

225

226

227

228

229

230

231

232

234

235

236

237

238

239

240

241

242

243

244

245

246

247

248

249

250

251

252

253

254

255

256

257

258

259

260

261

262

263

264

265

266

267

268

269

270

271

272

273

274

275

276

277

278

279

280

281

282

283

284

285

286

287

288

289

290

291

292

293

294

295

296

297

298

299

300

301

302

303

304

305

306

307

308

309

310

311

312

313

314

315

316

317

318

319

320

321

322

323

324

325

326

327

328

329

330

331

332

333

335

336

337

338

339

340

341

342

343

344

345

346

347

348

349

350

351

352

353

354

355

357

358

359

360

361

362

363

364

365

366

367

368

369

370

371

372

373

374

375

376

377

378

379

380

381

382

383

384

385

386

387

388

389

400

401

402

403

404

405

406

407

408

409

410

411

412

413

414

415

416

417

418

419

420

421

422

423

424

425

426

427

428

429

430

431

432

433

434

435

436

437

438

439

440

441

442

443

444

445

446

447

448

449

450

451

452

453

454

455

456

457

458

459

460

461

462

463

464

465

466

467

468

469

470

471

472

473

474

475

476

477

478

479

480

481

482

483

484

485

486

487

488

489

490

491

492

493

494

495

496

497

498

499

500

501

502

503

504

505

506

507

508

509

510

511

512

513

514

515

516

517

518

519

520

521

522

523

524

525

526

527

528

529

530

531

532

533

534

535

536

537

538

539

540

541

542

543

544

545

546

547

548

549

550

551

552

553

554

555

556

557

558

559

560

561

562

563

564

565

566

567

568

569

570

571

572

573

574

575

576

577

578

579

580

581

582

583

584

585

586

587

588

589

590

591

592

593

594

595

596

597

598

599

600

601

602

603

604

605

606

607

608

609

610

611

612

613

614

615

616

617

618

619

620

621

622

623

624

626

627

628

629

630

631

632

633

634

635

636

637

638

639

640

641

642

643

644

645

646

647

648

649

650

651

652

653

654

655

656

657

658

659

660

661

662

663

664

665

666

667

668

669

670

671

672

673

674

675

676

677

678

679

680

681

682

683

684

685

686

687

688

689

690

691

692

693

694

695

696

697

698

699

700

701

702

703

704

705

706

707

708

709

710

711

712

713

714

715

716

717

718

719

720

721

722

723

724

725

726

727

728

729

730

731

732

733

734

735

736

737

738

739

740

741

742

743

744

745

746

747

748

749

750

751

752

753

754

755

756

757

758

759

760

761

762

763

764

765

766

767

768

769

770

771

772

773

774

775

776

777

778

779

780

781

782

783

784

785

786

787

788

789

790

791

792

794

795

796

797

798

799

800

801

802

803

804

805

806

807

808

809

810

811

812

813

814

815

816

817

818

819

820

821

822

823

824

825

826

827

828

829

830

831

832

833

834

835

836

837

838

839

840

841

842

843

Bagian tubuh:

Alis

Bahu

Betis

Bibir

Bulu Dada

Bulu ketiak

Bulu kuduk

Bulu roma

Dada

Daging

Dagu

Dahi

Darah

Geraham

Gigi

Gigi seri

Gigi yangtumbuh bertumpuk

Gigi yang menonjol keluar

Gusi

Hati

Hidung

Ibu jari

Isi tulang

Jantung

Janggut

Jari

Jari manis

Jari tengah

Kaki

Kelingking

Kemaluan laki-laki

Kemaluan perempuan

Kepala

Kerongkongan

Kuku

Kulit

Kumis

Kutu

Leher

Lemak

Lengan

Lidah

Ludah

Lutut

Mata

Mata kaki

Mata susu

Muka

Mulut

Ompong

Otak

Paha

Pantat

Paru-paru

Pelipis

Pelupuk mata

Pergelangan tangan

Perut

Pinggang

Pinggul

Pundak

Punggung

Pusar

Rambut

Rusuk

Siku

Susu

Tangan

Telapak kaki

Telapak tangan

Telinga

Telunjuk

Tembuni

Tengkuk

Tubuh

Tulang kering

Tulang rahang

Tumit

Ubun-ubun

Urat

Usus

Tanda hitam pada kulilt sejak lahir

Kata ganti, sapaan, dan acuan:

Dia

Kami

Kamu

Kamu sekalian

Kita

Laki-laki

Nama

Panggilan untuk anak laki-laki- kecil

Panggilan untuk gadis kecil

Panggilan untuk gadis remaja

Panggilan untuk laki-laki remaja

Panggilan untuk laki-laki tua

Panggilan untuk perempuan tua

Perempuan

Saya

orang

Sistem kekerabatan

Adik

Adik dari istri

Adik dari suami

Adik laki-laki ayah/ibu

Adik perempuan ayah/ibu

Anak

Anak dari anak

Anak dari cucu

Anak dari saudara

Anak dari saudara ayah

Anak dari saudara ibu

Anak kandung

Anak tiri

Anak yang tertua

Anak yang termuda

Ayah

Ayah dari orang tua

Ibu dari orang tua

Istri

Istri adik laki-laki ayah

Istri adik laki-laki ibu

Istri kakak laki-laki ayah

Istri kakak laki-laki ibu

Istri dari saudara

Istri dari saudara orang tua

Kakak

Kakak laki-laki

Kakak perempuan

Kakak laki-laki dari ayah

Kakak laki-laki dari ibu

Kakak perempuan dari ayah

Kakak perempuan dari ibu

Kakak dari kakak

Nenek moyang

Orang tua dari suami

Orang tua dari istri

Orang tua suami/istri

Pasangan suami istri

Saudara laki-laki

Saudara perempuan

Saudara dari istri

Saudara dari suami

Suami adik perempuan ayah

Suami adik perempuan ibu

Suami dari saudara

Suami dari saudar orang tua

Suami dari istri saudara istri

Suami / istri saudara suami

Suami / istri dari anak

Suami kakak perempuan dari ayah

Suami kakak perempuan dari ibu

Kehidupan desa dan masyarakat:

Amil

Bekerja di tempat orang yang mengadakan pesta/ meninggal

Bertunangan

Dating ketempat kenduri

Datang memberi bantuan ketempat orang pesta/ meninggal

Dukun

Dukun sunat

Dukun bayi

Juru tulis

Kawin

Kawin lari

Kawin dengan cara wanita datang ke tempat penghulu

Kenduri

Kepala desa

Kepala kampung

Kerja bakti

Khatib

Khitanan

Lahir

Melahirkan

Mengandung

Menguburkan

Meninggal

Penghulu

Pemukul bedug

Upacara cuci perut orang hamil tujuh bulan

Upacara turun tanah

Upacara turun kesungai anak-anak yang telah di khitan

Upacara puput pusar

Rumah dan bagian-bagiannya:

Atap

Atap dari bambu

Bubungan

Dangau

Dapur

Dinding bambu

Dinding tembok

Genting

Halaman

Jendela

Kamar

Kandang

Kandang ayam

Kandang kambing

Kandang kerbau

Kandang kuda

Kandang merpati

Kasau

Kelenteng

Langit-langit

Lumbung

Pagar

Palang dada

Para-para

Pelimbahan

Pintu

Pusaka

Ruang depan yang terbuka

Ruang rumah yang paling belakang

Rumah

Rumah kecil ditengah sawah

Surau

Tangga

Tempat tungku

Tiang

Tungku

Peralatan dan perlengkapan:

Alat dari lontar untuk menyimpan ikan

Alat penumbuk padi mirip dengan perahu

Alat untuk membuat benang tenun

Alu

Bajak

Bakul

Bakul kecil

Balai-balai

Bambu untuk memasukan benag tenun

Bantal

Cangkul

Cobek

Dayung

Dingklik

Gabus/ kayu pada tali pancing

Galah

Gayung

Gelas

Gergaji

Jala besar

Jala kecil

Jarum

Kayu diatas pundak kerbau

Kayu panjang tempat memasukan bajak

Kayu penggulung benag tenun

Kayu untuk merapatkan benang tenun

Layer

Lesung

Nyiru

Panah

Pancing

Parang

Parut kelapa

Penumbuk

Perahu

Periuk

Pikulan

Piring

Pisau

Selimut

Sendok

Tali bajak

Tempat beras

Tempat nasi dari bambu

Tempayan

Tikar

Tongkat

Wajan

Makanan dan minuman:

Bubur

Cendol

Dendeng

Gulai

Jagung

Jeruk

Kacang

Kerak

Kerupuk

Ketupat

Kue

Kopi

Labu

Lemang

Madu

Makanan

Mangga

Minuman

Nangka

Nasi

Nasi basi

Nasi belum matang

Nenas

Sagu

Sambal

Sayur

Tapai ketan

Tapai singkong

Ubi

Tumbuh-tumbuhan, bagian, buah, dan hasil olahnya:

Akar

Alang-alang

Anak dahan

Aren, enau

Asam

Bambu

Batang

Bawang merah

Bawang putih

Benih

Beras

Beras kecil

Beringin

Biji

Buah

Bunga

Cabai

Cabang

Cereme

Dahan

Daun

Dedak

Getah

Ijuk

Jerami

Jambu batu

Jambu mente

Kayu

Kelapa

Ketan

Ketimun

Kulit kayu

Kunyit

Lada

Lengkuas

Mandalika

Minyak kelapa

Minyak tanah

Nasi yang tidak termakan menempel di bibir/ jatuh di lantai

Padi

Pandan

Paria

Papaya

Pinang

Pisang

Pohon

Ranting

Rebung

Rotan

Ruas

Rumput

Sabut

Santan

Setandan pisang

Sisir pisang

Tempurung

Terung

Ubi jalar

Ubi kayu

Binatang dan bagiannya

Anjing

Ayam

Ayam betina remaja

Ayam betina yang telah beranak

Ayam jantan dewasa

Babi

Bangkai (binatang)

Bankai (manusia)

Belalang

Binatang

Buaya

Bulu sayap

Burung

Cacing

Cecak

Ekor

Gagak

Ikan

Insang

Jalu

Kambing

Katak

Kelelawar

Kerbau

Kucing

Kunang-kunang

Kupu-kupu

Kura-kura

Laba-laba

Lalat

Lebah

Linta

Monyet

Nyamuk

Penyu

Rayap

Rusa

Sayap

Sapi

Semut

Sirip

Sisik

Tanduk

Taring

Telur

Tikus

Udang

Ular

Ulat

Waktu, musim, keadaan alam, dan arah:

Air

Air bak

Air laut

Air tawar

Api

Arang

Arus

Asap

Atas

Awan

Bara

Barat

Batu

Batu api

Bawah

Besi

Besok

Bintang seperti bajak

Bintang tanda keluar fajar

Bukit

Bulan

Bulan purnama

Bulan terbit

Darat

Datar

Debu

Di atas

Di bawah

Di samping

Di sana

Di sini

Dua hari mendatang

Dua hari yang lalu

Dusun

Emas

Embun

Empat hari mendatang

Empat hari yang lalu

Fajar

Garam

Gerhana

Gunung

Guntur

Hari

Hujan

Hutan

Ini

Itu

Jalan (lebar)

Jalan (sempit)

Jurang

Kabut

Kanan

Kemarin

Kilat

Ladang

Lahar

Langit

Laut

Lereng

Lima hari mendatang

Lima hari yang lalu

Malam

Mata air

Matahari

Mega (hitam)

Mega (putih)

Muara sungai

Musim hujan

Musim kemarau

Ombak

Padang

Pagi

Pagi sekali

Pantai

Pasir

Pelangi

Sawah

Sebentar

Sore

Sungai

Tanah

Tahun

Tebing

Tepian

Tiga hari mendatang

Tiga hari yang lalu

Timur

Utara

Gerak dan kerja:

Bangun dari duduk

Bangun dari tidur

Bekerja

Berak

Berbaring

Berbicara

Berbisik

Berenang

Bergerak

Berjalan

Berjongkong

Berkelahi (dengan tangan)

Berkelahi (dengan kata-kata)

Berkembang (pohon)

Berkembang (binatang)

Berlari

Berludah

Bermain

Bernafas

Berobah

Berobat

Bersiul

Bertanya

Bertemu

Bongkar

Cuci (pakaian)

Cuci (tangan)

Datang

Duduk

Duduk kaki di lipat (pria)

Duduk kaki di lipat (wanita)

Duduk kaki terjulur

Gantung

Ikut

Ingat

Jatuh (daun, buah, dan lain-lain)

Jatuh (orang)

Kembali

Kecing

Kentut

Lari-lari kecil

Makan (nasi)

Makan (selain nasi)

Marah

Melempar

Melihat

Melirik

Melotot

Memanah

Memasak (nasi)

Memasak (sayur)

Membakar (ikan)

Membakar (sampah)

Membanting (cucian)

Membawa

Membawa dengan ketiak

Membawa dengan punggung

Membawa dengan tangan (jinjing)

Membawa dengan tangan di atas

Membawa di bahu

Membawa di kepala

Membawa di pinggang

Membawa di pundak

Membersihkan

Memberi

Memberi tahu

Membuat dendeng

Memburu hewan (malam)

Memburu hewan (siang)

Membunuh

Memegang

Memejamkan mata

Memotong (ikan)

Memotong (kayu)

Memperoleh (sesuatu, hadiah, dan lain-lain)

Memutar (menggunakan tali)

Menakutkan

Menarik

Menarik (benda dengan hewan)

Mencari

Mencium (benda)

Mencium (perempuan)

Mendengar

Menebas pohon

Mengambil (daging sekerat)

Mengalir

Menganyam

Mengapung

Menggali

Menggaruk (kepala, kulit)

Menggenggam

Menggigit (manusia)

Menggigit (serangga)

Menggosok (kulit)

Menghitung

Menghidupkan (api)

Menggosok (gigi)

Mengikat

Mengikat (kayu)

Mengikat (kepala dengan kain)

Menginjak dengan dua kaki

Menginjak dengan satu kaki

Mengisap

Mengotorkan

Menguburkan

Mengulang

Mengusap

Menikam

Menikam dari atas

Menikam dari bawah

Menikam dari belakang

Menikam dari depan

Meniup

Meniru

Menjahit

Menjemur

Menyahut

Menyuruh

Menyusul

Merebus

Merumputi (tanaman)

Mimpi

Minum

Muntah

Petik

Pilih

Bintal (me- N)

Putar

Raba

Rangkul

Selam

Sentuh

Simpan

Tabur

Tambah

Tangis (me- N)

Telungkup

Terbang

Tertawa

Tidur

Tukar (Me-N)

Tunjuk

Turun

Tusuk

Urut

Usap

Perangai, sifat, dan warna.

Amis

Asam

Angkuh

Bagus

Banyak

Baru

Basah

Benar

Bengkak

Berani

Berat

Bersih

Besar

Biru

Bodoh

Boros

Botak

Bulat

Buta

Cantik

Cerdas

Coklat

Dekat

Dingin (air)

Dingin (cuaca)

Enak

Gelap

Gurih

Gemuk

Halus

Harum

Haus

Hijau

Jauh

Jernih

Kaya

Kecil

Kendur

Keras

Kering

Kikir

Kotor

Kosong

Kuat

Kurus

Lama

Licin

Luas

Lurus

Malu

Manis

Manjur

Marah

Merah

Miskin

Muda

Pahit

Panas

Panjang

Pendek

Pemarah

Perajuk

Putih

Rajin

Rakus

Rendah

Ringan

Sabar

Sakit

Sedikit

Sejuk

Sempit

Tahu

Tajam

Takut

Tampan

Tebal

Tengah

Terang

Terkejut

Terkenal

Tinggi (gunung)

Tinggi (orang)

Tipis

Tua

Tumpul

Ujung

Ungu

Usang

Penyakit

Batuk

Bekas luka

Bisu

Bisul

Borok

Buta

Congek

Demam

Gondok

Luka

Nanah

Obat

Panu

Pingsan

Pusing

Sembuh

Tuli

Pakaian dan perhiasan.

Anting-anting

Baju

Celana

Celana dalam

Celana panjang

Celana pendek

Cincin

Gelang

Kalung

Kebaya

Kopiyah

Kutang

Sabuk

Sarung

Subang

Bilangan dan ukuran

Delapan

Delapan belas

Dua

Dua belas

Dua puluh

Dua puluh lima

Empat

Empat belas

Enam

Enam belas

Lima belas

Lima puluh

Satu

Sebelas

Sedepa

Sehasta

Sejengkal

Sembilan

Sembilan belas

Sepuluh

Seratus

Seribu

Tiga

Tiga ratus

Ukuran padi dalam ikat kecil

Ukuran padi dua ikat kecil

Ukuran padi dua puluh lima ikat besar

Ukuran padi dua ratus lima puluh ikat besar

Ukuran padi empat ikat kecil

Satu ikat besar

Ukuran padi seratus ikat besar

Ukuran padi seribu ikat besar

Frase

Ayah saya

Baju dia

Batang kayu

Hidung kamu

Kaki Ali

Kambing paman

Kepala Amir

Membicarakan orang

Menjelekan teman

Rumah bibi

Rumah Paridi

Kalimat

Ali diberi uang oleh paman

Apa yang saudara beli?

Apakah anda pernah ke Jakarta?

Ayah memberikan saya uang sepuluh ribu rupiah.

Bagaimana cara membuat tapai?

Berapa harga madu satu botol?

Bilamana kamu pergi?

Di kampung tidak ada listrik

Dia dibelikan baju oleh ibunya

Dia akan membuat rumah baru

Dia tidak pernah datang kemari

Hari ini terlalu panas, mungkin

akan turun hujan

Hujan turun hingga sore

Ibu baru saja pulang dari Mataram

Ibu sedang makan

Kakak sudah datang dari Mataram

Kalau menolong orang jangan kepalang

Kambing itu hampir mati

Kapan kamu datang ke rumah saya?

Saya akan membeli baju baru nanti

Saya diberikan uang oleh ayah sepuluh ribu rupiah

Saya tidak jadi datang, kalau hari hujan

Saya melempar mangga

Siapa yang lebih dahulu datang saya beri uang

Paman memberi uang pada Ali

Halis

Tak-tak

Bitis

Lambe

Bulu dada

Bulu kélék

Bulu punduk

bulu

Dada

Daging

Janggut

Sirah saeutik

Geutih

careham

huntu

huntu

Sihung

Sinyom

Gugusi

Hate

Irung

Jempol

Sumsum

Jantung

Jenggot

Jari-jari

Curuk

Curuk

Sampean

cingir

Kontol

Momok

Mastaka

tikoro

kuku

kulit

kumis

Kuar

Beuheung

Lintuh

Panangan

Letah

Ciduh

Tuur

Soca/ panon

Kengkeongan

Pentil

Beungeut

Biwir

ompong

Polo

Pingping

Jubur

Paru-paru

Kelopak

Beuteung

Cangkeng

panggul

Tak-tak

Tonggong

Bujal/udal

Buuk

iga

Sikut

Nyusu

Panangan

Talapak suku

Talapakleungeun

Ceuli/cepil

Panuduh

………

Punduk

Awak

…….

. . . . .

kekeongan

Embun embunan

Urat

Usus

Tanda / tompel

Manehna

Abdi

Maneh

Sakabehna

Urang

Lalaki

Ngaran

ujang

neng

Geulis

Kasep

Abah/mama

Ibu

Bikang/awewe

Urang

Jelema

Adi

Adi beuteung

Adi beuteung

Ende lalaki

Ende awewe

Budak

Incu

Buyut

Kaponakan

. . . . .

. . . . .

anak kandung

Anak tere/ pribadi

Pangkolotna/ cikal

Bungsu

Bapa

Aki

Nene

Pamajikan

Ende

Adi beuteung

Ua

Ua

Ipar

. . . . .

Lanceuk

Aa

Teteh

Ua

Ua

Ua istri

Ua

Teteh/ ayah

Buyut / karuhun

Mitoha

Mitoha

besan

Salaki pamajikan

Aa

Teteh

Bibi

Bibi

Mamang

Mamang

Kakak

Ua

Kakak

Kakak

Minantu

Ua

Ua

Penghulu

Tukang babantu

Tamaran

Ondangan

Ngelatat/ ondangan

Dukun

Bengkong

Paraji

carik

nikah

. . . . .

Kawin gelap

Hajat

Lurah

Rt

Gotong royong

Imam

Sunatan

Kelahiran

babar

Bobot/reuneuh

Nguburkeun

Maot

Penghulu/naib

Kaom

Puput pusar

Murunkeun

. . . . . . .

Nayuh

Kenteng

Wewit

Suhunan

Tajug

Dapur

Bilik

Tembok

Genteng

Palaparan

Jandela

Kamar

Kandang

Kandang hayam

Kandang kambing

Kandang kebu

Kandang kuda

Kandang japati

. . . . . . .

. . . . . . .

Langitan

Leuit

Pager

Senta

Papara

Panyaweran

Panto

Karamat

Teras payun

Pengker

Bumi

Saung

Musola

Taraje

Hawu

Tihang

Hawu

Kempis

Lisung

. . . . . . .

Alu

Waluku

Bakul

Boboko

Amben tambenan

. . . . . .

Bantal

Pacul

Coet

Dayung

Jojodog

Ampul

Gantar

Gayung

Gelas

Ragaji

Jala

Jajala

Jarum

Dungkul

. . . . . .

. . . . . .

. . . . . .

layer

Lisung

Nyiru

Panah

Useup

Arit

Parudan

Halu

Parahu

Pariuk

Pananggung

Piring

Peso

Sisimbut

Sendok

Rakitan

Pabeasan

Aseupan

. . . . . .

Samak

Tongkat

Kéncéng

Bubur

cendol

Ikan asin

Rendang

Jagong

Jeruk

Kacang

Intip (jawa)

Karupuk

Kupat

Kueh

Kopi

Labu

Lumeung

Madu

Emaman

Buah

. . . . . .

Nangka

Sangu/ kejo

Sangu Basi

Gigih

Nanas

Aren

Sambel

Kuah

Tapai

Tapai dangdeur

Mantang

Akar

Eurih

Regang

Aren

Asem

Awi

Batang

Bawang beureum

Bawang bodas

Winih

Beas

Menir

Waringin

Siki

Buah

Kembang

Cabe

Cabang

Cereme

Dahan

Daun

Huut

Geutah

Injuk

Jarami

Jambu batu

Jambu mede

Kayu

Kalapa

Ketan

Bonteng

Kulit Kayu

Kunir

Rica

Laos

Mandalika

Minyak keletik

Minyak tanah

Remeh/ upa

Pare

Pandan

Paria

Kastela

Jebug

Cau

Tatangkalan

Cabang

Iwung

Rotan

Erosan

Jukut

Sepet

Pati

Saturuy

Sasikat

Batok

Terong

Mantang

Dangdeur

Anjing

Kotok

Dadana

Bibit

Jago

Bedul

Bangke

Bangke

Simeut

Satoa

Buaya

Jangjang

Manuk

Cacing

Cakcak

Buntut

Gagak

Lauk

Angsang

Jalu

Embe

Bangkong

Lalay

Kebu

Meong

Kica-kica

Kupu-kupu

Kuya

Lamat lancah

Laleur

Tawon

Lentah

Monyet

Reungit

Penyu

Rinyuh

Rusa

Jangjang

Sapi

Sireum

Pepet

Sisik

Tanduk

Sihung

Endog

Beurit

Udang

Oray

Hileud

Cai/ banyu

Banjir/ comberan

Cai laut

Banyu urang mateng

Geni

Areng

Arus

Ngebul

Luhur

Awan

Awun-awun/ ngebul

Kulon

Watu

Bara

Sor

Beusi

Besuk

. . . . . .

Bintang pajar

Tonggoh

Bulan

Bulan purnama

Bulan terbit

Sor

Rata

Debu

Di luhur

Di sor

Di pinggir

Kuning ka makah

Ining keneh

Pageto

Kamari

Kampong

Emas

Cai ibun

Opat poe kahareup

Opat poe katukang

Fajar

Uyah

Gerhana

Tonggoh

Gelap

Poe

Hujan

Leuweung

Ieu

Eta

Jalan

Gang

Jurang

Kabut

Katuhu

Kamari

Geledeg

Sawah/ kebon

Lahar

Langit

Laut

Bukit

. . . . . .

. . . . . .

Peuting

Mata cai

Mata poe

Reueuk

. . . . . .

Muara Cai

Usum Hujan

Musim panas

Ombak

Caang

Isuk

Subuh

Basisir

Basisir

Kuwung

Sawah

Sakeudeung

Sonten

Susukan

Taneuh

Tahun

Jurang

. . . . . .

Tilu poe deui

Tilu poe nu enggeus

Ladeuh

Elor

Hudang

Gugah bobo

Gagawe/ magawe Ngising

Ngagoler

Ngomong

Ngaharewos

Ngojay

Bergerak

Mapah/lempang

Nagog

Gullet

Pasea

Kekembang

Ngagedean

Lumpat

Ngiduh

Ulin

Ambeukan

Berobah

Ubar

Susuitan

Nanyakeun

Papanggih

Ngabongkar

Nyeuseuh

Ngumbah leungeun

Dongkap

Diuk

Sila

Emok

Ngalonjor

gantung

Milu

Inget

Murag

Labuh

Datang

Wiwis

Muak/ halut

Lumpat

Emam/ dahar

Barang emam/ mamarahan

ngalungkeun

Deuleu

Ngalirik

Molotot

Memanah

Masak

Olah

Beuleum

Beuleum

ngagebot

Ngabawa

Ngais

manggul

Ngagendong

Jinjing

ngabawa

Panggul

Suhun

. . . . . .

Bebersih

Mere

Mere nyaho

Ngadengdeng

Buburu

Buburu

Maehan

Nyekel

Peureum

Ngeretan lauk

Ngaragaji

Ngider

Pikasieuneun

Narik

. . . . . .

Neangan

Nyium

Nyium

Ngadengekeun

Nebag

Ngala

Mengalir

Menganyam

Mengapung

Ngagali, ngeduk

Gagaro

Nyeukeulan

Ngegel

Ngegel

Nyikat

Ngitung

Ngehirupkeun

Nyikat

Nalian

Nalian

Bebed

Di pincak

Jingjlong

Ngedot

ngotor

nguburkeun

Di balikan

Diusap

Menusuk

. . . . ..

Menusuk

Menusuk

Menusuk

Niup

Niru

Ngajait

More

Ngebut

Nitah

Nyusuan

Ngagodog

Pepelakan

Ngimpi

Nginum

Utah

Ngala

Milih

. . . . . .

Muter

Cabak

Nagkeup

Silulup

Di cabak

Di teundeun

Di tabur

Nambah

Ceurik

Teungkureup

Hiber

Seuri

Sare/ bobo

nukar

Tuduh

Tueun

Nojos

Urut

Usap

Hanyir

Aseum

Galak

Bagus

Banyak

Anyar

Baseuh

Bener

Bareuh

Wanian

Beurat

Bersih

Gede

Biru

Bodo

Boros

Gundul

Bunder

Pecak

Geulis

Pinter

Coklat

Deukeut

Tiis

Anyep

Ngenah

Poek

Ngeunah

Gendut

Alus

Suengit

Haus

Hejo

Jauh

Bening

Sugih

Leutik

Bendor

Teuas

Garing

Koret

Beulok

Kosong

Kuat

begang

Lila

Leueur

Lega

Lurus

Isin

Amis

Mujarap

Marah

Beueum

Malarat/ teu boga

Ngora

Pait

Panas

Panjang

Pendek

Pemarah

Perajuk

Bodas

Rajin

Songkol

Handap

Hampang

Sabat

Gearing

Saeutik

Tiis

Leutik

Nyaho

Seubeut

Sieun

Kasep

Kandel

Tengah

Caang

Reuwas

Tenar

Luhur

Jangkung

Ipis

Kolot

Mintul

Tungtung

Ungu

Basi

Batuk

Ceda

Pireu

Sisul

Borok

Lolong

Budeg

Geuring

Gondok

Raheut

Nanah

Ubar

Hapur

Kapaehan

Lieur

Cageur

Torek

Anting-anting

Acuk

Calana

Cangcut

Calana panjang

Kolor

Ali-ali

Geulang

Kongkorong

Kabaya

Peci

Kutang

Beubeur/ babenhog

Samping

. . . . . .

Dalapan

Dalapan belas

Dua

Dua belas

Dua puluh

Dua puluh lima

Opat

Opat Belas

Geuneup

Genep belas

Lima belas

Lima puluh

Sahiji

Sabelas

Sidepa

Sasikut

Sajeungkal

Salapan

Salapan belas

Sapuluh

Saratus

Sarebu

Tilu

Tilu ratus

Sabeungkeutan

Dua beungkeut

Sangga

. . . . . .

. . . . ..

. . . . .

Satengah caeng

Opat caeng

. . . . .

Abah urang

Acukna

Dahar

Irung maneh

Suku Ali

Embe emang

Sirah Amir

Ngomongkeun batur

Ngagogoreng batur

Imah ibi

Imah Paridi

Ali dibere duit ku emang

Maneh meuli naon?

Ari maneh pernah ka Jakarta?

Abah mere duit ka urang sapuluh rebu.

Kumaha cara nyieun tape?

Sabaraha harga madu sabotol geh?

Di lembur euweuh listrik

Maneh dibeulikeun baju ku indung

Maneh rek nyieun imah anyar

Manehna tara datang ka dieu

Poe ieu panas pisan,sigana rek hujan

Hujan nepi sore

Ibu kakara mulang Mataram

Ibu keur dahar

Akang geus jol ti Mataram

Lamun nulungan tong kapalang

Eta embe tereh modar

Iraha maneh rek ka imah kula?

Urang rek meuli baju anyar.

Urang dibere duit ku bapa sapuluh rebu.

Moal datang lamun hujan

Urang dibere duit ku kula

ngalungkeun buah

Saha nu jol tiheula

Emang mere duit ka Ali.

Alis

Pundak

Witis

Biwir

Bulu dada

Bulu kelek

Bulu pundak

Bulu

Dada

Daging

Gado

Tarang

Geutih

Careham

Huntu

Bam

Parehol

Nyunggorong

Gusi

Hate

Irung

Jempol

Sumsum

Jajantung

Jenggot

Jariji

Jari manis

Jajangkung

Sikil

Kiong

Kontol

Tumbung

Endak

Tikoro

Kuku

Kulit

Kumis

Tuma

Beuheung

Gajih

Leungeun

Letah

Ciduh

Tuur

Panon

Kikiong

Pepentil

Beungeut

Sungut

Ompong

Otak

Pingping

Silit

Paru-paru

Pelipis

Pelupuk mata

Pinglang/

leungeun

Weuteung

Cangkeng

Panggul

Punduk

Tonggong

Bujal

Buuk

Iga

Sikut

Susu

Leungeun

Dampal suku

Dampal- leungeun

Kuping

Curuk

…….

Tikoro

Awak

Bincurang

Corehan

Tumit

Embun-embunan

Urat

Peujit

ettoh

Ira

Kita

Ita

Ira sakalian

Urang

Lanang

Aran

Dede

Eneng

Teteh

Kakang

Bapa/ mama/ abah

Ibu

Wadoh

Kita

Uwong

Adi

Adi ipar

Adi ipar

Paryad

Bibi

Anak

Putu

Cucu

Ponakan

Bisan

Bisan

Anak kandung

Anak kawalon

Cikal

Bungsu

Bapa

Rama tuh

Ibu toh

Rabi

Bibi

Bibi

Ua

Ua

Adi beuteung

Bibi

Kakang

Kakang

Teteh

Aa gede ua

Ua

Ua

. . . . .

Kaka

Nene

Mertua

Mertua

. . . . . .

Laki rabi

Kakang

Teteh

Adi beuteung

Kakah

Mamang

Mamang

Kakak

Ua

Kakak

Kakak

Minantu

Ua

Ua

Amili

. . . . . .

Tamaran

Ondangan

Ngalayat

Dukun

Bengkong

Paraji

Carik

Nikah

. . . . .

Ngawinkeun

Hajat

Lurah

. . . . . .

Gotong royong

Bilal

Sunatan

Lahir

Babalean

Meuteung

Nguburkeun

Mati

Penghulu

Tongtong

Rujakan

Sisir tanah

. . . . . .

Nyieun bubur

Hateup

Sirap

Suhunan

Saung

Pawon

Bilik

Tembok

Kenten

Buruan

Jandela

Kamar

Kandang

Kandang ktok

Kandang embe

Kandang kebo

Kandang kuda

Kandang dara

. . . . . .

. . . . . .

Lalangitan

Leuit

Pager

Dada tulak

Para

Panyaweran

Lawang

Jimat

Amben

Pipir

Imah

Saung

Bale

Taraje

Tungku

Tihang

Tungku

Bubu

Lisung

. . . . .

Alu

Waluku

Bakul

Boboko

Dipan/dipen

. . . . . .

Angel

Paut

Lelemper

Dayung

Jojodog/ didingklik

Ampul

Gantar

Sisiuk/gayung

Gelas

Ragaji

Jala

Jala

Jarum

Dungkul

Bajak

. . . .

. . . . .

. . . . .

Layer

Lisung

Nyiru

Panah

Useup

Arit

Parudan

Halu

Parahu

Pariuk

Pananggung

Piring

Peso

Sisimbut

Sendok

Rakitan

Pabeasan

Aseupan

. . . . . .

Samak

Iteuk

Kekenceng

Bubur

Cendul

Dendeng

Gule

Jagong

Jeruk

Kacang

Intip

Kurupuk

Kupat

Kue

Kopi

Labuh

Leumeung

Madu

Kadahareun

Buah

Minuman/eueuteun

Nangka

Kejo

Sangu basi

Gigih

Nanas

Tarigu

Sambel

Keukeuseun

Tape ketan

Tape dangdeur

Mantang

Oyod

. . . . .

Godog

Aren

Akum

Piring

Batang

Bawang abang

Putih

Bibit

Beuras

Menir

Waringin

Ijil

Buah

Kembang

Cabe

Cabang

Cereme

Dahan

Godong

Huut/ ndut

Geutah

Injuk

Dami

Jambu watu

Mede

Kayu

Kalapa

Ketan

Bonteng

Kulit kayu

Kunir

Lada

Langkoas

Mandalika

Keletik

Minyak tanah

Remeh

Pare

Pandan

Paria

Kastela

Jebug

Cau

Cabang

Cabang

Iwung

Hae

Kabet/ halaman

Jukut

Sabut

Santen

Turuy

Sisir pisang

Batok

Berong

Dangdeur aci

Dangdeur kayu

Anjing

Ketok

Sasapihan

Danten

Jago

Babi

Bangke iden

Bangke jelema

Simeut

Binatang

Buhaya

Jangsang

Manuk

Cacing

Cakcak

Buntuk

Gagak

Lauk

Asak

Jalu

Mbe

Bangkong

Kalong/ kelong

Kebo

Ucang

Kica-kica

Kupu-kupu

Kuya

Lancah

Laleur

Nyiruan

Lentah

Monyet

Reungit

Kuya

Rinyuh

Manjangan

Jangjang

Sapi

Sireum

Sirip

Sisik

Tandung

Caling

Endog

Beurik

Hurang

Oray

Hileud

Cai

Caah

Cai laut

Cai tawar

Seuneu

Hareung

Arus

Ngebul

Luhur

Awan/mega

Ruhai

Kulon/girang

Batu

Batu sene

Handap

Beusi

Isuk

. . . . . . .

. . . . . . .

Gunung

Bulan

Bulan purnama

Bijil Bulan

Darat

Rata

Abu

Di luhur

Di handap

Di gigir

Di ditu

Di dieu

Pageto

Kamari isuk

Dusun

emas

Ibun

Opat poe kahareup

Opat poe katukang

Fajar

Uyah

Gerhana

Gunung

Gelap/ guludug

Poe

Hujan

Leuweung

Ieu

Itu

Jalan

Gang

Jurang

Halimun

Katuhu

Kamari

Kilat

Kebon

Lahar

Langit

Laut

Pasir

. . . . . .

. . . . . .

Wengi/ peuting

Mata cai

Panon poe

Reueuk

. . . . . .

Muara cai

Usim hujan

Usim halodo

Ombak

Lapang

Isuk

Subuh

Pasisir

Keusik

Kuwung

Sawah

Sakeudeung

Burit

Susukan

Taneuh

Taun

Jurang/gawir

. . . . .

Tilu poe deui

Tilu poe nu enggeus

Ladeuh

Elor

Hudang

Nyaring

Gagawe/ magawe

Ngising

Ngagoler/ ngagojod

Ngomong

Pating kuciwes

Ngojay

Gerak

Leumpang

Nagog

Gelut

Pacekcokan/ pasea

Kekembangan/ mekang

Ngagedean

Lumpah

Nyiduh

Ulin

Ambeukan

Rubah

Ubar

Ngaheot

Nayna

Kapendak/ katimu

Bongkor

Ngaseuh

Kokobok

Datang/ dongkap

Diuk

Sila

Emok

Ngahunjar

Ngagantung/ ngagaot

Milu

Inget

Ragrag

Labuh

Balik

Kiih

Nguak/bekok

Lulumpatan

Dahar

dahar

Marah

Balangeun

Ngadeuleu

Ngalirik

Ngalotot

Manah

Nyangu/ngejo

Ngeukeus

Meuleum

Ngadurukan

Ngagebot

Bawa

Ngelek

Manggul

Jinjing

Suhun

Panggul

Suhun

. . . . . .

. . . . ..

Bebersih

Mere

Mere nyaho

Nyieun dengdeng

Buburu

Buburu

Maehan

Nyepeng

Nyekel

Peureum

Motong

Motong

Menang hadiah

Di puter

Sieun/ nyingsieunan

Narik

Narik

Neangan

Ngambeuan

Nyium

Ngadenge

Nuar tatangkalan

Nyokot daging sakeureut

Ngalir

Nganyam

Ngambang

Ngagali/ macul

Gagaro

Ngeupeul

ngegel

Ngegel

Ngosok

Ngitung

Nyeungeut seuneu

Ngosok huntu

Nalian/ ngabengker

Ngabeungkeut

Ngabebed hulu

Ambrek

Jengke/engkle

Ngambeu

Ngabelokan

Kuburkeun

Ulang

Diusap

Menusuk

. . . . ..

Menusuk

Menusuk

Menusuk

Niup

Niru

Ngajait

Moekeun

Ngebut

Nitah

Nyusuan

Ngagodog

Ngarumpi

Ngimpi

Nginum

Utah

Ngala

Milah

. . . . . .

Muter

Cabak

Ngarangkul

Silulup

Nyabak

Nyimpen

Tamplok

Nambah

Ceurik

Ngadapang

Hiber

Seuri

Hees

Tukarkeun

Nunjuk

Turun

Tusuk/newek

Urut

Usap

Amis

Aseum

Sombong

Bagus

Loba

Anyar

Baseuh

Bener

Bareuh

Wani

Berat

Bersih

Gede

Biru

Bodo

Boros

Gundul

Bunder

Pecak

Geulis

Pinter

Coklat

Deukeut

Cai adem

Cuaca adem

Ngeunah

Poek

Ngeunah

Lintuh

Alus

Seungit

Aus

Hejo

Jauh

Herang

Sugih

Leutik

Kendor

Heuras

Garing

Pelit/koret

Belok

Kosong

Kuat

Kuru

Heubeul

Leueur

Lega

Lempeng

Isin

Amis

Mampuh

Marah

Beureum

Miskin

Ngora

Pait

Panas

Lojor

Pundak

Barangasan

Ngolo

Putih

Rajin

Haweuk

Handap

Enteng

Sabat

Gearing

Saeutik

Tiis

Sempit

Nyaho/ parantos

Seukeut

Sieun

Kasep

Kandel

Tengah

Caang

Kaget

Tenar

Luhur

Jangkung

Ipis

Kolot

Medu

Tungtung

Ungu

Basi

Ngohkoh

Ceda

Pirey

Bisu

Borok

Pecak

Cole

Salesma

Gondok

Raheut

Nanah

Obat

Hapur

Kapaehan

Rieut

Cageur

Torek

Anting-anting

Jamang

Calana

Cangcut

Calana panjang

Calana sepan

Ali

Geulang

Kongkorong

Kabaya

Peci

Kutang

Sabuk

Samping

. . . . . .

Dalapan

Dalapan belas

Dua

Dua belas

Dua puluh

Dua puluh lima

Empat

Empat belas

Enam

Enam belas

Lima belas

Lima puluh

Hiji

Sabelas

Sadeupa

Sasikut

Sajengkal

Salapan

Salapan belas

Sapuluh

Saratus

Sarebu

Tilu

Tilu ratus

Ranggeong

Geugeus

Sangga

. . . . . .

Caeng

. . . . . .

Satengah caeng

Opat caeng

Bapa kula

Jamang si eta

Tangkal kayu

Irung dia

Suku si Ali

Embe emang

Hulu Amir

Ngomongkeun batur

Ngagogoreng batur

Imah bibi

Imah Paridi

Ali dibere duit ku mamang

Naon nu maneh dibeuli?

Maneh pernah ka Jakarta?

Bapa mere duit sapuluh rebu rupiah

Kumaha carana nyieun tapai?

Sabaraha harga madu sabotol?

Iraha maneh leumpang?

Di lembur teu aya listrik

Maneh dibeulikeun baju ku ibu

Maneh arek nyieun imah baru

Maneh tara datang kadieu

Poe ieu panas amat, arek hujan meureun

Hujan turun sampe sore

Embok kakarak datang ti Mataram

Embok keur dahar

Kakang geus datang ti Mataram

Lamun tutulung kajelema ulah tanggung

Embe eta tereh paeh

Iraha maneh datang ka imah urang

Kula arek meuli jamang engke

Kula dibere duit ku bapa sapuluh rebu rupiah

Kula teu jadi dating mun poe hujan

Kula ngalungkeun mangga

Saha nu pangheulana datang, dibere duit

Mamang mere duit ka si Ali.

alis

Pundak

bitis

Lambe

Bulu dada

Bulu kelek

Bulu punduk

bulu

dada

daging

Janggut

Batuk

Geutih

Bam

untu

untu

Gingsul

gusi

ati

Cungur

jempol

sumsum

jantung

janggut

jeriji

Sikil

jentik

Peli

Turuk

Ndas

Gogorokan

kuku

kulit

kumis

Tuma

Hulu

gajih

Lengen

ilat

Iduh

Dengkul

Mata

Kengkeong

Susu

Rarai

Cangkem

ompong

otak

Pupu

Silit

Paru-paru

pelipis

Mata

Weuteung

Beubeuyeuh

Boboyoh

geger

Udel

rambut

sikut

Tete

tengen

Talapakan

Kuping

……..

awak

Gagareus

……..

Tungkak

Embun-embun

urat

urat

Toh

Sira

kami

Ira

Dararta

Ira

Lanang

Aran

Orok

Orok

Orok

Orok

Lanang tua

Wadon tua

Wadon

Kita

Wong-wong

adi

adi ipar

adi ipar

Emang

Ende

anak

putu

buyut

ponakan

. . . .. .

. . . . . . .

anak

anak tere

cikal

bungsu

Mama

Mama tua

Ibu tua

Rabi

bibi

bibi

ua

Ende

. . . .. .

. . . . .

kakang

kakang

teteh

Ema gede

Magede

Ibu gede

Ibu gede

kakang

. . . . .

mertua

mertua

. . . . . .

. . . . . ..

. . . . . . .

. . . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . . .

. . . . . . .

. . . . . . .

Teka

Dodog

teka

diuk

Sila

Timpu

Ngalonjor

gantung

melu

Inget

rigel

Tiba

Wangsul

Nyuguh

Ngentut

Ngijig

Mangan

Mamangan

Marah

Nipung

Ngadeleng

Nginjek

Melotot

Manah

ngaliwet

Kekelar

Nunu

Ngaduruk

Ngagelebot

Ngagawa

Dindit

Panggul

Cangking

Ditampah

Dipikul

nyuhun

Diemban

Pikul

Ngabersihi

Nganai

Nganai weruh

Gawe dendeng

ngaburu

ngaburu

mateni

nyekel

merem

nugel iwak

nugel kayu

oleh

Ngaguher

Ngawedikaken

Narik

. . . . . .

Golati

Mambu

nyium

Ngarungu

Nebang

ngajukut sairis

ngalir

Mayem

Nganyam

nggali

ngagaro

ngepel

Ngareugeum

nyokot

nggosok

Koseakan

Ngiut

nyikat

Naleni

Neleuruan

Bebed endas

Ngadeg sikil loro

Ngadeg sikil siji

Ngesot

Ngabeloki

Mendemaken

Balik maning

ngusap

. . . . .

. . . . . .

. . . . . .

. . . . . .

Ngadamu

Tetenian

Ngadomdomi

Meme

nyauri

Ngekor

nyosoni

Ngagodog

Nandur sakeut

Ngimpi

ngumbe

Mutah

Ngembil

pilih

Ngukel

muter

ngaraba

Rangkul

Silulup

Senggol

Dukon

Wutah

Nambah

nangis

Ngadanom

Mabur

Gemayu

Turu

Ngijoli

nunjuk

turun

. .. . . .

. . . . .

. . . . .

Amis

Kelut

. . .. .

Bagus

Wakeh

Anyaran

Teles

Bener

Abuh

Wanten

Boros

. . . . .

Bunder

Picek

Parigel

. . . . .

Soklat

Parek

Adem

Adem

Enak

Peteng

gurih

Lemu

Lembut

Wangi

haus

Ijo

Adoh

Bening

Sugih

Cilik

kendor

Atos

garing

pedit

kotor

Kuat

kuru

Suwe

Lunyu

luas

lurus

Isin

Manis

ampuh

Marah

Abang

Masakat

pait

panas

Dawa

Cendek

Pangus

Ngacin

Putih

rajin

rakus

Endep

Enteng

sabar

Sakit

Adem

Suker

Weruh

Landap

Wedi

kasep

kandel

tengah

padang

Ngajumbul

Duwur

Jangkung

Tipis

Tua

Kentul

Pucuk

Wungu

tua

Watuk

ceda

Bisu

Wuwudan

borok

Picek

Curek

Panas atis

gondok

Tedas

nanah

Obat

panu

Kelenger

Ngelu

Waras

Bantut

anting

Kulambi

Celana

cangcut

Celana dawa

Celanacendek

Ali-ali

gelang

Kalung

kebaya

Peci

Bebenting

Tapi

sarung

Pepelik

Wolu

Wolu las

Roro

Ro las

Rong puluh

Salawe

Papat

Pat belas

Nenem

Nem belas

Limelas

Skeet

Siji

Sawelas

Sadepa

Saronggoh

Sakilan

Sanga

Sangalaras

sepuluh

Satus

sewu

Telu

Telu ngatus

Sagegem

Rong gegem

Salawe gegem

Sapuluh ranggeong

Patang

Bengket

Bapa kita

Kulambi ira

Wit kayu

Cungur ira

Sikil Ali

Wedus

Mamang

Endas Amir

Ngomongkeun wong

Ngeleeleken batur

Umah bibi

Umah Paridi

Ali dinai duit ning mamang

Apa sing ira tuku?

Apakah wong kono wis ning Jakarta?

Bapa nganai picis sepuluh rebu perak

Paremen gawe tape?

Pira harga madu sabotol?

Apabila sira lunga

Ning kampong laka listrik

Sira ditukuaken kulambi ning ibune

Deweke arep ngagawe imah anyar

Ira ora ilok teka marene

Dina iki panas banget, pasti arep udan.

Udan tekan sore

Ibu tembekan balik sing Mataram

Ibu lagi mangan

Kakang wis teka ning Mataram

Lamun ngabantu uwong aja tanggung

Wedus itu arep mati

Kapan sira teka ning umah kita

Engko kita arep tuku kelambi anyar

Kita digain picis ning mama sepuluh rebu perak

Kita ora bias teka namun dia udan

kita ngabebedug buah

Sapa sing teka duit digan picis

Mamang ngacan picis ning Ali

Alis

Taktak

Bitis

Biwir

Bulu dada

Bulu kelek

Bulu punduk

Bulu sawan

Dada

daging

Gado

Tarang

Mokla

bam

Huntu

Untu

Gingsul

Gusi

Ati

Irung

Jempol

Sumsum

Jantung

janggut

Jeriji

Suku

cinggir

Kontol

Memek

Hulu

Tikoro

kuku

kulit

kumis

kuar

Beuheung

Gajih

Leungeun

Letah

Ciduh

Tuur

Panon

kengkeongan

Pepentil

Beungeut

Baham

ompong

otak

kempol

Bujur

Paru-paru

pelipis

Talakopan

Leungeun

Beuteung

Cangkeng

Beubeuyeuk

Taktak

tonggong

Bujal

buuk

Iga

Sikut

Susu

Leungeun

Dampal

Talapak

Ceuli

curuk

……

Punduk

Awak

Curang

……

Tungkak

Ubun-ubun

urat

peujit

Tanda

Manehna

Urang

Anjeun

Maraneh

Urang

. . . . .

Nami

Orok

Orok

Orok

Orok

ema

awewe

Abdi

jelma

Adi

Adi beuteung

Adi beuteung

Ende

Bibi

anak

Incu

Buyut

Ponakan

Ponakan

Ponakan

anak

Anak kawalon

Anak pangtuana

Anak pangenom

Bapak

Aki

Nini

Ewe

Bibi

bibi

Ua

Ua

. . . . . .

. . . . . .

Kakang

Kakang

Teteh

Emang

ua

ua

ua

Kakak

Buyut

Mitoha

Mitoha

. . . . . .

Laki rabi

Kakang

Teteh

Adi rabi

Adi laki

Mamang

Mamang

. . . . .

Dulur

Dulur

Dulur

Dulur

Dulur

Dulur

Amil

Mulawari

Panjeur

Kondangan

Ngalayat

Dukun

Bengkong

Paraji

. . . . .

Nikah

. . . . .

Sasanjang

Salametan

Jaro

Sesepuh

Gotong royong

. . . . . .

Sunatan

Ngaharinkeun

Ngajuru meuteung

Ngubur

Paeh

Penghulu

Kaom

Rurujakan

Uduran

. . . . . .

Nayuh

Weulit

Bilik

Katum

Bale

Pawon

Bilik

Tembok

Genteng

Latar

Kandang wedus

Kandang kebo

Kandang jaron

Kandang dara

Lalangitan

Pager

Senta

Belukbukan

Lawang

Karamat

Pilan

Beurekah

Ukah

Gubug

Bale kambang

Anda

Tungku

Sasaka

Kempis

Halu / lisung

Halu

Pacul

Wakul

Ceupon

Amben

Karang ulu

Pacul

Coet

Weulah

Babatu

Wawatang

Cibuk

Ragaji

Eudom

Angkil-angkul

Cacadan

Lisung

Tampan

Waleusan

Gobed

Parud

Alu

Kawali

Jongko

Lading

Kekemul

Lalamban

Padaringan

Capon

Rak padan

Kalasa

Teuteukan

Pendil

Intip

Kupat

Waluh

Lemeng

Papanganan

Buah

Inuman

Ketewel

Sekul

Sekul kambu

Aron

Kanas

Sambel

Jangan

Tape

Tape dangdeur

Mantang

Oyod

Dahan/pang

Asem

Pring

Uid

Bawang abang

Bibit

Beas

Menir

Waring

Ijil

Kembang

Pana

Cereme

Pang

Gudong

Duk

Dami

Jambu batu

Jambu medo

Bonteng

Kunir

Merica

Laos

Nangka walanda

Minyak keletik

Lenga tanah

Upa

Pari

Papare

Geudang/ kastela

Jebuk

Gedang

Uit

Pang

Eubung

Penjalin

Ros

Sukeut

Seupeut

Pati

Satundun pisang

Sakitak

Batok

Euncung

Mantang

Dangdeur

Cameurak

Kotok

Ayam bibit

Jago

Bedul

Babatang

Mayit

Walang

Sato

Baya

Sewiwi

Manuk

Cecek

Buntut

Iwak

Insang

Wedus

Bangkong

Lalawa/cocondot

Kebo

Ucing

Kura

Kakangga

Laleur

Tawon

Lintah

Lamuk

Bulus

Menjangan

Sawiwi

Gegeber

Sungu

Suing

Endog

Brit

Hurang

Ula

Uler

Banyu

Banjir maling

Banyu laut

Banyu asreup

Geni

Areng

Ombak

Bul

Duhur

Mega

Wangwa

Kulon

Watu

Watu gendi

Sor

Wesi

Kesuk

Wintang wuluhu

Fajar

Tonggoh

Bulan lase

Bulan metu

Rata

Awu

Ningduhur

Ning sor

Ning iringan

Ning kana

Ning kene

Kesuke

Wingine

Desa

Awun-awun

Arep teuka

Singwis

Uyah

Graham

Tonggoh

Geledeg

Dina

Udan

Alas

Iki

Ika

Dalan lega

Dalan sempit

Tanngen

Wingi

Kebon

Beungi

Sumber

Sarangenge

Medung

Muara

Usum udan/ rendeng

Halodo/katiga

Isuk

Subuh

Kuwung-kuwung

Sadela

Sore

Kali

Lemah

Pinggir

Wetan

Kidul

Tangi

Tangi turu

Gawe

Ngising

Turu

Ngomong

Babisik

Ngojay

Lunga

Meudeuk

Gelut

Tukar/pasea

Tumbuh

Jadi

Melayu

Ngiduh

Warengan

Ambeukan

Geser

Tatamba

Anyul

Tatakan

Kapendak

Dibubar

Nang ngumbah

Ngumbah tangan

Datang

Diuk

Sila

Emok

Ngalonjol

gantung

Ngiring

Emut

Murag

Geubis/labuh

Balik

Kiih

Hitut

Ngenced

Nuang

Ngemil

Ngambek

Maledog

Ningali

Ngalieuk

Malotot

memanah

Ngaliwet

Nyayur

Meuleum

Ngaduruk runtah

Ngagebot

Mawa

Ngelek

Panggul

Jinjing

Dirampah

Manggul

nyuhun

Diais

Mikul

Mersihan

Mersihan

Masihan terang

Damel dendeng

Ngaburu

ngaburu

Maehan

Nyekel/ nyepeng

Peureum

Motongan lauk

Motongan kayu

Ngabeulit

Nyingsieunan

Ngabesot

Membajak

Neangan/

Nyiar

Ngambeu

nyium

Ngadenge

Nuar

Nyandak sakeureut

ngalir

Ngalir

Ngambang

Ngeduk

Gagaro

Ngeupeul

Ngegel

Dicoco

Ngaluro

Ngetang

Nyeungeut seuneu

Nyikat

Nalian

Bebed

Nincak dua sampean

Nincak suku hiji

Ngisep

Ngotoran

Nguburkeun

Diulang

Ngusap

Nikeup

Niup

Niru

Ngaput

Moe

Nembali

Nitah

Nyusuan

Ngulub

Melak jukut

Ngimpen

Nginum

ongkek

Ngala

Milih

Puter

Ngagarap

Rangkul

Teuleum

Nyenggol

Simpen

Tabur/bahe

Nambih

Ceurik

Ngadapang

Hiber

Seuri

Sare

Nukeurkeun

nunjuk

Mudun/turun

Nojos

Urut

Usap

Hanyir

Haseum

Sombong

Sae/alus

Seueur

Anyar

Baseuh

Leres

Bareuh

Ludeung

Abot/beurat

Bersih

Gede/ageung

Biru

Bodo/belet

Boros

Botak

Buleud

Pecak

Geulis

Calakan

Coklat

Deukeut

Tiis

Tiis

Ngenah/raos

Poek

Gurih

Lintuh

Halus

Seungit

Haus

Hejo

Jauh/tebih

Herang

Beunghar

Leutik alit

Kendor

Teuas

Garing

Pelit/pedit

Belok/kotor

Kosong

Kiat

Kuru

Lila

Leueur

Luas

Lempeng

Era

Amis

Manjur

Ambek

Beureum

Miskin

Anom/ngora

Pahit/pait

Panas

Panjang

Pendek

Galak

Tukang kayu

Bodas

Rajin

Mak-mak

Handap

Hampang

Sabar

Gearing

Saemet

Tiis

Sempit

Terang/ nyaho

Seukeut

Sieun

Kasep

Kandel

Tengah

Caang

Reuwas

Tenar

Luhur

Jangkung

Ipis

Sepuh

Mintul

Tungtung

Bungur

Kawak

Batuk

Ceda

Pireu

Sisul

Borok

Pecak

Conge

Muriang

Gondok

Raheut

Nanah

Ubar

Panu

Teu sadar

Tieur

Cageur

Torek

Anting

Acuk/anggoan

Lancingan

Cangcut

Calana panjang

Calanapendek

Cincin

Geulang

Kongkorong

Kabaya

Kopeah

Kutang

Beubeur

Sarung

Pelik

Dalapan

Dalapan belas

Dua

Dua belas

Dua puluh

Dua lima

Opat

Opat belas

Genep

Genep belas

Lima belas

Lima puluh

Hiji

Sabelas

Sadepa

Sahasta

Sajeungkal

Salapan

Salapan belas

Sapuluh

Saratus

Sarebu

Tilu

Tilu ratus

Sakeupeul

Dua keupeul

25 keupeul

Saranggeong

Opat beungkeut

Saton

Sapuluh ton

Nama abdi

Acuk maneh

Tangkal kayu

Irung maneh

Suku Ali

Embe emang

Sirah Amir

Ngomongkeun batur

Ngagogoreng batur

Imah bibi

Imah Paridi

Ali dibere duit ku mamang

Naon nu di beuli ku maneh?

Naon maneh geus ka Jakarta?

Bapa masihan artos sapuluh rebu rupiah

Kumaha carana nyieun peuyeum?

Sabaraha harga madu sabotol?

Lamun maneh indit?

Di lembur teu aya listrik

Maneh dibelikeun baju ku indung

Maneh rek dijieunkeun imah anyar

Maneh teu ilok dating kadieu

Poe ieu halodo tarik, mungkin rek turun hujan

Hujan turun nepika sore

Ibu nembe dongkap ti Mataram

Ibu nuju tuang

Akang tos dongkap ti Mataram

Lamun ngabantos ulah tanggung-tanggung

Embe eta ampir paeh

Iraha maneh rek dongkap ka bumi abdi

Engkin abdi bade meser acuk sae

Abdi dipasihan artos ku rama sapuluh rebu rupiah

Abdi te tiasa dongkap mun turun hujan

Abi nampuk buah

Saha nu dongkap tiheula di pasihan artos

Mamang masihan artos ka Ali

BAB 6

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian yang telah kami laksanakan, maka diperoleh kesimpulan bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan, baik dalam tataran fonologi, morfologi, leksikon, maupun sintaksis. Namun, dalam penelitian ini kami titik beratkan pada analisis perbedaan leksikon bahasa Sunda dari tiga daerah penelitian yang meliputi: desa Padarincang, Ciomas dan Citasuk kecamatan Padarincang. Dari 843 kosakata dasar swadesh yang kami pupu dari pembahan pada setiap daerah, kami memperoleh 603 perbedaan leksikon, dan 240 buah leksikon yang sama pada tiga daerah penelitian tersebut. Namun, salah satu dari tiga daerah penelitian tersebut yaitu desa Citasuk pada kesehariannya masyarakatnya bilingualisme. Sebab di daerah tersebut berkembang dua bahasa daerah, yaitu bahasa Sunda dan bahasa Jawa, dialek Banten.

Bentuk pemetaan bahasa Sunda dialek Serang di daerah yang kami teliti menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan tersebut meliputi seluruh wilayah penelitian, maupun sebagian. Begitu pun dengan perbedaan yang terjadi. Ada yang meliputi seluruh daerah atau dengan kata lain setiap desa memiliki leksikon atas referennya masing-masing. Ada pula perbedaan yang hanya meliputi dua daerah saja. Terlebih lagi pada desa Citasuk yang memiliki dua atau lebih leksikon dalam satu referen, sebab di daerah tersebut bahasa Sunda dan bahasa Jawa dialek Serang sama-sama berkembang dan mendominasi. Dari hasil perhitungan statistik menggunakan dialektometri, kami menyimpulkan bahwa perbedaan yang terjadi terdapat dalam tataran dialek.

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, Chaedar. 1985. Berbagai Mazhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung, Angkasa.

Ayatrohaedi, 1983. Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta, Depdikbud.

LBSS. 1990. Kamus Umum Bahasa Sunda. Bandung, Tarate.

Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis; Sebuah Pengantar. Jogjakarta, UGM Press.

Yos Fernandez, Inyo. 1994. Dialektologi Sinkronis dan Diakronis.

Arti Kata Sunda

Kata Sunda

Tidak jarang terjadi sebuah perbincangan yang sangat panjang dan berbelit-belit ketika beberapa orang dalam suatu pertemuan mencari arti atau pengertian dari suatu kata, terlebih apabila kata itu mempunyai ikatan emosional dengan pelaku pembicaraan atau masyarakat pendukungnya. Dalam hal kata Sunda, sampai saat ini masih menjadi satu topik yang menarik untuk diperbincangkan, terutama dalam pertemuan informal, dan merupakan satu contoh kasus yang senantiasa aktual. Hal ini karena kata Sunda di samping menyangkut nama satu kelompok etnis masyarakat yang mendiami sebagian wilayah di Pulau Jawa, juga dipercaya sebagai nama suatu agama (agama Sunda) yang mempunyai nilai sakral.

Menurut Edi S. Ekadjati dalam pidato pengukuhan jabatan guru besarnya yang berjudul Sunda, Nusantara, dan Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah (1995:3–4) memaparkan bahwa:

Secara historis, Ptolemaeus, ahli ilmu bumi bangsa Yunani, merupakan orang pertama yang menyebut Sunda sebagai nama tempat. Dalam buku karangannya yang ditulis sekitar tahun 150 Masehi ia menyebutkan bahwa ada tiga pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India (Atmamihardja, 1958: 8). Kiranya berdasarkan informasi dari Ptolemaeus inilah, ahli-ahli ilmu bumi Eropa kemudian menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau yang terletak di sebelah timur India. Ahli geologi Belanda R.W. van Bemmelen menjelaskan bahwa Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai suatu daratan bagian barat laut India Timur, sedangkan dataran bagian tenggaranya dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7000 km. Dataran Sunda itu terdiri dari dua bagian utama, yaitu (1) bagian utara yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian barat dan (2) bagian selatan yang terbentang dari barat ke timur sejak Lembah Brahmaputera di Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Dataran Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Sahul di timur (Bemmelen, 1949: 2-3). Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula, yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Yang dimaksud dengan Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau yang berukuran besar yang terdiri atas pulau-pulau: Sumatera, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Adapun Kepulauan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau-pulau: Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor (Bemmelen, 1949: 15-16). Namun kemudian istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil tidak dipakai lagi dalam percaturan ilmu bumi Indonesia.

Menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari pinjaman kata asing berkebudayaan Hindu, kemungkinan dari akar kata sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murbi, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219).

Menurut Gonda (1973: 345-346), pada mulanya kata suddha dalam bahasa Sansekerta diterapkan pada sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih bercahaya karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. Gunung Sunda itu terletak di sebelah barat Gunung Tangkuban Parahu. Kemudian nama tersebut diterapkan pula pada wilayah tempat gunung itu berada dan penduduknya. Mungkin sekali pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian barat Pulau Jawa itu diinspirasi oleh nama sebuah kota dan atau kerajaan di India yang terletak di pesisir barat India antara kota pelabuhan Goa dan Karwar (ENI, IV, 1921: 14-15). Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang beribukota di Pakuan Pajajaran, sekitar Kota Bogor sekarang. Kerajaan Sunda ini telah diketahui berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi (Danasasmita dkk, 1984: 1-27; Danasasmita dkk, IV, 1984; Djajadininingrat, 1913: 75).

Adapun arti kata sunda secara leksikografis/etimologis, R. Mamun Atmamihardja dalam bukunya Sejarah Sunda I (1956) mencatat beberapa arti yang didasarkan pada berbagai kamus bahasa, yaitu:

A. Bahasa Sansekerta

  1. SUNDA, sopan, bersinar, terang

  2. SUNDA, nama Dewa Wisnu

  3. SUNDA, nama ksatria buta (daitya) dalam cerita Upa Sunda dan Ni Sunda

  4. SUNDA, ksatria kera (wanara) dalam Cerita Ramayana

  5. SUNDA, dari kata Çuddha (= putih)

  6. SUNDA, nama gunung di Bandung Utara

B. Bahasa Kawi

  1. SUNDA, air

  2. SUNDA, tumpukan

  3. SUNDA, pangkat

  4. SUNDA, waspada

C. Bahasa Jawa

  1. SUNDA, penyusun

  2. SUNDA, bersatu

  3. SUNDA, dua (dari arti Candrasangkala)

  4. SUNDA, dari kata Unda (= naik)

  5. SUNDA, daru kata Unda (= terbang)

D. Bahasa Sunda

  1. SUNDA, dari sa-unda dan sa-tunda (= lumbung padi)

  2. SUNDA, dari kata Sonda (= bagus)

  3. SUNDA, dari kata Sonda (= terkenal)

  4. SUNDA, dari kata Sonda (= senang)

  5. SUNDA, dari kata Sonda (= menyenangkan)

  6. SUNDA, dari kata Sonda (= setuju)

  7. SUNDA, dari kata Sundara (= laki-laki tampan)

  8. SUNDA, dari kata Sundara (= nama Dewa Kamajaya)

  9. SUNDA, dari kata Sundari (= perempuan cantik)

  10. SUNDA, indah